
Ritual tradisi yang menghilang sejak 20 tahun terakhir ini digelar di Dusun I, Desa Kuala, Pantai Cermin, oleh ratusan nelayan dan petani di sana. Ritual bertujuan untuk menolak gejolak sosial, penyakit berbahaya serta menjauhkan masyarakat dari segala bentuk malapetaka.
Pada hari pertama Selasa lalu, ritual dipusatkan di bawah sebuah pohon kelapa kembar (kelapa bendera) di Dusun I Desa Kuala. Ritual dimulai pukul 14 siang hingga 17 sore itu dipimpin beberapa pawang yang memakai pakaian 3 warna, yakni hitam, kuning dan putih. Diikuti para nelayan dan petani, mereka membacakan untaian dzikir dan doa.
Besoknya, Rabu, masih dipimpin para pawang dengan jubah 3 warna, dzikir dan doa ramai-ramai dibacakan di lapangan Dusun III, Desa Kuala Lama. Menurut sejarah nenek moyang yang mereka percaya, inilah lokasi kali pertama ritual kawasan Pantai Cermin digelar pada puluhan tahun lalu. Ritual hari kedua ini dilengkapi dengan kegiatan tepung tawar.
Karena itu, oborampe (syarat) seperti sejumlah daun sirih dan pinang dimasukan ke dalam sumpit atas tas. Lalu, sedikitnya 500 batang bambu kuning berukuran setengah meter, diikat dengan kain 3 warna, yakni kuning, putih dan hitam, kemudian diarak oleh warga bersamaan dengan sajian pulut 3 warna: kuning, putih dan hitam.
Ritual hari terakhir pada Kamis lalu, digelar di bawah sebatang kayu besar, tepat di alur sungai atau tempat keluar masuknya ratusan sampan nelayan. Lokasi itu persis di tangkahan ikan H. Kocik, di Dusun IV, Desa Kuala Lama. Di tepi sungai inilah ditancapkan bendera 3 tiga warna: kuning, putih dan hitam. Lalu, usai kembali melantunkan doa-doa keselamatan hidup, ratusan warga dan para pawang menggelar acara makan bersama. Itulah tanda acara ritual berakhir.
Menurut 4 pawang itu, Sahar, H. Kocik, Mujar dan Sakban, ritual ini merupakan ritual tolak bala yang pertama dilaksanakan usai absen selama 20 tahun terakhir ini. Meski begitu, sebelum ritual 3 hari ini digelar, “Sudah dilaksanakan juga ritual tepung tawar kampung, jamu kampung dan tepung tawar benih padi,” kata Usman, Kepada Desa Kuala Lama. “Intinya,” sambungnya, “ritual ini untuk memanjatkan doa kepada Tuhan YME agar warga diberi perlindungan dari ancaman bahaya serta diberikan pengampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan.”
Para pawang menjelaskan. Usai ritual buang sial (sengkolo) wujud adat budaya masyarakat pesisir ini digelar, mulai kemarin (5/2) warga desa kawasan Pantai Cermin dilarang melakukan 7 aktifitas yang biasa dilakukan orang-orang di mana saja. Tujuh pantangan itu, yakni
menyembelih ayam,
menyahuti panggilan seseorang dari luar rumah atau dalam rumah,
menghempaskan pakaian setelah dicuci,
lalu anak-anak dilarang keluar rumah ketika menjelang Maghrib,
dilarang mengucapkan kata -kata kotor serta membuat bunyi-bunyian yang berasal dari tangan.
Jika salah satu pantangan itu dilanggar, warga pelanggar diwajibkan kembali membuat ritual berbiaya Rp 8 juta ini, juga menanggung azab akibat perbuatannya itu. “Yang melanggar wajib melakukan ritual kembali dengan biaya pribadi,” jelas Kades Usman. “Acara ritual ini,” sambungnya, “sudah 20 tahun tidak dilakukan karena terbentur dengan dana. Jadi di tahun 2010 ini kita mulai kembali mengadakan ritual tolak bala. Kegiatan ini menelan dana mencapai Rp 8 juta.”
Menurutnya, dana ritual berantai kemarin berasal dari swadaya warga dan pemerintah desa. Sayangnya, seperti pantauan POSMETRO MEDAN, ritual penuh muatan budaya ini seperti kurang disertai dukungan Pemkab Sergai guna memajukan dunia pariwisata pantai di kabupaten itu. Indikasi ke arah itu tampak dari minimnya wisatawan yang melihat keunikan ritual kolosal itu.
Ritual Dilarang Menyembelih ayam