Showing posts with label makalah. Show all posts
Showing posts with label makalah. Show all posts

Pengertian Vagina

Pengertian Vagina (dari bahasa Latin yang makna literalnya "pelindung" atau "selongsong") atau puki adalah saluran berbentuk tabung yang menghubungkan uterus ke bagian luar tubuh pada mamalia dan marsupilia betina, atau ke kloaka pada burung betina, monotrem, dan beberapa jenis reptil. Serangga dan beberapa jenis invertebrata juga memiliki vagina, yang merupakan bagian akhir dari oviduct. Vagina merupakan alat reproduksi pada mamalia betina, seperti halnya penis pada mamalia jantan.

Vagina menghasilkan berbagai macam sekresi seperti keringat, sebum, dan sekresi dari kelenjar Bartholin dan Skene pada vulva, cairan endometrial, dan oviductal (yang berubah sesuai dengan siklus haid), cervical mucus, sel exfoliated, dan sekresi pada dinding vagina itu sendiri, yang dapat meningkatkan gairah seksual. Vagina pada semua wanita mengeluarkan pyridine, squalene, urea, asam asetat, asam laktat, alkohol kompleks (termasuk kolesterol), glikol (termasuk propylene glikol) keton, dan aldehid-aldehid.

Tapi suatu asam kimia lebih detil dalam pengeluaran vagina membagi wanita dalam dua kelompok. Semua wanita menghasilkan asam asetat, tapi sepertiga dari itu juga menghasilkan rangkaian pendek asam aliphatic. Rangkaian pendek asam aliphatic, yang termasuk asetik, propionic, isovaleric, isobutryc, propanoic, dan asam butanoic. Semua asam tersebut merupakan tingkat tajam dari zat kimia yang dihasilkan oleh spesies primata yang lain sebagai sinyal peraba/penciuman seksual. Walau tidak ada satupun yang pernah membuktikan peranan asam-asam tersebut dalam aturan hubungan pada manusia, beberapa peneliti lebih menganggap ini sebagai copullins dan pheromones pada manusia.

Vagina merupakan organ reproduksi wanita yang sangat rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan batas antara uretra dengan anus sangat dekat, sehingga kuman penyakit seperti jamur, bakteri, parasit, maupun virus mudah masuk ke liang vagina. Untuk itu, wanita harus rajin merawat kebersihan wilayah pribadinya ini. Infeksi juga terjadi karena terganggunya kesimbangan ekosistem di vagina. Ekosistem vagina merupakan lingkaran kehidupan yang dipengaruhi oleh dua unsur utama, yaitu estrogen dan bakteri Lactobacillus atau bakteri baik. Di sini estrogen berperan dalam menentukan kadar zat gula sebagai simpanan energi dalam sel tubuh (glikogen).

Glikogen merupakan nutrisi dari Lactobacillus, yang akan dimetabolisme untuk pertumbuhannya. Sisa metabolisme kemudian menghasilkan asam laktat, yang menentukan suasana asam di dalam vagina, dengan potential Hydrogen (pH) di kisaran 3,8 — 4,2. Dengan tingkat keasaman ini, Lactobacillus akan subur dan bakteri patogen (jahat) akan mati.

Di dalam vagina terdapat berbagai macam bakteri, 95 persen Lactobacillus, 5 persen patogen. Dalam kondisi ekosistem vagina seimbang, bakteri patogen tidak akan mengganggu. Bila keseimbangan itu terganggu, misalnya tingkat keasaman menurun, pertahanan alamiah juga akan turun, dan rentan mengalami infeksi. Ketidakseimbangan ekosistem vagina disebabkan banyak faktor. Di antaranya kontrasepsi oral, penyakit diabetes mellitus, antibiotika, darah haid, cairan sperma, penyemprotan cairan ke dalam vagina (douching), dan gangguan hormon seperti saat pubertas, kehamilan, atau menopause.

Makalah Pengertian Vagina

Perkembangan Bahasa Sastra Dan Aksara Daerah

PERKEMBANGAN BAHASA SASTRA DAN AKSARA DAERAH,Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)

Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa daerah antara lain Kongres Bahasa Bali, mulai kongres yang pertama sampai kongres yang kelima dan Kongres Bahasa Jawa dari kongres pertama sampai dengan kongres yang ketiga.

Seandainya bahasa-bahasa Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu potret yang suram.

Pada Kongres III Bahasa Bali, misalnya, terasa adanya jati diri orang Bali yang mulai (atau sudah?) goyah, sehingga diperlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang merupakan cerminan jati diri orang Bali itu. Pernyataan ini saya buat atas dasar tema yang diambil oleh penyelenggara kongres yang ke lima dua tahun silam. Goyahnya jati diri orang Bali dan budayanya itu tercermin dalam menurunnya kualitas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa Bali di kalangan penuturnya, di dalam dan luar keluarga.

Orang Bali menyadari bahwa bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting antara lain (1) sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Bali, (2) sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, (4) sebagai pendukung sastra daerah Bali dan sastra Indonesia, dan (5) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Sayang dalam kehidupan sehari-sehari, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan menggunakan bahasa Bali Alus (analog dengan Krama Inggil dalam bahasa Jawa), terutama di Bali Utara, menurun. Stratifikasi bahasa ini jarang (tak dipakai lagi?) bila seseorang berbicara dengan orang dari kasta yang lebih tinggi.

Sebagai gambaran tentang menurunnya penggunaan stratifikasi ini, orang Bali dari generasi yang berusia 30 tahun ke atas masih mampu secara aktif menggunakanya. Orang Bali dari generasi yang berusia antara 20 dan 30 tahun sudah mulai kurang aktif, sedang orang Bali dari generasi yang berusia kurang dari 20 tahun sudah tidak peduli lagi. Keadaan di Bali Selatan masih lebih baik. Ada beberapa alasan mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi pada orang-orang Bali Utara. Alasan pertama yang paling ditonjolkan ialah adanya demokratisasi.

Karena itu ada keyakinan pada sementara orang Bali Utara bahwa kehidupan kekastaan digeser oleh adanya perbedaan warna. Tidak jarang orang Bali dari kasta yang lebih tinggi mempunyai status ekonomi, jabatan, dan pendidikan yang lebih rendah dari orang yang berkasta lebih rendah. Alasan kedua ialah adanya keyakinan secara historis bahwa Bali Utara itu tempat pengasingan atau pengucilan sebagai hukuman bagi orang-orang Bali Selatan yang vocal atau menentang sikap, kebijakan, dan perilaku raja-raja yang ada di Bali Selatan. Alasan ketiga ialah banyaknya pendatang dari luar Bali yang kemudian bermukim di Bali Utara, sehingga orang Bali yang ingin mengadakan komunikasi dengan para pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia atau ragam bahasa Bali yang tidak halus.

Bagaimana keadaan sastra Bali? Sastra daerah Bali merupakan bukti historis masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, sastra daerah Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya, yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social, politik, dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Pengalaman hidup orang Bali dengan segala macam aspeknya itu unik dan memikat budaya lain, sehingga ada sebagian cerita Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris, seperti “Mati Salah Pati” oleh Gde Aryantha Soethama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris; penerjemah yang pertama ialah Vern Cork dengan pengalihan judul menjadi “Death by Misfortune” dan penerjemah kedua ialah Jennifer Lindsay dengan perubahan judul menjadi “The Wrong Kind of Death.” Cerita pendek “Luh Galuh” oleh Putu Oka Sukanta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris, yaitu Vern Cork dan oleh Mary Zurbuchen tanpa adanya perubahan judul, karena cerita pendek itu memaparkan pengalaman hidup gadis Bali yang bernama Luh Galuh. Satu lagi cerita pendek yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa ini ialah “Mega Hitam di atas Pulau Kahyangan” yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta oleh Vern Cork dengan perubahan judul dalam bahasa Inggris “Storm Clouds over the Island of Paradise.”

Melihat sikap orang asing yang sangat positif terhadap sastra Bali, sehingga karya sastra Bali diterjemahkan kedalam bahasanya, dengan tujuan supaya pengalaman hidup orang Bali yang sangat unik itu melengkapi aspek kehidupan yang tak mereka dapatkan dalam budayanya, saya berpendapat bahwa sastra Bali itu memiliki nilai humanisme universal.

Bagaimana kondisi aksara Bali dewasa ini? Bangsa yang memiliki aksara sendiri sebenarnya mencerminkan adanya budaya baca tulis, keinginan untuk mendokumentasikan segala bentuk kehidupan agar dapat diketahui, dipelajari, dan dinikmati oleh orang lain inter-generasi maupun antar-generasi tanpa batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Bali ke V menyimpulkan bahwa aksara Bali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya masyarakat Bali. Melihat fungsinya, aksara Bali digunakan dalam “nyastra”, seni, pendidikan, adat, dan agama Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari, Juru Arah di Bali misalnya, menyampaikan wewarahnya dalam bahasa Bali yang masih tertulis dalam huruf Bali. Karena itu, upaya pelestarian dilakukan melalui jalur formal dan jalur nonformal.

Lewat jalur formal, secara umum aksara Bali diajarkan mulai tingkat sekolah dasar sampai kelas dua SMU dan secara khusus, aksara Bali diajarkan sampai tingkat perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan yang terkait dengan budaya dan sastra Bali. Lewat jalur non-formal upaya pelestarian aksara Bali dilakukan dengan pemberian fungsi aksara itu seperti penggunaannya oleh Juru Arah tersebut di atas. Sayang pada kalangan generasi muda Bali yang sekarang ini berusia 20 tahun ke bawah, penguasaan aksara Bali secara receptive apalagi secara produktif ada kecenderungan memudar.

