Showing posts with label korupsi. Show all posts
Showing posts with label korupsi. Show all posts

Data Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010

Data Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2010 : BUMN diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebagaimana diatur dalam UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang bersih dari KKN dan UU 30/2002 tentang KPK. Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara juga kemudian mengeluarkan keputusan tentang perluasan wajib lapor. "Ditambah keputusan dari Kementerian BUMN

Ternyata tidak hanya sejumlah anggota dewan yang malas melaporkan harta kekayaan, pejabat/direksi Badan Usaha Milik Negara pun memiliki tabiat yang sama. Mereka tidak melaporkan harta meski telah diwajibkan oleh Undang-Undang.

Data Direktorat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, dari total 141 BUMN terdapat 6.478 direksi yang wajib melaporkan harta kekayaan, baru 4.280 yang melaporkan harta kekayaan, sisanya, 2.198 belum melaporkan harta.

Dari data Direktorat LHKPN disebutkan, BUMN yang paling malas melaporkan harta kekayaan adalah :

Balai Pustaka. Dari wajib lapor sebanyak 32 orang baru 5 orang yang melapor atau 15,63 persen.
PT Garuda Indonesia juga terctat yang malas laporkan harta. Dari wajib lapor berjumlah 96 orang, yang sudah melapor baru 26 orang atau 23 persen.

PT Pertamina sebanyak 243 orang yang sudah melapor 115 orang atau 47 persen. Sementara
PT Kereta Api Indonesia wajib lapor harta 472 orang, yang sudah lapor 347 orang.
PT Telkom wajib lapor harta 140 orang, yang baru lapor 33 orang.

Wajib lapor harta PT Perusahaan Gas Negara 76 orang, yang melapor baru 19 orang atau 25 persen. PT Pos Indonesia yang menjadi wajib lapor 83 orang yang telah lapor 29 orang. PT Bank Negara Indonesia, wajib lapor 229 orang, yang lapor baru 71 orang.

PT PLN yang menjadi wajib lapor 156 orang, yang baru melapor 55. Padahal sebelumnya, Direktur PLN Dahlan Iskan pernah mengancam akan memecat direksi PLN yang belum melaporkan harta kekayaan. Direktorat LKHPN KPK juga mencatat BUMN yang paling patuh dalam melaporkan harta kekayaan. BUMN tersebut adalah PT Bank Mandiri, PT Jasindo dan PT Aneka Tambang.

Berdasarkan pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) di Direktorat LHKPN per 21 Juli 2010, berikut inilah datanya.

PT Merpati (maskapai penerbangan) dari sebanyak pejabat yang wajib lapor yaitu 30 orang, baru 20 persen atau sebanyak enam pejabat yang melaporkan. PT Telkom dari sebanyak wajib lapor 140 pejabat, baru 33 yang lapor atau 23,57 persen.

Menyusul, PT Perusahan Gas Negara (PGN) dari wajib lapor sebanyak 76 baru 19(25%) pejabat yang melaporkan. PT Garuda Indonesia yaitu baru 26 (27%) sudah lapor. Jumlah wajib lapor di perusahaan maskapai penerbangan itu ada 96 orang.

Sementara di perusahaan perbankan yaitu BNI, pejabat yang sadar melaporkan yaitu baru 71 orang (31,4%). Padahal jumlah wajib lapornya terbilang cukup besar yaitu 226 orang. Disusul PT Pos Indonesia, dari sebanyak 83 wajib lapor baru 29 orang (34,94%) yang lapor.

Di perusahaan penghasil listrik, PT PLN dari 156 wajib lapor baru 55 (35%) pejabat yang melaksanakan kewajibannya. Terkait itu, Jumat(23/7) kemarin usai melaporkan kekayaannya di KPK, Dirut PLN, Dahlan Iskan menegaskan, PLN menerapkan sanksi pemecatan terhadap pejabat yang tidak melaporkan kekayaannya.
Referensi :
Suara Merdeka
INILAH.COM

Istilah-istilah Umum dalam Kegiatan Korupsi

Istilah-istilah Umum dalam Kegiatan Korupsi :
Uang Tip:
Sama dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang karena jasanya/pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.

Angpao:

Pada awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan

Uang Administrasi:
Pemberian uang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus agar penyelesaiannya cepat selesai.