Bagaimana halnya dengan kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah lainnya seperti Batak, Bugis, Bima, dan Lampung? Perkembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah pada daerah-daerah ini memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi pada daerah Bali. Pada bahasa Bali, seperti halnya dengan yang terjadi pada bahasa Jawa, stratifikasi dan ekspresi kehalusan masih terdapat pada leksikon dan kaidah sintaksis. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa yang saya sebut terakhir di atas ini, stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan sudah tinggal dalam ekspresi paralinguistik saja. Saya percaya bahwa pada jaman dulu bahasa-bahasa ini memiliki stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan yang tidak hanya tercermin dalam paralinguistik, melainkan pada leksikon dan wujud sintaksis sebagaimana yang terdapat pada ciri bahasa-bahasa Nusantara. Hilangnya leksikon dan wujud sintaksis pada bahasa-bahasa ini merupakan suatu kealpaan yang besar, karena sikap tidak-peduli kita terhadap bahasa-bahasa daerah.

Seperti halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, pemakaian bahasa daerah yang saya sebut pada pargraf di atas ini terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di antara orang dewasa Batak, Bugis, Makasar, Lampung, dan Bima misalnya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia lebih tinggi dari penggunaan bahasa daerahnya, untuk urusan formal maupun non-formal. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa Bugis dan ibu yang berpenutur asli bahasa Makasar, komunikasi antara suami istri lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis atau bahasa Makasar. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama. Pada bahasa-bahasa yang saya bahas pada paragraf di atas, penggunaan bahasa daerah dilakukan oleh generasi usia 40 tahun keatas. Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, pada daerah-daerah yang saya sebut belakangan itu tak terdapat media cetak dalam bahasa daerah.

Sastra pada daerah-daerah ini, terutama sastra modern tertulis dalam bahasa Indonesia dengan setting Indonesia. Khas daerah sukar ditemui. Sastra kuno seperti “Nenek Malomo” ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara Bugis pada rontal. Pelestarian sastra semacam ini justru terdapat di desa. Semakin masuk ke jantung kota, minat terhadap sastra daerah oleh penutur aslinya semakin berkurang (atau tidak ada.) Upaya pelestarian sastra dan kesenian daerah masih terbatas pada penelitian yang terbatas pula pada kegiatan pendataan saja, belum sampai kepada pemberian fungsi.

Kehidupan aksara Batak, Bugis, Lampung, dan Bima tidak sebaik kehidupan aksara Bali. Kini hanya sebagian generasi yang berusia 40 tahun keatas saja yang mampu mengenali aksara daerah. Itu pun terbatas pada tingkatan recognitif, bukan pada tingkatan produktif. Pada kalangan generasi usia 20 tahun ke bawah, aksara daerah itu mereka anggap sebagai hiasan museum belaka.

Nasib aksara Bima tidak hanya memprihatinkan, tetapi sudah tinggal kenangan, sebab aksara yang pernah berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dalam urusan administrasi pemerintahan dan representasi karya sastra itu kini sudah musnah seperti musnahnya burung dodo di planet bumi ini. Menurut ingatan orang Bima, tradisi menulis Bo’ [buku] dengan bahasa dan aksara Bima dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistem administrasi kerajaan Goa dan Luwu’. Karena alasan pengembangan agama Islam di Bima, pada tanggal 15 Muharam 1005 (13 Maret 1645), Sultan Abi’l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis di atas kerta [bukan di atas rontal] dengan menggunakan bahasa Melayu [bukan bahasa Bima] dengan rupa tulisan yang diridlai oleh Allah [yang dimaksud aksara Arab] (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999: xii).

Bahasa Jawa adalah bahasa dengan jumlah penutur yang paling besar di Indonesia dan masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi yang lain seperti di Afrika Selatan dan Suriname. Bagaimana kondisi bahasa, sastra, dan aksara Jawa sekarang? Kondisi bahasa Jawa dewasa ini sebenarnya telah saya bentangkan dua kali dalam dua kongres kebahasaan yang bertaraf internasional. Yang pertama saya bentangkan pada Kongres Bahasa Jawa ke III di Yogyakarta pada bulan Juli 2001 melalui makalah saya yang berjudul “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa”, dan yang kedua saya bentangkan pada Kongres Linguistik Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Bali pada bulan Juli 2002, dengan judul “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.”

Pada Kongres Bahasa Jawa yang ke III itu saya katakan bahwa bahasa Jawa sekarang ini telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas, stratifikasi bahasa Jawa yang ada—krama inggil, krama andhap, krama lugu, ngoko ndhap, dan ngoko lugu—yang sudah tertata secara rapi an indah itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dalam bebahasa oleh sebagian besar penutur asli bahasa Jawa. Kesalahan pemilihan leksikon, sintaksis, dan semantis dalam bertutur kata sering terjadi pada kalangan penutur bahasa Jawa. Secara kuantitas, penggunaan bahasa Jawa krama inggil dan karma andhap frekuensinya sangat kecil, dalam kalangan keluarga dan masyarakat untuk urusan formal maupun non-formal, terutama pada kalangan generasi muda. Bahkan pada kalangan Keraton (yang diharapkan merupakan pusat tempat mempertahankan dan melestarikan kualitas dan kuantitas bahasa Jawa), interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Jawa frekuensinya tidak setinggi frekuensi interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Dr. Pranowo (1998: x) mengungkapkan kenyataan sebagai berikut.

Kemampuan berdwibahasa [bahasa Jawa dan bahasa Indonesia] kerabat keraton tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa Jawa. Faktor penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis daripada bahasa Jawa, keyakinan bahwa kemampuan bahasa Jawa kurang memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain. Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa peranan keraton Kesultanan Yogyakarta [dalam hal pemeliharaan budaya dan bahasa Jawa] sudah bergeser. Zaman dahulu, keraton berperan sebagai pusat bahasa dan budaya [Jawa], … sekarang tidak [lagi] demikian.

Saya amati, kehalusan bertutur kata yang tercermin dalam stratifikasi bahasa Jawa sudah mengalami erosi berat. Anak-anak muda tidak lagi mau dan mampu berbahasa krama dengan orang tuanya dan dengan orang lain yang lebih tua sebagai wujud adanya rasa hormat (yang mestinya etikanya begitu). Dari 87 orang mahasiswa saya yang berasal dari etnis Jawa, program S1 bahasa Inggris yang mengambil matakuliah binaan saya, tak seorang pun berbahasa krama dengan orang tuanya. Dalam simulasi berbahasa krama yang baik dan benar, tak seorang pun mampu melakukannya. Paling tidak ini yang terjadi di Malang dan sekitarnya. (Mudah-mudahan di daerah Jawa lainnya keadaan semacam di Malang itu masih lebih baik.) Pada kalangan anak-anak muda, sulit bagi kita mengharapkan sapaan yang didahului dengan ujaran “Nuwun sewu …”, atau “Kepareng …” , dan lainnya yang semacam yang digunakan sesuai dengan fungsinya.

Menurunnya kualitas bahasa Jawa bagi penutur aslinya tercermin dalam banyak makalah yang disajikan pada Kongres Bahasa Jawa III itu. H. Budiono Herusatoto, sarjana filasafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, misalnya, menulis tentang terjadinya rancu pikir di kalangan penutur asli bahasa Jawa dalam memahami makna tata karma dan unggah-ungguh. Menurut Herusatoto, ada tiga sebab yang menjadikan rancu pikir itu:
(a) dalam mengartikan dan memahami makna kata unggah-ungguh dan tata karma, kebanyakan penutur asli bahasa Jawa menggunakan ‘nalar dan rasa bahasa Indonesia’ [bukan nalar dan rasa kebahasaan dari perspektif bahasa dan budaya Jawa),
(b) buku pegangan pokok atau kamus yang dijadikan sebagai sumber untuk memahami arti kedua istilah itu adalah kamus dalam bahasa Indonesia, [yang tidak dapat menyentuh rasa dalam perspektif bahasa dan budaya Jawa], dan
(c) penulis dan peneliti yang non-Jawa tidak mau melihat dari pandangan perspektif budaya dan bahasa Jawa, melainkan memandangnya dari perspektif budaya dan bahasanya sendiri.
Terhadap menurunnya kualitas bahasa Jawa ini, I Wayan Bawa dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, juga menuturkan dalam Kongres Bahasa Jawa III bahwa telah terjadi pengausan kemampuan menggunakan undha-usuk bahasa Jawa bagi etnik Jawa yang bermukim di Denpasar, Bali. Pada forum yang sama, Kisyani Laksono, dari Universitas Negeri Surabaya, dalam kajiannya tentang identifikasi dialek dan sub-dialek bahasa Jawa di Jawa Timur bagian timur dan Blambangan, menunjukkan bahwa pemilihan kosa kata ragam ngoko dan krama mengalami kekacauan.

Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.

Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.

Bagaimana kondisi sastra Jawa dewasa ini? Meskipun penghormatan dan pemeliharaan bahasa Jawa hanya terbatas pada pencantuman gagasan dalam undang-undang dasar pasal 36 dan aturan tambahannya, sastra Jawa berkembang terus dari jaman ke jaman. Pada jaman bahasa Jawa kuna (periode sebelum jatuhnya kerajaan Majapahit), ada beberapa karya sastra yang terkenal, antara lain, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayuda, Mahabharata, Nagara Kertagama, Nitisastra, dan Sutasoma. Pada Abad Pertengahan, karya sastra yang terkenal antara lain Calon Arang, Dewa Ruci, Pararaton, Sri Tanjung, dan Tantri Kamandaka.