Uang Diam:
Pemberian dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika memeriksa pertanggung jawaban walikota/gubernur agar pertanggung jawabanya lolos.

Uang Bensin:
Uang yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu sama lain, seperti antara temen satu dengan yang lain. Misalnya A minta bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan, uang bensinya mana ?

Uang Pelicin:
Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.

Uang Ketok:
Uang yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui/mengesahkan anggaran usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
Uang Kopi:
Uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
Uang Pangkal:
Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan/kegiatan agar pekerjaan tersebut lancar

Uang Rokok:
Pemberian uang yang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus penyelesaianya cepat.

Uang Damai:
Digunakan ketika menghindari sanksi formal dan lebih memberikan sesuatu biasanya berupa uang/materi_ sebagai ganti rugi sanksi formal.
Uang di Bawah Meja:
Pemberian uang tidak resmi kepada petugas ketika mengurus/membuat surat penting agar prosesnya cepat
Tahu Sama Tahu:
Digunakan di kalangan bisnis atau birokrat ketika meminta bagian/sejumlah uang. Maksud antara yang meminta dan yang memberi uang sama-sama mengerti dan hal tersebut tidak perlu diucapkan.

Uang Lelah:
Menunjuk pada pemberian uang secara tidak resmi ketika melakukan suatu kegiatan. Uang lelah ini bisanya diminta oleh orang yang diminta bantuanya untuk membantu orang lain. Istilah ini kemudian sering digunakan oleh birokrat ketika melayani masyarakat untuk mendapatkan uang lebih

Istilah-istilah Korupsi di Daerah - BANDUNG

Biong:
Makelar tanah yang menjual tanah dengan harga tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang besar meskipun itu tanah negara, dengan cara mempengaruhi masyarakat untuk menyerobot tanah negara dan dijual oleh makelar tersebut ke tangan orang lain dengan harga tinggi.
CNN (can nulis-nulis acan):
Artinya tidak pernah nulis. Merupakan plesetan dari nama stasion televisi Amerika. Digunakan untuk menggambarkan wartawan yang suka meminta uang dari para pejabat yang korup dengan mengancam jika tidakdiberikan maka kedok pejabat tersebut akan dibuka.

Ceceremed:
Artinya panjang tangan, suka mengambil yang bukan haknya. Digunakan untuk menggambarkan orang yang mengambil barang milik kantor atau milik negara, misalnya mengambil pulpen dari kantor atau bahkan uang.
D3 (duit, duekuet dan dulur):
Merupakan akronim dari duit (uang), duekuet (dekat) dan dulur (saudara). Digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi di mana jika seseorang ingin memperoleh pekerjaan makaia harus mempunyai D-3.

Dikurud:
Artinya dipotong, memotongi janggut atau kumis. Kemudian digunakan untuk menggambarkan anggaran yang dipotong atau mengambil benda yang bukan miliknya. Misalnya suatu daerah menerima dana program, seharusnya 5 juta, tetapi kenyataanya hanya 2 juta karena sudah dipotong 3 juta.

Dipancong:
Artinya terkena cangkul secara tidak sengaja, istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan pemotongan anggaran, baik itu dana proyek maupun dana perjalanan.
Injek:
Digunakan untuk menggambarkan penyalahgunaan kekuasaan pejabat yang lebih tinggi untuk menekan pejabat yang lebih rendah yang dianggap menghalangi.

Istilah-istilah Korupsi di Daerah - PADANG
Uang takuik:
Uang takut, uang yang dipungut secara liar oleh preman dan agen liar di terminal atau di daerah-daerah tertentu yang dilewati oleh angkutan umum.
Jariah manantang buliah:
Setiap ada pekerjaan harus diberi imbalan.

Bajalan baaleh tapak:
Setiap ada perjalanan harus ada ongkosnya baik uang makan maupun uang yang diberikan ketika suatu urusan telah selesai.
Bakameh:
Uang yang diberikan kepada seorang pejabat yang akan dipindahtugaskan atau habis masa jabatannya. Orang yang memberikan bakameh adalah mitra atau rekan pejabat tersebut.

Sumbar:
Merupakan akronim dari semua uang masuk bagi rata. Misalnya, dalam suatu proyek ada dana sisa hasil proyek maka dana tersebut harus dibagi rata kepada semua orang yang terlibat dalam proyek tersebut.

Uang danga:
Uang dengar, yakni uang yang didapat dari kehadiran dan mendengar suatu transaksi yang bernilai jual.

Istilah-istilah Korupsi di Daerah - MAKASAR

Pamalli kaluru:
Tindakan yang dilakukan oleh petugas yang meminta imbalan uang kepada warga yang mengurus suatu urusan/surat-surat. Pihak-pihak yang terlibat adalah petugas suatu instansi pemerintah yang berurusan dengan surat-surat resmi, seperti imigrasi, keluruhan dan ditlantas

Pamalli bensing:
Seseoarang yang meminta uang pembelian bensin kepada pejabat, jika ia akan bertugas karena diperintah oleh pejabat yang bersangkutan.
Passidaka:
Memberikan hadiah sebagai penghormatan kepada tokoh agama atau tokoh masyarakat. Kemudian berkembang, pemberian hadiah itu tidak hanya ditujukan kepada tokoh agama/masyarakat, tetapi juga kepada pejabat. Tujuannya agar mendapatkan posisi yang baik dalam pekerjaan, mendapatkan kenaikan jabatan atau agar urusan bisnisnya diperlancar.
Pa'bere:
Pemberian kepada seseorang yang berjasa membantu urusan seperti KTP, SIM atau STNK sehingga proses pembuatanya cepat dan mudah.

Dikobbi:
Tindakan yang dilakukan petugas/aparat ketika meminta sesuatu imbalan kepada yang berurusan, cukup dicolek saja agar urusan lancar. Istilah ini digunakan untuk memperhalus perilaku petugas yang meminta sogok.

Amapo (uang amplop):
Digunakan oleh wartawan yang biasa meminta amapo kepada pejabat yang diwawancarainya. Istilah ini menggambarkan praktek penyuapan.

Pengertian Korupsi dan Dampak negatif Yang Ditimbulkan

Pengertian Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:

• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
• Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".

Dampak negatif Yang Ditimbulkan:

DEMOKRASI

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

EKONOMI

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri.

(Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, diluar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.



Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan.

Duabelas negara yang paling kurang korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan ttg korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional di tahun 2001 adalah sebagai berikut (disusun menurut abjad):

Australia, Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Luxemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, Swedia, dan Swiss

Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah (disusun menurut abjad):

Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, dan Ukraina

Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)

Sumbangan kampanye dan "uang lembek"

Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Cina, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi

Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.

Referensi

* Sebagian besar dari isi artikel ini diambil dari halaman wikipedia berbahasa Inggris yang setara. Referensi berikut ini disebutkan oleh artikel berbahasa Inggris tersebut:
* Axel Dreher, Christos Kotsogiannis, Steve McCorriston (2004), Corruption Around the World: Evidence from a Structural Model

Makalah Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara Dan Upaya Penaggulangannya

DAMPAK KORUPSI TERHADAP KEHANCURAN
NEGARA DAN UPAYA PENAGGULANGANNYA

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan


negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Berdasarkan laporan pemberantasan korupsi Kwik Kian Gie yang dimuat diharian Kompas 25 Oktober 2003 jumlahnya mencapai Rp 444 triliun. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.

Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.

DONWLOAD LENGKAP Makalah Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara Dan Upaya Penaggulangannya

Ibadah Haji Jadi Ladang Pungli

Ibadah Haji Jadi Ladang Pungli, sebagai warga Negara yang pernah mengenyam pendidikan moral pancasila di bangku Sekolah Dasar terasa pilu melihat penomena Praktik korupsi di negeri ini nampaknya sudah sangat akut dan memasyarakat. Korupsi kecil-kecilan seperti pungutan liar (pungli) sudah menjadi hal lumrah untuk dilakukan oleh aparat yang berhadapan langsung dengan masyarakat, bahkan dalam ibadah haji sekalipun.