Pada Jaman Baru, sastra Jawa dapat dibagi menjadi dua—sastra tradisional dan sastra modern. Karya sastra Jawa tradisional dapat dibaca pada Serat Ambiya, Serat Arjuna Sasrabau, Serat Bratayuda, Serat Centhini, Serat Menak, Serat Nitipraja, Serat Pustaka Raja, Serat Rama, Serat Sabda Jati, Serat Sastra Gendhing, Serat Surya Raja, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh. Kreativitas menciptakan karya sastra modern oleh penutur asli bahasa Jawa terus berlangsung hingga sekarang, meski tidak ditulis dalam aksara Jawa. Hasil ciptaan dalam karya sastra itu antara lain Anteping Tekad, Candhikala Kapuranta, Dokter Wulandari, Dongeng Sato Kewan, Hera-Heru, Jarot, Kemandang, Kidung Wengi ing Gunung Gamping, Kinanthi, Kirti Njunjung Drajad, Kreteg Emas Jurang Gupit, Layang Saka Paran, Mendhung Kesaput Angin, Nalika Langite Obah, Ngulandara, Pupus kang Pepes, Sinta, Serat Durcara Arya, Serat Rangsang Tuban, Serat Riyanta, Serat Gerilya Sala, Siter Gadhing, Sri Kuning, Sumpahmu Sumpahku, Timbreng, Trem, dan belum termasuk karya sastra dengan seting Jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra yang sebut di atas itu berbentuk prosa. Puisi (dalam bahasa) Jawa yang pernah dimuat pada berbagai media cetak antara tahun 1940 dan tahun 1980, dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo (almarhum) dalam satu antologi, yaitu Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.

Selama manusia hidup, ia tidak akan berhenti memiliki pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Sastra, pada hemat saya, merupakan jelmaan pengalaman itu dalam bahasa yang terpilih, dalam bahasa yang secara sadar atau tidak oleh penulisnya dinyatakan atas dasar prinsip-prinsip estetika. Itulah sebabnya, betapa pun jelek atmosfir yang melingkunginya, sastrawan tidak akan berhenti berkreasi. Saya kira, begitulah yang terjadi pada para sastrawan Jawa, Bali, Makasar, Bugis, Batak, Lampung, Sunda, dan lain-lainnya di tanah air ini.
Bagaimana halnya dengan aksara Jawa saat ini. Meskipun penutur asli bahasa Jawa merupakan penutur yang jumlahnya paling besar dibanding dengan penutur-penutur bahasa daerah lainnya di Nusantara, nasib aksara Jawa lebih buruk dari nasib aksara Bali. Aksara Jawa sekarang ini kedudukannya sebagai pengetahuan saja yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar mulai kelas tiga sampai dengan kelas lima. Pengajaran aksara Jawa sekarang tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai representasi ortografis bahasa Jawa.

Oleh karena itu, matapelajaran bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai siksaan oleh para siswa, karena mereka beranggapan bahwa pengajaran pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.
Meskipun Belanda didakwa sebagai biang keladi menurunnya derajad bahasa, sastra, dan aksara Jawa (dalam Riyadi, 2002: 5), pemerintah Belanda sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia masih menghormati dan memelihara aksara Jawa dengan memberikan fungsi pada urusan-urusan resmi misalnya dalam peringatan akan bahasa listrik dan pecahan mata uang, sebagaimana pada terdapat lampiran makalah ini.

Pada mata uang logam mulai ketheng, sen, benggol, kelip, kethip, dan seterusnya, terdapat tiga macam aksara—aksara Jawa, Arab, dan Latin. Sekarang, setelah bangsa sendiri merdeka, aksara Jawa itu tak dipakai dalam mata uang. Begitu pula untuk keperluan lain, aksara daerah (kecuali aksara Bali) tak difungsikan lagi.
Generasi Jawa di bawah umur 50 tahun tahu akan huruf Jawa, tetapi tidak dapat membaca dengan lancar, apalagi menulisnya sebagai alat melahirkan cipta, rasa, karsa, dan karyanya, baik yang menyangkut urusan formal, maupun yang menyangkut urusan informal dalam kehidupan sehari-hari.

Manfaat Apa yang Diharapkan Apabila Kita Mempertahankan dan Mengembangkan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?

Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai ikutan atau pelibatan makna bahwa sudah ada keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidak-mampuan kita menghormati dan memelihara budaya daerah. Pemahaman budaya suatu bangsa dapat dilakukan secara mendalam jika pemahaman itu dilakukan atas dasar perspektif budaya bangsa itu sendiri, bukan dari perspektif budaya asing. Demikian pula halnya dengan pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah. Pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah dapat dicapai kedalamannya, apabila kita mampu melihatnya dari perspektif budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri.

Dengan mengingat definisi budaya sebagai “pola keyakinan, sikap, dan perilaku yang dipelajari oleh suatu bangsa yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya,” saya percaya bahwa keyakinan, sikap, dan perilaku suatu etnis selalu dinyatakan dalam bahasa daerah yang dipergunakan dalam interaksi antar anggota etnis itu. Banyak ungkapan yang mencerminkan keyakinan, sikap, dan perilaku suku-suku bangsa kita ini yang tak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.

Di samping itu, hasil pengalaman hidup dan pemikiran yang sudah berlangsung berabad-abad, misalnya dalam hal seni dan budaya dengan segala aspeknya, seperti model pakaian, masakan, obat-obatan, keperluan rias, dan lain-lain hanya dapat diungkap dan dipahami secara sempurna dalam bahasa daerah yang ada di Nusantara ini.
Dalam masalah sastra juga banyak terdapat ungkapan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa daerah untuk mempertahankan keindahan dan makna yang dikandungnya. Tidak heran jika kita mendapatkan pemakaian bahasa daerah dalam ranah sastra Indonesia, karena pengarang lebih “sreg” menggunakan bahasa daerah daripada menggunakan bahasa Indonesia. Pengarang novel atau serita pendek yang berasal dari Batak, Bali, Lampung, Makasar, Bugis, Jawa dan lain-lainnya yang ada di Nusantara ini tak dapat lepas dari penggunaan bahasa daerah masing-masing, karena dengan menggunakan ungkapan bahasa daerah itu pengarang tetap dapat menyampaikan maksud yang dikehendaki tanpa mengorbankan aspek keindahannya.

Bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini tidak lebih rendah dari bahasa-bahasa yang ada di dunia termasuk bahasa-bahasa yang ada di Asia, seperti bahasa Arab, bahasa Thai, bahasa Tamil, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea dan lain-lainnya. Bahasa-bahasa ini tetap dipertahankan oleh masyarakat penutur-aslinya, karena eksistensi bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari bahasanya. Bahasa-bahasa di atas ini dipelajari oleh bangsa lain bukan karena kemampuan komunikasi bahasa itu dalam ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan interaksi umat manusia lebih tinggi dari bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu menjadi begitu bergengsi karena kualitas manusia dengan etos kerja yang tinggi menjadikan bangsa-bangsa itu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang lebih kreatif. Bukan karena bahasanya. Bahasa merupakan representasi untuk mengungkapkan segala sesuatu yang mereka capai itu. Biar bangsa lain mempelajari bahasa-bahasa Jepang, Cina, Korea, Inggris, dan lain-lain, karena memang hasil keras mereka yang berupa ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya itu memang dibutuhkan oleh bangsa lain termasuk oleh bangsa Indonesia.

Seandainya bangsa-bangsa yang saya sebutkan itu tidak memiliki presatasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi, bahasa mereka tidak akan dipelajari oleh bangsa-bangsa lain di dunia, karena tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Itu seandainya begitu. Sebaliknya, seandainya suku-suku bangsa kita yang beraneka ragam ini juga memiliki prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi dan dinyatakan dalam bahasa dengan aksara daerah masing-masing, bangsa lain akan lebih memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang kita miliki. Jangan karena kualitas bangsa dengan etos kerja dan disiplin yang rendah sehingga prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budayanya rendah, lalu menganggap bahwa bahasa, sastra, dan aksara daerah dialpakan begitu saja. Prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya sudah miskin, mau mengalpakan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah yang dimiliki. Lalu kita punya apa yang bisa dipakai tanda bahwa kita ini eksis di dunia ini?
Khusus tentang aksara daerah. Budaya yang sudah memiliki system tulisan sendiri menandakan bahwa budaya itu memiliki derajad yang tinggi, sebab dalam budaya itu segala pola pikiran, keyakinan, dan perilaku pemiliknya terekam untuk dipelajari dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, tanpa batas ruang dan waktu. Berapa jumlah bangsa dan bahasa yang ada di dunia ini tak terhitung banyaknya. Tetapi berapa budaya yang memiliki system tulisan sendiri perkiraan saya tidak lebih dari lima persen. Perkiraan ini saya dasarkan atas banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Ada tidak kurang dari lima ratus bahasa, tetapi bahasa yang memiliki sistem tulisan sendiri tidak ada lima persen dari seluruh bahasa yang ada di Nusantara ini.

Di samping itu, menciptakan simbol, sebagai suatu sistem tulisan, yang dapat menyatakan semua aspek cipta, rasa, karsa, dan karya suatu bangsa dengan budaya dan bahasanya tidak mudah. Lima kali, sepuluh kali, atau berapa kali pun kongres bahasa ini belum tentu dapat merumuskan simbol-simbol sebagai suatu sistem tulisan yang dapat diterima oleh suatu budaya untuk merekam semua pola pikiran, keyakinan, dan perilaku dan dipelajari serta diwariskan kepada generasi mendatang tanpa batas ruang dan waktu.

Demikianlah halnya dengan sistem tulisan daerah yang ada dalam budaya Nusantara ini, seperti aksara Batak, Bali, Bugis, Jawa, Lampung, dan Bima. Saya percaya banyak dokumentasi pola pikiran, keyakinan, dan perilaku budaya-budaya daerah ini yang tak ternilai harganya yang direkam dengan sistem tulisan daerah-daerah itu, baik yang masih ada di museum-museum di tanah air maupun yang ada di museum-museum manca negara, terutama yang ada di Eropa dan Amerika seperti yang pernah saya lihat di Smithsonian Institution di Washington D. C.

Jika nanti sistem tulisan daerah ini lenyap dari bumi Nusantara, maka generasi yang sangat bertanggung-jawab atas lenyapnya aksara daerah ini ialah generasi yang sekarang ini, terutama individu-individu yang secara formal diberi tanggung-jawab untuk menghormati dan memelihara aksara daerah itu. Saya katakan generasi yang sekarang, sebab sekarang ini masih ada individu-individu yang mampu menguasai aksara daerah itu untuk tujuan-tujuan rekognitif dan produktif, tetapi kita tidak memberikan atmosfir yang menunjang penghormatan dan pemeliharaan aksara daerah tersebut. Kita tidak mau mempelajari aksara daerah itu kemudian menurunkan kepada generasi berikutnya, pada hal, jika ada niatan, kita masih belum kematian dian. Atas dasar pemikiran di atas saya meneriakkan suara pecinta dan pemeduli hidupnya aksara daerah agar aksara-aksara daerah itu tetap dipelihara dan dihormati, bukan dibiarkan mati tak terurus.