Di Terminal Haji Bandara Internasional Soekarno Hatta misalnya, akan mudah ditemukan anggota keluarga yang akan menjemput sanak saudaranya terpaksa harus merogoh koceknya untuk diberikan kepada petugas yang tidak bertanggung jawab, itu hanya karena ingin mendapat akses bertemu.


ini ceritanya:
"Berapa Pak? kalau segitu saya sarankan Bapak membawa satu orang saja yang masuk ke dalam," ujar petugas penjaga pintu masuk menawarkan kepada Memed, seorang pria yang akan menjemput istrinya di Terminal Haji, Cengkareng Tangerang, Selasa (15/12/2009).

Memed yang saat itu membawa putri dan keponakannya pun terpaksa hanya diperkenankan membawa satu anggota keluarganya masuk. Untuk masuk ke Gedung Platform, tempat di mana jamaah haji yang baru tiba di Tanah Air bisa ditemui sebelum ke debarkasih, para penjemput memang harus menggunakan kartu pas yang dikeluarkan oleh Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) kabupaten/kota dan Departemen Perhubungan.

Mereka bisa membawa anggota keluarga lainnya masuk jika mereka memberikan tips yang diminta oleh petugas. Ternyata, tidak hanya Memed yang menjadi korban pungli para petugas bandar. Rasa rindu yang mendalam karena telah berpisah dengan keluarganya yang berangkat ke Tanah Suci selama satu bulan lebih membuat keluarga yang ditinggalkan melakukan berbagai upaya untuk bisa bertemu segera.

Padahal, jamaah haji yang berasal dari luar Jakarta biasanya akan diberangkatkan terlebih dahulu di asrama haji masing-masing debarkasih. Di situ keluarga yang akan menjemput bisa bertemu dan pulang ke kampung halaman bersama yang menjemputnya.


Jika praktik korupsi yang kecil seperti ini saja belum bisa diberantas, sulit rasanya pemberantasan korupsi yang didengungkan pemerintah saat ini bisa tercapai. Masyarakat pun akan semakin terbiasa melakukan ini dan korupsi akan membudaya.

Wahh...Kekurangan yang bersifat teknis, dinilai biasa terjadi
Sementara itu Sekretaris Jenderal Departemen Agama Bahrul Hayat menyatakan secara umum pelaksanaan ibadah haji 2009 berlangsung dengan baik. Kekurangan yang bersifat teknis, dinilai biasa terjadi. "Secara umum pelaksanaan ibadah haji cukup baik. Puncak ibadah haji baik. Akomodasi, transportasi, dan katering cukup baik, termasuk masalah pemondokan. Tidak ada yang menolak," papar Bahrul.

Menurutnya, keluhan dari jamaah yang mendasar terdapat di pemondokan yaitu kekurangan air. "Tahun ini tidak banyak keluhan. Hanya tempat-tempat jemuran saja yang dikeluhkan jamaah," tuturnya

Dia menambahkan tindakan kriminal oleh warga Indonesia masih ditemui pada pelaksanaan tahun ini. "Kejahatan masih ada yang dilakukan warga Indonesia namun langsung kita tindak," tandasnya.

Bahrul juga mengeluhkan banyaknya jamaah nonkuota yang mengganggu pelaksanaan ibadah haji. "Kita sudah protes kepada muasasah (pengelola maktab). Solusinya boleh dicari. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak mendapatkan tiket pulang," terangnya.

Untuk itu, lanjutnya, Depag mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menggunakan cara berangkat haji tanpa mendaftar secara resmi karena bisa membahayakan. Saat ini ada sekira 3.000 jamaah nonkuota. Dari jumlah itu ada puluhan yang sampai saat ini belum mendapat tiket pulang

sumber okezone

Dugaan Korupsi di Mahkamah Agung

Dugaan Korupsi di Mahkamah Agung, Institusi Mahkamah Agung dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi sorotan publik. Selain dinilai tidak memberikan dukungan terhadap agenda pemberantasan korupsi karena banyak membebaskan pelaku korupsi (tahun 2008,121 terdakwa dibebaskan), pada prakteknya institusi ini juga dinilai tidak steriil dari dugaan penyimpangan yang mengarah pada korupsi dan kerugian negara.

Hal ini setidaknya dapat dilihat dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keungan atau BPK pada tahun 2006 dan 2008 berkaitan dengan pengelolaan keuangan di Mahkamah Agung.

BPK menemukan sejumlah indikasi penyimpangan antara lain: pelaksanaan kegiatan di lingkungan MA; proyek pengadaan barang dan jasa; pengelolaan biaya perkara; dan dugaan penyimpangan anggaran untuk kepentingan pribadi pimpinan, hakim agung, dan pejabat struktural di MA. Dugaan penyimpangan ini terjadi pada periode 2006 hingga 2007 selama MA dipimpin oleh Bagir Manan.

Dugaan penyimpangan tersebut terkait dengan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku dan pelanggaran atas asas kehematan. Potensi kerugian negara yang ditimbulkan dari sejumlah dugaan penyimpangan tersebut sedikitnya berjumlah Rp 21,3 Miliar.

Dari dugaan penyimpangan tersebut terdapat beberapa hal yang menarik untuk dicermati.

Pertama,
dugaan penyimpangan dalam pengelolaan biaya perkara di MA. Laporan Audit menyebutkan biaya perkara 2004-Sem I 2006 dan Penerimaan negara bukan pajak dari biaya perkara yang nilainya Rp 10,2 miliar belum dipertanggungjawabkan.

Pihak MA menolak audit yang dilakukan oleh BPK dengan alasan bukan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun pada sisi lain meskipun MA membebankan biaya yang terkait perkara kepada pihak yang berperkara, faktanya MA juga mengalokasikan anggaran terkait dengan biaya perkara dalam DIPA Kesekretariatan. Selama Desember 2005 hingga Juni 2006, tercatat pengeluaran sebesar Rp 5,6 miliar.

Kedua, terdapat proyek pengadaan barang dan jasa yang diduga tidak realistis maupun fiktif. Misalnya dalam Pengadaan System Informasi tahun 2006 yang nilai proyeknya mencapai Rp 12,4 miliar, temuan BPK menyebutkan dugaan penyimpangan lebih dari separuhnya atau Rp 6,5 miliar. Proyek lainnya yaitu pemeliharaan jaringan dan database SIMARI sebesar Rp 489 juta, ternyata kegiatan pemeliharaan database SIMARI dan telah dibiayai dalam kontrak sebesar Rp 163,8 juta tidak pernah ada atau fiktif, serta biaya abonemen leased-line internet sebesar Rp 178 juta tanpa bukti pertanggungjawaban.

Ketiga, dugaan penyimpangan anggaran untuk kepentingan pribadi pimpinan, hakim agung, pejabat struktural maupun pegawai di MA. Pada tahun 2006, BPK menemukan terdapat perjalanan dinas fiktif yang dilakukan 13 pegawai MA senilai Rp 98 juta. Selama tahun 2007, BPK menemukan dua bentuk dugaan penyimpangan anggaran untuk kepentingan pribadi yaitu: (1) untuk untuk membayar premi asuransi kesehatan platinum selama Oktober - Desember 2007 untuk Pimpinan, Hakim Agung, dan Pejabat Struktural Mahkamah Agung RI sebesar Rp 917,33 juta; (2) belanja barang operasional Khusus Ketua MA yang dibayarakan secara lumpsum (12 bulan), dan tanpa menjeaskan detil kegiatan senilai Rp 540 juta.

Sejauh ini Komisi Pemberantasan Korupsi baru melakukan pemeriksaan terhadap dugaan penyimpangan terkait dengan biaya perkara dan rekening liar di MA. Sebagai upaya menuntaskan pembersihan praktek korupsi di MA dan mendorong percepatan reformasi birokrasi di MA, maka kami merekomendasikan sebagai berikut :

1. KPK juga harus segera menindaklanjuti dan melakukan pemeriksaan atas sejumlah penyimpangan sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan BPK tahun 2006 dan 2008 berkaitan dengan pengelolaan anggaran di Mahkamah Agung RI.

2. Pimpinan MA jika sungguh-sungguh berkomitmen dalam pemberantasan korupsi harus membuka diri dan kooperatif terhadap langkah yang akan ditempuh oleh KPK dalam menindaklanjuti temuan BPK.

3. Pemerintah perlu meninjau ulang (evaluasi) mengenai kenaikan renumerasi dilingkungan pengadilan/Mahkamah Agung. Proses kenaikan renumerasi harus mempertimbangkan pada kinerja, tranparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di pengadilan/Mahkamah Agung serta dukungan terhadap agenda pemberantasan korupsi.