Bagimanakah Kita Memelihara Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Sebelum melakukan tindakan penghormatan, penyelamatan, dan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, yang utama ialah adanya kemauan untuk menghormati, menyelamatkan, dan memelihara bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri. Adanya kemauan yang keras akan memberi semangat untuk mencari cara. Sebenarnya untuk menghormati dan memelihara bahasa dan sastra daerah, Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa,Bahasa Lampung, selalu merumuskan butir-butir tindakan, mulai dari rumusan perda, keterlibatan pemerintah daerah, sampai dengan langkah-langkah kongkrit yang harus dilaksanakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, misalnya, telah mengeluarkan Buku Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, atas dasar Peraturan Daerah Nomor 3/1992, yang secara khusus diperkuat oleh Edaran Gubernur Nomor 1/1995, tentang Penulisan Papan Nama dengan Dwi Aksara Bali.

Dengan mengambil analogi yang terdapat pada Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, penyelamatan, pemeliharaan, dan penghormatan bahasa-bahasa daerah, terlebih dahulu pemilik dan penutur asli bahasa daerah itu sendiri perlu dibuat sadar bahwa daerah itu berfungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan daerah dan masyarakat penuturnya,
(2) lambang identitas daerah dan masyarakat penuturnya,
(3) alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat,
(4) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, dan
(5) sarana pendukung daerah dan budaya Indonesia.

Apabila pemilik dan penutur asli bahasa daerah sadar bahwa begitu besar dan pentingnya fungsi bahasa daerah, perlu diupayakan peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah, mencakup upaya meningkatkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa daerah melalui jalur formal—pendidikan dan pengajaran di sekolah dan jalur informal--dengan memfungsikan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pembinaan sastra daerah juga perlu didahului dengan penanaman kesadaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan pemilik sasrta daerah bahwa sastra daerah merupakan bukti historis masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu bagian dari sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Indonesia, yang di dalamnya terekam pengalaman etika, estetika, moral, agama, dan social masyarakat daerah. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah memiliki fungsi sebagai perekam kebudayaan daerah dan pemelihara, pemupuk, dan penumbuh solidaritas daerah.

Apabila kesadaran akan begitu besar dan pentingnya sastra daerah telah timbul, pembinaan yang perlu dilakukan ialah meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan lewat pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan sastra daerah. Secara kongkrit,
(1) adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai matapelajaran dalam kurukulum, bukan merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah,
(2) adakan guru-guru satra daerah yang bermutu,
(3) adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula,
(4) manfaatkan tokoh-tokoh sastra daerah yang masih kreatif dan produktif,
(5) berikan penghargaan yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki nilai universal.

Singkatnya, pengembangan sastra daerah adalah upaya untuk meningkatkan mutu sastra daerah agar sastra daerah itu dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi pencarian dan pencerminan jati diri dalam membangun masyarakat daerah yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kegiatan pengembangan meliputi penelitian dan penulisan-penulisan.

Aksara daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Melihat fungsinya, aksara daerah telah dan dapat digunakan lagi dalam kehidupan bersastra, berseni, pendidikan, adapt, agama, serta komunikasi tulis sehari-hari. Dengan lain perkataan, aksara daerah itu dapat diberi kedudukan yang tinggi seperti yang terdapat pada mata uang logam jaman Belanda berikut ini.

Anehnya, kita ini ada dalam jaman kemerdekaan. Tetapi justru pada alam kemerdekaan ini sendiri, bahasa, sastra, dan aksara daerah tidak kita pelihara, tidak kita hormati, apalagi kita junjung tinggi seperti pada jaman penjajahan. Sebenarnya, jika kita mau, bahasa dan penulisan aksara daerah dapat saja dicantumkan pada mata uang resmi Indonesia. Masih banyak ruang pada mata uang kita itu yang dapat memuat bahasa dan aksara daerah kita. Perhatikan betapa banyaknya ruang pada mata uang kertas kita seandainya kita mau memberi muatan bahasa dan aksara daerah.


Saya kira, tidak hanya pada mata uang saja, aksara daerah itu bisa kita beri kedudukan yang terhormat. Pada petunjuk-petunjuk produk Indonesia pun, bisa saja kita muati bahasa dan aksara daerah sebagaimana para produsen Cina, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain, yang dengan bangganya mencantumkan bahasa dan aksara mereka masing-masing pada petunjuk pemakaian produknya.

Mungkin ada yang berfikiran begini. Jika bahasa dan aksara daerah itu kita cantumkan pada mata uang, tidakkah akan menimbulkan rasa iri hati dan sentiment kedaerahan? Untuk menangkis kecurigaan semacam itu, kita memunculkan bahasa dan aksara daerah pada mata uang secara seri. Mata uang tertentu dengan bahasa dan aksara Bali, bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Bugis, bahasa dan aksara Jawa, dan lain sebagaimana yang sudah kita lihat pada mata uang kita dengan seri gambar-gambar pahlawan nasional, seni tari dan lain sebagainya yang berasal dari daerah.

Untuk menutup makalah saya ini ada dua hal yang ingin saya tekankan. Saya melihat semua kegiatan semacam kongres ini dari dua segi: segi ergon dan segi energiae. Dari segi ergon, kita sadar bahwa Kongres Bahasa Indonesia ini akan merumuskan hasil kongres untuk dideseminasikan ke lembaga-lembaga pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat ramai. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus memperhatikan segi energiae-nya, yaitu adanya dinamika untuk menindak lanjuti hasil kongres ini dengan perbuatan nyata. Oleh karena pembinaan dan pengembangan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan undang-undang itu dengan segala konsekuensinya, sedangkan pemerintah pusat mengatur perekatan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah menjadi budaya nasional Indonesia.-

DAFTAR PUSTAKA MAKALAH Perkembangan Bahasa Sastra Dan Aksara Daerah

Bandana, I Gde Wayan Soken. 2003. “Sekilas Tentang Fungsi dan Asal-Usul Aksara Bali.” Dalam Aksara, Jurnal Bahasa dan Sastra No. 21, Tahun XIII, 2003. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar.
Bawa, I Wayan. 2001. “Pengausan Kemampuan Menggunakan Undha-Usuk Bahasa Jawa Bagi Etnik Jawa Setelah Satu Tahun Tinggal di Denpasar.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Brata, Suparto. 2002. “Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa dalam Kaca Mata Pengarang.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Chambert-Loir, Henri dan Siti Maryam R. Salahuddin. 1999. Bo’ Sangaji (Catatan Kerajaan Bima). Jakarta: Ecole Francais d’Extreme-Orient Yayasan Obor Indonesia.
Gossweiler, Christian. 2001. “Jenggelekipun Basa-Basa Daerah Wonten Tengahing Globalisasi: Refleksi Pengalaman ing Eropa lan ing Indonesia.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Herusatoto, Budiono. 2001. “Rancu Pikir dalam Memahami Makna Kata Tata-Tata Krama dan Undha-Usuk.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Laksono, Kisyani. 2001. “Identifikasi Dialek dan Sub-Dialek Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan. Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Riadi, Slamet. 2002. “Kebijakan Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
Wahab, Abdul. 2001. “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa.” Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta, Juli 2001.
Wahab, Abdul. 2002. “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.” Kongres Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar-Bali, Juli 2002.
Widati, Sri. 2002. “Kontribusi Hasil Penelitian Terhadap Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa.” Seminar Regional Pengajaran Bahasa dan Sastra Jawa di Balai Bahasa Surabaya, September 2002.
-----, 1966. Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali (Pedoman Penulisan papan nama dengan Aksara Bali).Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
-----, 2001. Makalah Kongres Bahasa Jawa III.
-----, 2002. Kumpulan Makalah Kongres Bahasa Bali V. Denpasar: Kerja Sama Pemerintah Propinsi Bali, Badan Pembinaan Bahasa Aksara dan Sastra Bali, Fakultas Sastra Unud, dan Balai Bahasa Denpasar

KEMUNGKINAN MEMBANGUN PSIKOLOGI QUR’ANI

Kemungkinan Membangun Psikologi Qur’ani, Dalam psikologi, mungkinkah seseorang dihakimi sebagai telah bertindak benar atau salah? Dalam logika mazhab behavioristik, suatu mazhab yang sedang mendominasi dunia pemikiran psikologi, jawabnya jelas: mustahil! Demikian juga dalam mazhab Freudian, mazhab yang juga masih berpengaruh luas. Jadi, bagaimana perbuatan korup, serakah, bermewah-ria, menindas dan mengeksploitasi manusia, berkhianat, iri-dengki, gila hormat, dan sejenisnya dapat dikatakan salah dan amoral dari perspektif keilmuan?

Behaviorisme
Nilai benar dan salah dalam asumsi psikologi behavioristik adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar ilmiah. Karena itu, konsep benar dan salah sudah seharusnya disingkirkan dari wilayah studi tentang tingkah laku manusia.

Dalam pandangan psikologi ini, manusia tak ubah bagai lempung yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada pengaruh lingkungan atau rentetan stimuli yang mengenainya. Maka mustahil perbuatan seseorang dapat dihakimi sebagai benar atau salah. Bukankah stimuli itulah yang menjadi sebab perbuatannya? Bukankah satu-satunya motivasi yang menggerakkan tingkah laku manusia tak lain dan tak bukan adalah penyesuaian diri dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya di sini dan kini (here and now)? Maka “benar” dan “salah” hanyalah nilai yang artifisial, hanyalah hasil belajar belaka. Dikemukakan oleh B.F. Skinner dalam bukunya, Beyond Freedom and Dignity (1975), bahwa apa yang dinamakan “benar” dan “salah” dalam tingkah laku bukanlah kebaikan atau kejahatan yang sesungguhnya, melainkan hanyalah hasil dari berbagai reinforcer positif maupun negatif, hadiah (reward) dan hukuman (punishment).
Tak pelak lagi, psikologi yang mendasarkan diri pada prinsip stimulus-response-reinforcement ini adalah psikologi yang memandang manusia laksana benda mati. Manusia tak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Manusia itu makhluk tak berjiwa.