Pelapor: Indonesia Corruption Watch
Jl. Kalibata Timur IV/D No. 6 Jakarta Selatan
Telp: 021-7901885, 021-7994005
http://www.antikorupsi.org


Alasan PNS melakukan Korupsi

Alasan PNS melakukan Korupsi merupaka hal yang klasik Sebenarnya yang perlu dilakukan perombakan adalah "KEBANGGAAN MENJADI ORANG INDONESIA" dimana dalam realitas hidup, para pejabat banyak sekali yang tidak merasa mempunyai Negara ini (sense of Indonesian), sehingga mereka hanya berfikiran menjadi PNS untuk korup, bagaimana Tidak , untuk menjadi seorang PNS sekarang harus menyuap, kalau tidak menyuap mana mungkin bias jadi Pegawai Negeri.

Diperusahaan swasta, perusahaan yang ditangani oleh pemilik langsung cenderung tingkat korupnya kecil jika dibandingkan dengan perusahaan yang ditangani oleh professional yang bukan pemilik ( lihatlah diperusahaan BUMN, ASING, SWASTA dilevel menengah kebawah !!)


Kita tidak akan kaget apabila pengadaan diperusahaan-perusahaan besar, selalu saja melibatkan orang dalam baik dalam hal jumlah, harga, kualitas maupun pengecualian...hal ini juga berlaku diperusahaan asing besar, jangan apriori dulu tapi mari kita jujur dan objective dikehidupan nyatanya.

Ini menjadi dilema dalam penanganan korupsi dinegeri kita ini, kenapa ? karena selain kompensasinya memang rendah, juga penegakan hukumnya tidak tegas, selalu saja ada toleransi dan kompromi. Selain itu negara juga mempunyai fungsi untuk menampung tenaga kerja yang tidak mendapatkan pekerjaan di luar, hal ini menjadi bumerang bagi negara.

Melihat Penjara Khusus Koruptor

Melihat Penjara Khusus Koruptor ; Kementerian Hukum dan HAM membuat penjara khusus bagi koruptor. Hari ini (27/4) penjara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diresmikan. Lokasi penjara khusus koruptor ini terletak di Rumah Tahanan kelas I Cipinang, Jakarta Timur.

Menurut arsitek dari Rutan Tipikor Purwo Ardoko, kapasitas penjara khusus untuk kasus-kasus korupsi itu adalah 256 orang. "Di lantai 1,2, dan 3. Khusus untuk orang sakit dan manula disediakan ruangan untuk satu orang," kata dia, Selasa (27/4).

Khusus di lantai satu, kata dia, terdapat 16 kamar. Luas ruang tahanan, sambung dia, 4x6 meter. Sedangkan lantai dua dan tiga, satu ruang tahanan bisa diisi 5 orang. "Luasnya 7X5 meter," kata Purwo.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengusulkan penjara khusus untuk tahanan korupsi. KPK tidak ingin tahanan korupsi dicampur dengan tersangka lain. Usulan ini kembali diwacanakan KPK setelah Artalyta Suryani, Darmawati Dareho, Ines, dan Ary mendapatkan fasilitas khusus di Rutan Pondok Bambu.Artalyta mendapat ruangan terpisah dengan tahanan lain dengan fasilitas mewah. Di dalam ruangannya yang besar, terpidana suap jaksa Urip Tri Gunawan itu terdapat televisi, kulkas, pendingin ruangan, dan meja kantor.





Selain menemukan perlakuan khusus kepada Artalyta, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum juga menemukan kasus yang sama di blok lain. Aling, terpidana kasus narkotika, bahkan memiliki fasilitas karaoke, televisi, dan ruang lebih besar.(VIVAnews)

Makalah Korupsi Sistemik Dalam Pengumpulan Uang Negara


Pendahuluan
“Orang Bijak Taat Pajak”
“Membayar Pajak Adalah Patriot Bangsa”
“Pembayar Pajak Adalah Pahlawan Pembagunan”

Slogan-slogan seperti itu rasanya tidak asing bagi kita. Slogan-slogan tersebut dapat saja berbentuk stiker, ditempelkan di tempat-tempat umum, tetapi sering juga diucapkan oleh para pejabat Dirjen Pajak. Sebenarnya untuk apa mengaitkan antara patriot, pahlawan pembangunan dengan pajak?