Freudianisme

Serupa dengan behaviorisme adalah Freudianisme, mazhab yang lebih tua dari behaviorisme dan masih berpengaruh luas, yang menyatakan bahwa adalah insting yang bernama eros (insting hidup) dan tanatos (insting mati) yang menjadi penyebab dan landasan untuk menafsirkan segala tingkah laku manusia. Sedangkan nilai-nilai, demikian beberapa penulis kaum Freudian, tidak lain hanyalah mekanisme pertahanan diri, reaksi-reaksi formasi dan sublimasi-sublimasi. Dus, nilai-nilai tak memiliki dasar yang kokoh.
Di mata Sigmund Freud manusia adalah produk evolusi yang terjadi secara kebetulan. Dalam pandangannya, keberadaan manusia, kelahiran dan perkembangannya hanyalah sebagai akibat dari bekerjanya daya-daya kosmik terhadap benda-benda inorganik. Jadi, manusia hanya dipandang sebagai makhluk fisik, makhluk biologi. Ini suatu pemikiran yang jelas sangat dipengaruhi pemikiran Charles Darwin bahwa manusia tak lebih dan tak kurang hanyalah binatang.

Dalam kata-katanya sendiri, sebagaimana tertulis pada bukunya On Creativity and the Unconscious (1958). Freud menegaskan pendiriannya: Dalam gerak perkembangannya ke arah peradaban, manusia memperoleh posisi berkuasa atas sesama makhluk dalam kerajaan binatang. Tapi, tak cukup puas dengan superioritas ini, manusia mulai menciptakan jurang pemisah antara sifatnya dengan sifat makhluk lainnya. Ia menyangkal bahwa yang selain dirinya juga memiliki akal, sedang dirinya sendiri dipertautkan dengan suatu jiwa yang abadi, dan mengklaim dirinya bercitra Ilahi agar dapat memutuskan tali persamaan antara dirinya dengan kerajaan binatang… Kita tahu bahwa setengah abad lebih sedikit yang silam, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Charles Darwin dan para koleganya telah mengakhiri kecongkakan manusia ini. Sesungguhnya, manusia bukanlah makhluk yang berbeda apalagi lebih unggul daripada binatang…

Tak aneh jika, seperti dikatakan Frank G. Goble, selama karirnya Freud berusaha mereduksikan tingkah laku manusia ke dalam ukuran kimiawi dan fisik belaka. Model psikologi mekanistiknya menyembulkan kesimpulan bahwa kesadaran manusia semata-mata merupakan derivat dari proses materialisme, sama seperti teori kesadaran Marx. Ucapannya, bahwa pada waktu seorang manusia mulai bertanya mengenai apa tujuan hidupnya maka pada waktu itulah gangguan kejiwaannya muncul, menggambarkan betapa ia seorang materialis sejati. Dari situ mudah dipahami jika Freud menganggap konsep Tuhan sebagai delusi ciptaan manusia.

Alhasil, kedua mazhab Psikologi itu sama-sama deterministik. Manusia diasumsikan tak memiliki kebebasan untuk menentukan tingkah lakunya sendiri, sehingga mustahil manusia dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakannya. Tak ada nilai benar dan salah karena bukan kemauan manusia sendiri yang menggerakkan tingkah lakunya. Sebagai makhluk yang keberadaannya di muka bumi ini hanyalah karena kebetulan, manusia tak perlu mempertanyakan tujuan dan makna hidupnya. Dengan demikian jelaslah, sekurang-kurangnya pada tataran filosofis, kedua mazhab psikologi ini bertentangan secara diametral dengan pandangan Islam, yang menegaskan keniscayaan tuntutan pertangungjawaban moral dari setiap tindakan manusia.

Psikologi Humanistik
Beruntunglah, dunia psikologi tidak sepenuhnya berisi paham psikologi nihilis seperti terurai di atas. Ada juga mazhab humanistik-eksistensialistik, atau yang dikenal juga sebagai Mazhab Ketiga, yang dalam banyak hal mendasar berbeda dengan kedua mazhab sebelumnya: Freudianisme dan behaviorisme. Mazhab ini memandang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai kemauan dan kebebasan. Ia dapat berbuat menurut kemauannya sendiri, dan ia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, sehingga dengan demikian ia dapat dimintai pertanggungjawaban.

Abraham Maslow, salah seorang tokoh utama psikologi humanistik, sangat tidak menyetujui gagasan yang menyatakan studi tentang tingkah laku manusia harus mengesampingkan konsep tentang benar-salah. Memang salah satu aspek unik dari teori humanistik Maslow adalah keyakinan akan adanya nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum untuk seluruh umat manusia. Dan nilai-nilai itu menurut Maslow dapat dibuktikan secara ilmiah. Jika psikologi menolak nilai-nilai moral, ujarnya, bukan saja akan memperlemah dan menghalangi pertumbuhannya, malainkan juga berarti menyerahkan nasib umat manusia pada supernaturalisme atau relativisme moral. Dan dengan begitu, orang-orang seperti Adolf Eichmann dan Hitler atau penjahat-penjahat kemanusiaan lainnya, tak bisa dikatakan melakukan kejahatan. Karena sepanjang menyangkut pribadi mereka, tak ada masalah; mereka telah berbuat efektif dan efisien.

Di samping Abrahan Maslow, Victor E. Frankl juga harus disebut di sini. Tokoh utama psikologi eksistensial ini mengritik tajam teoritikus-teoritikus yang berorientasi pada psikoanalisis, yakni mereka yang menerangkan semua perbuatan manusia sampai pada perbuatan yang paling manusiawi dan mulia sekalipun, sebagai didorong motif-motif tak sadar dan mekanisme pertahanan yang rendah. Bagi Frankl, pencarian makna bagi manusia adalah suatu kekuatan primer dalam hidup, bukan rasionalisasi sekunder dari dorongan–dorongan insting.
Maslow yang yakin akan adanya dasar ilmiah untuk menetapkan tingkah laku yang benar dan yang salah, kemudian meneliti sifat-sifat atau nilai-nilai yang dimiliki oleh orang-orang yang sehat, dan bahkan sangat sehat (tentu saja menurut penilaiannya), yakni pribadi-pribadi yang teraktualisasikan, wakil kelompok yang olehnya dinamakan the growing tip. Dari situ dia menemukan nilai-nilai utama atau nilai-nilai luhur, yang dia namakan Being-values atau B-values, yang berisi:
kebenaran (truth), kebajikan (goodness), keindahan (beauty), kesatuan (unity), dikotomi-transendensi (dichotomy-transcendence), keaktifan (aliveness/process), keunikan (uniqueness), kesempurnaan (perfection), keperluan (necessity), penyelesaian (completion), keadilan (justice) keteraturan (order), kesederhanaan (simplicity), kekayaan/kemenyeluruhan (richness/totality/ comprehensiveness), kesantaian (effortlessness), humor (playfulness), kecukup-dirian (self-sufficiency), kebermaknaan (meaningfulness).

Menurut Maslow, nilai-nilai itu berhubungan satu sama lain, sehingga harus digunakan untuk saling merumuskan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian kodrat biologis manusia, melekat dalam kodrat manusia, jadi bukan hasil belajar. Hanya saja, karena dorongan kodrati untuk itu lemah maka mudah dilemahkan, diselewengkan dan dikuasai oleh proses belajar, kebiasaan atau tradisi yang keliru. Bagi orang yang sehat dan teraktualisasikan jiwanya, ia telah menyerap nilai-nilai itu ke dalam diri, sehingga setiap serangan terhadap nilai-nilai tersebut akan dirasakan sebagai serangan terhadap dirinya.

Orang-orang itu memilih dan melaksanakan nilai-nilai itu dengan perasaan bebas, dengan sepenuh penghayatan bahwa memang begitulah yang benar dan sehat untuk dilakukan. Maka menurut Maslow, dengan mengetahui apa yang secara bebas dipilih oleh orang-orang yang sehat-normal-teraktualisasikan, menunjukkan pada kita mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah. Dan hal itu, katanya, merupakan dasar bagi suatu sistem nilai yang alamiah dan ilmiah. Singkatnya, strategi dasarnya adalah: pelajarilah perilaku manusia-manusia yang sehat, maka kita akan tahu mana nilai-nilai yang baik dan mana nilai-nilai yang buruk.

Pada titik ini kita dapat mengajukan catatan kritis, bahwa strategi semacam itu mengandung minimal dua kerawanan. Pertama, ketika menentukan siapa manusia-manusia “sehat” yang dipilih sebagai sampel, kriteria apakah yang dipakai? Kedua, ketika menentukan kerangka konsep atau kerangka teori yang akan digunakan untuk “melihat” dan mengorganisasi data perilaku orang-orang yang diteliti.

Menuju Psikologi Qur’ani
Pada hemat penulis, sesungguhnya yang dilakukan Maslow -- bagaimanapun juga -- barulah merupakan upaya membaca satu sisi dari “dua sisi mata uang”. Meskipun asumsi-asumsi dasar mengenai manusia pada psikologi humanistik memang tampak jauh lebih manusiawi dibanding pada kedua mazhab psikologi sebelumnya, akan tetapi dari perspektif Islam, asumsi-asumsi itu tidaklah diturunkan dari wahyu. Meskipun dalam hal ini tidak berarti asumsi-asumsi itu pastilah salah, tetapi minimal sudah terlihat adanya kepincangan epistemologis: hanya ayat-ayat kauniyah (alam empirik) yang dimanfaatkan, ayat qauliyah (wahyu) tidak. Jadi perlu digunakan pendekatan yang lebih lengkap.