Masalah pajak memang masalah yang sensitif. Menyangkut hubungan antara warga negara dengan negara, DPR, Pemerintah dan undang-undang. Bahkan salah satu penyebab kemerdekaan Amerika Serikat adalah adanya tuntutan no taxation without represantion, tidak akan membayar pajak kalau tidak mempunyai wakil rakyat di Inggris.

Barangkali definisi berikut dapat menjelaskan. Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro1 adalah peralihan kekayaan dari rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.Dengan demikian pajak merupakan kewajiban masyarakat untuk menyerahkan sebagian kekayaannya ke kas negara tanpa imbal balik langsung dari negara.

Jadi berbeda dengan retribusi yang dibayar karena adanya suatu transaksi barang atau jasa, pajak merupakan kewajiban masyarakat. Kewajiban ini diatur undang-undang yang merupakan kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif yang dianggap mewakili rakyat.
Kemudian ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah:

1. Pajak dipungut oleh negara (pemerintah pusat maupun daerah), berdasarkan kekuatan UU serta peraturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayarannya tidak ada hubungan kontra prestasi individu oleh pemerintah atau tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayar pajak dengan kontra prestasi individu.
3. Penyelenggaraan Pemerintah secara umum merupakan kontra prestasi dari negara.
4. Diperuntukkan bagi pengeluaran rutin pemerintah, jika masih ada suplus untuk public investment.
5. Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu kepada seseorang.

Dari pengertian dan ciri-ciri pajak tersebut, maka dapat dipahami kalau aparat pajak
selalu menggebu-gebu mengaitkan pajak dengan patriotisme dan pembangunan. Tetapi secara substansial apakah mereka yang sudah membayar pajak merupakan patriot dan pahlawan yang sebenarnya, itu masih bisa diperdebatkan. Apalagi ketika tingkat korupsi di Dirjen Pajak sudah mencapai tahap sistemik (seperti yang akan dijelaskan berikut ini), maka jika kita membayar pajak, sama artinya dengan memberi makan koruptor.

DOWNLOAD Makalah Korupsi Sistemik Dalam Pengumpulan Uang Negara

Ketegori Korupsi di Sektor Pajak

Ketegori Korupsi di Sektor Pajak, Menurut Emerson, praktik korupsi pajak tergolong pelik. Pasalnya, pegawai pajak saat ini semakin canggih dan lihai bermain "cantik". Terlebih, mereka memiliki latar belakang keilmuan di bidang akuntansi dan hukum sehingga pandai mencari celah. Selain itu, UU Perpajakan pun tidak sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan korupsi pajak.

"Undang-undang Perpajakan semacam memberikan imunitas bagi petugas pajak karena tidak memungkinkan data perpajakan untuk diaudit," ujarnya Upaya reformasi birokrasi yang digulirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun serasa belum cukup. Seperti diwartakan, upaya-upaya tersebut, misalnya, meningkatkan remunerasi pegawai pajak dan online payment.

Dikatakan Emerson, guna mengikis habis masalah ini, diperlukan upaya reward and punishment. Bagi yang berprestasi, pemerintah harus memberikan reward. "Bagi yang salah, harus dihukum. Dan untuk memberikan efek jera, pelaku pajak jangan hanya pasal pidana biasa, tetapi juga money laundering dan undang-undang tindak pidana korupsi. Harus berlapis. Tren saat ini, pelaku hanya dijerat pasal-pasal KUHP. Ini untuk meminimalisir pelaku bebas dari jeratan hukum," ujarnya.

Selain itu, kesadaran untuk tidak memberikan suap terhadap pegawai pajak juga perlu terus disosialisasikan. Hal ini, misalnya, dapat diwujudkan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Kadin, pengusaha, dan Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, seluruh pemangku kepentingan juga harus memerhatikan praktik pungutan pajak, bukan hanya penggunaan pajak seperti yang selama ini digadang-gadang Dirjen Pajak.