Umat Islam memiliki Al-Qur’an yang diyakini sebagai petujuk dan penerang bagi manusia, yang diturunkan oleh Allah, Sang Pencipta manusia itu sendiri. Dan Allah yang menciptakan manusia sudah barang tentu tahu persis tentang apa dan siapa sesungguhnya manusia. Kitab Allah yang autentik ini di dalamnya mengandung keterangan mengenai manusia dengan segenap sifat, sikap dan perilakunya. Adalah tugas para psikolog muslim untuk merumuskan konsep manusia, sifat-sifat manusia, dan nilai-nilai moral menurut Al-Qur’an. (Dalam melakukan hal tersebut sungguh diperlukan sikap super hati-hati untuk dapat memilah mana sifat-sifat manusia dan nilai-nilai moral yang temporal dan mana yang eternal, mana nilai-nilai yang instrumental dan mana yang esensial). Selanjutnya, agar tidak berhenti di tataran ideologis atau keimanan saja, tetapi dapat berlanjut menjadi ilmu, bahan-bahan tersebut harus diolah secara ilmiah. Konsep manusia Qur’ani atau teori tentang perilaku manusia yang diturunkan dari Al-Qur’an itu harus diverifikasi dengan menggunakan metodologi ilmiah.

Ini sama sekali bukan untuk menjustifikasi atau men-judge kebenaran Al-Qur’an dengan alat ilmu, melainkan karena dua alasan. Pertama, karena yang membaca Al-Qur’an dan mencoba-rumuskan teori tentang manusia daripadanya itu adalah manusia dengan segala kelemahannya, maka selalu terbuka kemungkinan keliru. Jadi kebenaran di tararan ideologis itu perlu pengujian, baik pengujian epistemologis maupun pengujian empiris.

Kedua, agar konsep atau teori tentang perilaku manusia itu dapat menjadi teori psikologi (bukan sekedar “ilmu jiwa”), maka ia harus dapat diperiksa, didialogkan dan didiskusikan secara terbuka -- berdasarkan the principle of academic communality -- oleh semua anggota masyarakat akademis. Pendeknya, ia harus memenuhi syarat-syarat ilmiah (meskipun apa yang dinamakan “syarat-syarat ilmiah” itu bukanlah suatu pandangan yang monolit dan statis). Selanjutnya, alat-alat tes yang compatible dengan konsep manusia semacam itu, perlu disusun. Sudah barang tentu, pada level ini status kebenaran teori-teori psikologi tersebut, sebagaimana status kebenaran karya-karya manusia yang lain, adalah relatif. Ia terbuka untuk difalsifikasi dan dikoreksi.

Namun demikian, ia terang memiliki pijakan epistemologis maupun ideologis yang lebih kokoh, tidak seperti ilmu-ilmu yang sekuler yang hanya mengandalkan rasionalisme atau empirisme belaka. Landasan-landasan postulat dan asumsi-asumsi yang digunakan di sini dirumuskan secara terbuka dan berasal dari sumber yang jelas, tidak tersembunyi dan misterius seperti dasar keilmuan psikologi konvensional. Tidak ada prinsip keilmuan yang dilanggar dalam seluruh proses tersebut. Al-Qur’an dan keberagamaan di sini bukan digunakan untuk mengintervensi otonomi dunia ilmu, melainkan hanya dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan-bahan keilmuan untuk selanjutnya diproses secara ilmiah. Kalau perlu nama, psikologi yang sungguh-sungguh menggunakan informasi Qur’ani sebagai bahan dasarnya ini dapatlah disebut sebagai psikologi Qur’ani.

Maka jelaslah, semua langkah ini merupakan kerja besar, tugas kolektif seluruh psikolog muslim. Membangun psikologi Qur’ani secara keilmuan jelas mungkin, sedangkan secara ideologis bagi ummat Islam adalah kewajiban, yaitu untuk menjadikan Al-Qur’an benar-benar sebagai petunjuk dan penerang untuk seluruh dimensi kehidupan manusia.

Konsep Manusia Menurut Psikologi Dan Islam

I. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia dijadikan khalifah Tuhan di bumi karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.
Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik dan karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam arti tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai, selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia.

II. PEMBAHASAN
Sikap seseorang biasanya ikut dipengaruhi oleh bagaimana pandangannya terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Seseorang yang memandang dirinya sebagai yang berkuasa dan orang lain sebagai yang dikuasai cenderung bersikap otoriter.

Pandangan evolusionisme biologis tentang manusia, bahwa manusia adalah binatang mamalia yang cerdas, berbeda sekali dengan pandangan spiritualisme Hindu, bahwa hakekat manusia adalah roh (atman)nya. Kalau pendidikan atau pembangunan suatu masyarakat di dasarkan kepada pandangan pertama, yang akan di perhatikan adalah pendidikan, jasmani, dan penalaran. Kalau pendidikan dan pembangunan itu di dasarkan kepada pandangan spiritualisme, yang akan diperhatikan tentu hanya pendidikan kerohanian. Demikianlah seterusnya, perbedaan sikap, orientasi pendidikan dan pembangunan pada hakekatnya kelanjutan dari bagaimana pandangan yang melaksanakannya terhadap manusia. Islam juga mengajarkan pandangan tertentu tentang manusia. Sebelum pandangan Islam ini diuraikan, terlebih dahulu ada baiknya difahami dulu perbedaan dan kelebihan manusia di banding dengan makhluk lainnya.

1. Manusia menurut Islam
Dalam al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia yaitu insan, basyar dan bani Adam. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “penampakan sesuatu yang baik dan indah”. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas. Dan berbeda jauh dari kulit hewan yang lain. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriyah serta persamaanya dengan manusia seluruhnya, karena Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan seperti yang terungkap pada al-Qur’an.

“Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang di beri wahyu”
(Q.S. Al-Kahfi, 18 : 110)

Dari sisi lain dapat diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar dengan mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Misalnya Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari sel, kemudian kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (Q.S. Ar- Rum, 30 : 20).

Bertebaran disini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran karena mencari rizki kedua hal tersebut tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu Siti Maryam as, mengungkapkan keherananya manakala akan dapat anak padahal ia tidak pernah disentuh oleh basyar (manusia) yang menggaulinya dengan berhubungan seks. (Qs Ali Imron, 3 : 47).

Begitulah terlihat, penggunaan kata basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khalifah di bebankan kepada basyar (Qs Al Hajr 15 : 28 yang menggunakan basyar).
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Pendapat ini jika dilihat dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dibanding dengan yang berpendapat bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa, lalai) atau nasa-yanusu (terguncang). Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya. Jiwa dan raga, psikis dan fisik, manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan.

Yang jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah, di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiw, dan dengan cara ini mengingat kita akan pentingnya jiwa manusia itu ungkapan tanda-tanda dan jiwa-jiwa yang terdapat dalam kepustakaan Islam bersumber dari pertanyaan sebagai berikut :

“Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Ku dari yang terbentang di horison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu”. (Q.S Fushilat, 41 : 53)

Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat, tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah” juga karena jiwanya.

2. Manusia menurut Psikologi
Manusia sejak semula ada dalam suatu kebersamaan, ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga dan rukun tetangga, dan bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Dan sebagai partisipan kebersamaan sudah pasti ia mendapat pengaruh lingkungannya, tetapi sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi dan memberi corak kepada lingkungan sekitarnya. Manusia dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita dan nurani sebagai karakteristik kemanusiaannya, kepadanya diturunkan pula agama agar selain ada relasi dengan sesamanya, juga ada hubungan degan sang pencipta.

a. Manusia menurut psikologi Barat
Bertolak dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu-penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Determinan tri-dimentional organo-biologi, psiko-edukasi dan sosiokultural in dapat dikatakan dianut oleh semua ahli di dunia psikologi dan psikiatri. Dalam hal ini untuk ruhani sama sekali tak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata-mata.

Selain itu psikologi, apapun alirannya menunjukkan bahwa filsafat manusia yang mendasarinya bercorak anthroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang menyangkut masalah manusia dan kemanusiaan. Pandangan ini menyangkut derajat manusia ke tempat teramat tinggi, ia seakan-akan prima causa yang unik. Pemilik akal budi yang sangat hebat, serta memiliki pula kebebasan penuh untuk berbuat apa yang dianggap baik dan sesuai baginya.

Sampai dengan penghujung abad XX ini terdapat empat aliran besar psikologi :
- Psikoanalisis (psychoanalysis)
- Psikologi perilaku (behavior psychology)
- Psikologi humanistik (humanistic psychology)
- Psikologi transpersonal (transpersonal psychology)

Masing-masing aliran meninjau manusia dari sudut pandang berlainan dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, kemudian membangun teori dan filsafat mengenai manusia.

Menurut Freud, kepribadian manusia terdiri dari 3 kategori : aspek biologis (struktur ID), psikologis (struktur ego), dan sosiologis (struktur super ego). Dengan pembagian 3 aspek ini maka tingkatan tertinggi kepribadian manusia adalah moralitas dan sosialitas, dan tidak menyentuh pada aspek keagamaan, lebih lanjut Freud menyatakan bahwa tingkatan moralitas digambarkan sebagai tingkah laku yang irasional, sebab tingkah laku hanya mengutamakan nilai-nilai luas, bukan nilai-nilai yang berada dalam kesadaran manusia sendiri.

Teori Freud ini banyak mendapat kecaman dari psikolog lain, Paul Riccoeur misalnya menyatakan bahwa teori Freud telah memperkuat pendapat orang-orang atheis, tetapi ia belum mampu menyakinkan atau membersihkan imam orang-orang yang beragama.
Psikolog lain yang membantah teori Freud adalah Allport, menurutnya pemeluk agama yang sholeh justru mampu mengintegrasikan jiwanya dan mereka tidak pernah mengalami hambatan-hambatan hidup secara serius. Ringkasnya perlu adanya aspek agama dalam memahami kepribadian manusia.

b. Manusia menurut psikologi Islam
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa teori Freud tentang kepribadian manusia mendapat kecaman, maka ditawarkanlah manusia dalam perspektif psikologi Islam.
Penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia atas jasad dan ruh, tanpa memasukkan nafs.

Masing-masing aspek yang berlawanan ini pada prinsipnya saling membutuhkan, jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi, karena saling membutuhkan maka diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri yang berlawanan, yang dalam terminologi psikologi Islam disebut dengan nafs. Pembagian substansi tersebut seiring dengan pendapat Khair al-Din al-Zarkaly yang di rujuk dari konsep Ikhwan al-Shafa.

1) Substansi jasmani
Jasad adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme fisik manusia lebih sempurna di banding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setiap makhluk biotik lahiriyah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara dan air.

Jisim manusia memiliki natur tersendiri. Al-Farabi menyatakan bahwa komponen ini dari alam ciptaan, yang memiliki bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam serta berjasad yang terdiri dari beberapa organ. Begitu juga al-Ghazali memberikan sifat komponen ini dengan dapat bergerak, memiliki ras, berwatak gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi, sedang menurut Ibnu Maskawaih bahwa badan sifatnya material, Ia hanya dapat menangkap yang abstrak. Jika telah menangkap satu bentuk kemudian perhatiannya berpindah pada bentuk yang lain maka bentuk pertama itu lenyap.

2) Substansi rohani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jism latief), ada yang substansi sederhana (jaubar basiib), dan ada juga substansi ruhani (jaubar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh memiliki arti jaubar (subtance) sedang spirit lebih bersifat aradh (accident).
Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya. Sedang bagi al-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad.

Menruut Ibnu Qoyyim al-Jauzy menyatakan pendapatnya bahwa, roh merupakan jisim nurani yang tinggi, hidup bergerak menembusi anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazaly berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak (hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.

Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout mengatakan bahwa roh itu memang sesuatu yang ghaib dan belum dibukakan oleh Allah bagi manusia, akan tetapi pintu penyelidikan tentang hal-hal yang ghaib masih terbuka karena tidak ada nash agama yang menutup kemungkinannya.

III. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan terdapat poin-poin penting, yaitu :
1. Manusia terdiri dari 2 substansi yaitu substansi jasad dan substansi roh
2. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi.
3. Hakikat psikologi Islam dapat dirumuskan yaitu kajian Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia agar secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Makalah Konsep Manusia Menurut Psikologi Dan Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI
Dr. Rifaat Syauqi Nawawi, MA., dkk., Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Bustanuddin Agus, al-Islam, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1993.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Abdul Mujib, M.Ag, dan Yusuf Muzakir, M.Si., Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, Offset Indah, Surabaya, 1993.

Hubungan Perlindungan Hukum Nasabah Dengan Bank

Hubungan Perlindungan Hukum Nasabah Dengan Bank, Bank sebagai suatu lembaga atau institusi yang melakukan kegiatan di bidang keuangan telah menunjukkan peranan yang cukup penting dalam melayani berbagai kepentingan masyarakat di Indonesia saat ini. Berbagai produk bank telah berkembang untuk memenuhi tuntutan perkembangan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Menurut ketentuan UU Perbankan Indonesia No. 7 1992, Bank adalah suatu badan usaha dan mempunyai kegiatan usaha yang berkaitan dengan penghimpunan dana masyarakat serta memberikan jasa lainnya yang berkaitan dengan keuangan.
Bank dengan berbagai produknya telah banyak dimanfaatkan masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya di bidang keuangan. Mengingat kebutuhan akan jasa perbankan semakin meningkat, maka penulis merasakan betapa pentingnya pemahaman masyarakat akan di sisi lain. Kedua hal tersebut yang hanya dapat terlaksana jika bank berkemampuan melindungi dana masyarakat secara baik. Oleh karenanya bank harus mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar, dan mampu menghadapi persaingan yang semakin bersifat global.
Pemahaman anggota masyarakat terhadap semua aktivitas bank, termasuk semua warkat bank seyogyanya dimulai sejak yang bersangkutan memakai/mempergunakan jasa perbankan, sehingga dapat mencegah risiko. Disini pemakalah mencoba pembahas tentang “Perlindungan Nasabah dan Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank”. Di mana pengertian nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank.

A. Perlindungan Terhadap Nasabah
Nasabah yang menyimpan dananya di Bank umumnya mempunyai berbagai tujuan dan motivasi. Nasabah sangat menginginkan agar dana yang disimpannya pada bank terjamin aman dari segala sesuatu yang dapat merugikannya dan adanya balas jasa dari Bank atas penggunaan dana tersebut. Secara umum perlu adanya perlindungan terhadap nasabah agar tidak dirugikan oleh pihak bank atau pihak lain yang tidak bertanggungjawab. Sehubungan dengan itu sepanjang yang di atas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Lembaga Penjamin Simpanan
Dari ketentuan Pasal 37 B UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dapat diketahui bahwa setiap Bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan melalui Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan demikian, undang-undang sudah mengatur tentang kewajiban bank untuk melakukan penjamin atas dana masyarakat yang diterimanya sebagai simpanan, termasuk yang berbentuk. Untuk pelaksanaannya, tentunya bank harus membuat suatu perjanjian dengan lembaga tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlu pula dikemukakan bahwa sampai tahun kelima sebelah ketentuan undang-undang tersebut berlaku, ternyata lembaga Penjamin Simpanan belum beroperasi sehingga penjaminan simpanan masyarakat pada Bank masih dilakukan oleh pemerintah. Penjaminan tersebut dapat dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah walaupun suatu saat nantinya akan berakhir.

Dengan adanya ketentuan undang-undang mengenai kewajiban bank menjamin dana masyarakat dan adanya program penjaminan yang sudah berjalan tentunya akan memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpanan dalam hal terjadinya penutupan atas bank yang bersangkutan. Nasabah penyimpanan diharapkan akan tetap memperoleh kembali dana yang disimpannya dalam hal terjadi penutupan pada banknya.

2. Rahasia Bank
Dikarenakan kegiatan dunia perbankan mengelola yang masyarakat, maka bank wajib pula menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bank wajib menjamin keamanan uang tersebut agar benar-benar aman. Agar keamanan nasabahnya terjamin pihak perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya. Dengan kata lain bank harus menjaga rahasia tentang keadaan keuangan nasabah dan apabila melanggar kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi.
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU Perbankan Indonesia 1992/1998). Hal ini diatur oleh Pasal 40 dengan rumusan sebagai berikut :

a. Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh Bank menurut kelaziman dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44.

b. Ketentuan sebagaimana dimaksud berlaku bagi pihak terafiliasi.
Lebih lanjut, penjelasan resmi pada Pasal 40 mengutarakan antara lain sebagai berikut : ayat (1)
Dalam hubungan yang menurut kelaziman wajib dirahasiakan oleh bank adalah data dan informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya. Kerahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank.

Menurut ketentuannya, bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diutus oleh undang-undang tersebut dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pihak terafiliasi adalah pihak yang berkaitan dengan pengelolaan bank. Siapa yang disebut sebagai pihak terafiliasi diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbankan Indonesia 1992/1998, antara lain direksi, pejabat dan pegawai bank.

Namun dalam kasus tertentu, kerahasiaan bank tidak berlaku untuk nasabah, misalnya :
a. Untuk kepentingan perpajakan pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tentang keuangan nasabahnya penyimpanan tertentu kepada pejabat bank.

b. Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara. Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah debitur.

c. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan, Bank Indonesia dapat memberikan kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

d. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.

Ketentuan mengenai rahasia bank tersebut tentunya merupakan perlindungan bagi nasabah penyimpanan agar dananya yang disimpan pada bank tidak diketahui oleh pihak-pihak lain yang tidak berkepentingan. Simpanan tersebut merupakan hak pribadi nasabah penyimpanan yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Pelaksanaan dari ketentuan mengenai rahasia bank ini perlu diperhatikan oleh Bank dan petugasnya agar tidak menimbulkan permasalahan yang mungkin akan merugikan bank. Bank dalam hal ini perlu memperhatikan kedudukannya yang sering disebut sebagai lembaga kepercayaan.

B. Hubungan Hukum Nasabah dengan Bank
Bagi pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank, mereka berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan. Pelanggaran terhadap berbagai aturan yang berlaku, termasuk kerahasiaan bank, maka akan dikenakan sanksi tertentu sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 10 tahun 1998.

Jaminan ditegakkannya peraturan-peraturan perbankan dimuat pasal 50 yang mengancam dengan hukuman penjara 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam milyar rupiah).

Pasal 50 tersebut merupakan jaminan bagi masyarakat. Berkat jaminan ini, semua bank tidak dapat berkelit untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, terutama yang berkenaan dengan pemantauan keadaan terhadap suatu bank oleh Bank Indonesia, yang mewakili pemerintah untuk melindungi dana masyarakat sekaligus menjaga agar bank dalam keadaan sehat.
Bank Indonesia dapat menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana dimuat dalam penjelasan resmi Pasal 52, yang antara lain berbunyi :

Sanksi administratif dalam pasal ini dapat berupa :
a. Denda
b. Penyampaian teguran-teguran tertulis;
c. Penurunan tingkat kesehatan bank;
d. Larangan turut serta dalam kliring;
e. Pembekuan kegiatan;
f. Pencabutan izin usaha.

Sanksi juga diberikan kepada siapa saja yang melakukan kegiatan perbankan seperti menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa usaha dari pimpinan Bank Indonesia. Pelanggaran tersebut diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,-00 (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua puluh milyar rupiah).

Kemudian sanksi juga diberikan kepada anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan seperti memberi keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya di ancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah), dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan milyar rupiah).

Namun, pada dasarnya hubungan hukum antara bank dan nasabah didasarkan pada perjanjian baku yang formatnya telah dibuat sepihak oleh bank, sehingga dalam pelaksanaannya hanya berpihak pada bank saja, karena bank selalu menerapkan prudential banking. Faktor-faktor yang mempengaruhi perlindungan hukum terhadap nasabah bank terjadi karena faktor bank itu sendiri serta para pihak yang terkait dalam hal ini Bank Indonesia dan juga lembaga penjamin konsumen, sedangkan kendala-kendala yang mempengaruhi perlindungan hukum terhadap konsumen selaku nasabah bank terjadi karena faktor konsumen itu sendiri selaku nasabah dan juga dari pelaku usaha dalam hal ini adalah Bank. Dalam kondisi yang demikian bank belum memberikan perlindungan hukum yang maksimal terhadap nasabah.

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan :
1. Dari ketentuan Pasal 37 B UU Perbankan Indonesia 1992/1998 dapat diketahui bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan melalui lembaga penjamin simpanan.
2. Dengan adanya ketentuan undang-undang mengenai kewajiban Bank untuk menjamin dana masyarakat dan adanya program penjaminan yang sudah berjalan tentunya akan memberikan perlindungan kepada nasabah penyimpan dalam hal terjadinya penutupan atas bank yang bersangkutan.
3. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. (Pasal 1 angka 28 UU Perbankan Indonesia 1992/1998).
4. Hubungan antara bank dengan nasabah merupakan fiduciary relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan).

Makalah Hubungan Perlindungan Hukum Nasabah Dengan Bank

DAFTAR PUSTAKA
Bahsan, M., Biro dan Bilyet Biro Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Marpaung, Leden, Kejahatan terhadap Perbankan, Erlangga, Jakarta, 1993.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
UU Perbankan, Sinar Grafika, cet. 3, Jakarta, 2002.
Santoso, Totok Budi, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Salemba Empat, Jakarta, 2006.

ASAS-ASAS HUKUM PAJAK

I. PENDAHULUAN
Dalam tia-tiap masyarakat, ada hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu ada peraturan yang mengikatnya yaitu hukum. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hak untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban untuk menghasilkan atau untuk bekerja.

Demikian juga dengan pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk untuk membantu negara dalam meninggikan kesejahteraan umum. Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki gedung, mobil dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada negara.

Cort Van der Linden berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban penduduk negara untuk dapat menetap serta berusaha dalam negara itu dan memperoleh perlindungan. Jadi penduduk negara berhak untuk memperoleh perlindungan (hukum dan sosial ekonomi). Untuk itu penduduk negara berkewajiban membayar pajak kepada negara.

II. PERMASALAHAN
A. Pengertian Pajak
Adapun yang dimaksudkan dengan pajak ialah iuran kepada negara yang terhutang oleh yang wajib membayrnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali yang langsung. Sedangkan menurut Prof. Dr. MJH, Smeeth, pajak yaitu prestasi pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan.
Dari definisi-definisi di atas, ternyata terdapat istilah “yang dapat dipaksakan” atau istilah wajib yang mengandung pengertian bahwa kalau wajib pajak itu tidak mau membayar pajak yang dibebankan kepadanya, maka hutang pajak itu dapat ditagih secara paksa, misalnya dengan penyitaan.

Manfaat atau guna pajak itu sendiri ialah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Jadi hasil atau imbalan yang kita peroleh dari pembayaran pajak ini tidak dapat kita peroleh secara langusng. Karena prestasi yang diberikan oleh pemerintah ini merupakan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, seperti sekolah-sekolah negeri dan sebagainya. Dengan memenuhi kewajiban membayar pajak, seorang wajib pajak sebagai warga negara yang baik telah membantu pemerintah dalam membiayai rumah tangga negara dan pembangunan negara.

Ciri-ciri pajak :
1. Pajak dipungut berdasar peraturan perundangan yang berlaku
2. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah
3. Pajak tidak menimbulkan adanya kontra prestasi dari pemerintah secara langsung
4. Pajak dipungut untuk membiayai pengeluaran pemerintah
5. Pajak berfungsi sebagai pengatur anggaran negara.
Sehubungan dengan adanya ciri-ciri di atas, maka pajak berbeda dengan retribusi. Pada retribusi pembayaran tersebut memang ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk memperoleh suatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran karena pemberian suatu izin oleh pemerintah.

B. Macam-macam Pajak
Pajak dapat dibagi dua golongan, yaitu :
1. Pajak langsung ialah pajak yang harus dipikul sendiri oleh si wajib pajak dan tidak dilimpahkan kepada orang lain. Misalnya : pajak seorang pengusaha dibayar dari pendapatan atau labanya sendiri sehingga pada dasarnya pajak ini tidak menaikkan harga barang yang diproduksi oleh pengusaha itu.
Contoh pajak langsung : pajak penghasilan, pajak kekayaan, pajak rumah tangga, pajak perseroan, pajak bumi dan bangunan dan sebagainya.
2. Pajak tidak langsung ialah pajak yang dibayar oleh si wajib pajak tetapi oleh wajib pajak ini dibebankan kepada orang lain yang membeli barang-barang yang dihasilkan olehnya.
Pajak ini akhirnya dapat menaikkan harga, karena dibebankan kepada pembeli dan karena itu hanya dibayar kalau terjadi transaksi yang menimbulkan pajak tersebut.
Misalnya : pajak penjualan, pajak pembangunan, bea materai, bea balik nama dan sebagainya.

C. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak ialah hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan para wajib pajak, yang antara lain menerangkan :
1. Siapa-siapa wajib pajak
2. Obyek-obyek apa yang dikenakan pajak
3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah
4. Timbul dan hapusnya hutang pajak.
5. Cara penagihan pajak
6. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak.
Dalam penyusunan peraturan perpajakan ini harus diperhatikan banyak hal, antara lain kemampuan wajib pajak, keadilan dalam pembebanan pajak, keadaan keuangan negara, keadaan ekonomi masyarakat dan cara-cara pelaksanaannya.

D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban pajak itu timbul setelah memenuhi dua syarat, yaitu :
1. kewajiban pajak subyektif ialah kewajiban pajak yang melihat orangnya.
Misalnya : semua orang atau badan hukum yang berdomisili di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif.

2. Kewajiban pajak obyektif ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dikenakan pajak.
Misalnya : orang auat badan hukum yang memenuhi kewajiban pajak kekayaan adalah orang yang punya kekayaan tertentu, yang memenuhi kewajiban pajak kendaraan ialah orang yang punya kendaraan bermotor dan sebagainya.

Kewajiban wajib pajak
Dalam menghitung jumlah yang dipakai untuk dasar pengenaan pajak, diperlukan bantuan dari wajib pajak dengan cara mengisi dan memasukkan surat pemberitahuan (SPT). Setiap orang yang telah menerima SPT pajak dari inspeksi pajak mempunyai kewajiban :
a. Mengisi SPT pajak itu menurut keadaan yang sebenarnya
b. Menandatangani sendiri SPT itu
c. Mengembalikan SPT pajak kepada inspeksi pajak dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Wajib pajak harus memenuhi kewajibannya membayar pajak yang telah ditetapkan, pada waktu yang telah ditentukan pula. Terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak, dapat diadakan paksaan yang bersifat langsung, yaitu penyitaan atau pelelangan barang-barang milik wajib pajak.

Hak-hak Wajib Pajak
Wajib pajak mempunyai hak-hak sebagai berikut :
1. Mengajukan permintaan untuk membetulkan, mengurangi atau membebaskan diri dari ketetapan pajak, apabila ada kesalahan tulis, kesalahan menghitung tarip atau kesalahan dalam menentukan dasar penetapan pajak.
2. Mengajukan keberatan kepada kepala inspeksi pajak setempat terhadap ketentuan pajak yang dianggap terlalu berat.
3. Mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak, apabila keberatan yang diajukan kepada kepala inspeksi tidak dipenuhi.
4. Meminta mengembalikan pajak (retribusi), meminta pemindah bukuan setoran pajak ke pajak lainnya, atau setoran tahun berikutnya.
5. Mengajukan gugatan perdata atau tuntutan pidana kalau ada petugas pajak yang menimbulkan kerugian atau membocorkan rahasia perusahaan / pembukuan sehingga menimbulkan kerugian pada wajib pajak.

III. KESIMPULAN

Pajak ialah iuran wajib kepada negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali secara langsung, manfaat atau guna pajak yaitu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Pajak dibagi dalam dua macam yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung, disamping itu wajib pajak pun mempunyai kewajiban dan hak-hak sebagai seorang wajib pajak. Hukum pajak ialah hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan wajib pajak.

DAFTAR PUSTAKA MAKALAH ASAS-ASAS HUKUM PAJAK
H. Bohari, SH., M.S., Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002.
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Prof. H. A. M. Effendy, SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Semarang : 1994

Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia

Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia

I. Normatif (Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia)
Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.

Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :

Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :

a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.

b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.

c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.[1]

II. Fakta (Realita yang Ada Tentang HAM di Indonesia)

Jika melihat hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi realitas yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.

Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, seperti yang dikutip dari http// : www.kapan lagi. com, mengatakan bahwa kekerasa terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.

Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas.

Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari http//:www.sekitarkita.com, adalah sebagai berikut :

Tahun 1991 :
1. Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal

Tahun 1992 :
1. Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto
2. Penangkapan Xanana Gusmao

Tahun 1993 :
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.

Tahun 1996 :
1. Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996)
2. Kasus tanah Balongan
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan
4. Sengketa tanah Manis Mata
5. Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka
6. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar
7. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)

Tahun 1997 :

1. Kasus tanah Kemayoran
2. Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim

Tahun 1998 :

1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998

2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei

3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.

III. Analisis

Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.

Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia
2. Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang
3. Kurang adanya penegakan hukum yang benar.
Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.

IV. Kementar
Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :

1. Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi
2. Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang
3. Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM
4. Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat

Dan hal-hal yang bersifat positif. Demikian paper yang penulis buat tentang Hak Asasi Manusia, semoga bermanfaat. Saran dan kritik selalu penulis tunggu perbaikan dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
- Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta : The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003

Makalah Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia
-----------------------------
[1] Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta : The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003, hlm. 203