Ketegori Korupsi di Sektor Pajak

Menurut Mark Robinson korupsi dalam kaitannya dengan luas paparannya terhadap
masyarakat terbagi dalam tiga ketegori, yaitu :

1. Insidental/individual. Korupsi ini dilakukan oleh pelakunya secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu, yang sebenarnya lembaga tersebut termasuk "bersih" dalam hal korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara yang korupsinya sangat rendah, misalnya: Selandia Baru, Denmark dan Swedia, yang menurut Corruption Index Transparency International menempati peringkat 1, 2 dan 3 negara yang paling bersih

2. Institusional/kelembagaan. Korupsi kategori ini adalah korupsi melanda suatu lembaga/sektor kegiatan tertentu, namun secara keseluruhan negara tersebut bukanlah negara yang tingkat korupsinya tinggi. Contoh yang paling mudah untuk dilihat adalah korupsi politik berbentuk money politic atau korupsi dukungan yang lazim dalam pembelian suara legislatif. Amerika misalnya bukanlah negara yang korup, tetapi dalam dunia politik sudah lazim bermain uang dalam jumlah banyak untuk mendapatkan dukungan dan suara untuk sejumlah pemihakan
tertentu

3. Sistemik (societal). Pada kasus semacam ini korupsi sudah menyerang seluruh masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Karena itu dalam segala proses kemayarakatan, korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Hal semacam ini disebut sebagai korupsi sistemik, karena sudah mempengaruhi secara kelembagaan dan mempengaruhi perilaku individu pada semua tingkat sistem politik dan sosio ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri, yaitu:

a. Inklusif dengan lingkungan sosial budayanya. Inklusif dalam arti sudah diterima sebagai kenyataan dalam konteks sosial budaya masyarakat.

b. Cenderung menjadi monopolistik. Hal ini berarti korupsi sudah menguasai semua sistem kemasyarakatan dalam masyarakat, sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan sistem kemasyarakatan yang wajar, tanpa korupsi.

c. Terorganisasi dan sulit untuk dihindari. Karena sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio ekonomi, maka korupsi menjadi terorganisasi, sadar maupun tak sadar, sehingga secara otomatis semua proses sistem kemasyarakatan akan terkena.

d. Pada dasarnya korupsi semacam ini tumbuh subur pada sistem kemasyarakatan yang mempunyai beberapa ciri-ciri seperti: kompetisi politik yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, civil society yang lemah, dan tidak adanya mekanisme kelembagaan untuk menangani masalah korupsi.

Dengan melihat kategorisasi di atas, terlihat dengan jelas bahwa tingkat korupsi Indonesia sudah mencapai tahap sistemik dan kemasyarakatan. Korupsi sudah biasa dilakukan untuk segala macam kegiatan sehari-hari. Bila dihubungkan dengan korupsi di Dirjen Pajak, dengan mudah kita juga bisa melihat korupsi disini merupakan suatu kegiatan yang terorganisasi dan sulit dihindari. Pola-pola korupsi yang dijelaskan berikut dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana korupsi dilakukan sejak dari awal sampai akhir, apapun urusannya.

Mulai dari korupsi internal yang terjadi di intern Dirjen Pajak sampai korupsi eksternal yang merupakan korupsi antara orang dalam dengan orang luar Dirjen Pajak.

Modus Korupsi yang sering di Gunakan Oleh Pemerintah dan Swasta

Modus Korupsi yang sering di Gunakan Oleh Pemerintah dan Swasta, Korupsi dan koruptor adalah dua kata yang sering kita dengar akhir-akhir ini. Tidak ada koran, televisi atau bahkan di Wikimu sendiri yang sepi dalam jangka waktu lama dari berita atau pembahasan mengenai ketiga hal tersebut. Ini membuktikan kita semua membenci korupsi dan menginginkan korupsi dibabat habis dari bumi Indonesia tercinta ini.

Namun bagaimana kita bisa ikut memberantas korupsi kalau ternyata kita secara sadar atau tidak turut berperan melakukannya atau mungkin menikmati hasilnya ? Bagi kita yang bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai BUMN atau pun perusahaan swasta dan kebetulan berhubungan langsung dengan masalah uang dan keuangan serta proyek-proyek barangkali pernah menjumpai urusan-urusan yang bernuansa atau berbau korupsi.

Agar kita tidak terjebak mendukung atau ikut-ikutan menikmati hasil tindak pidana korupsi, baik di pemerintahan maupun swasta, berikut ini dikemukakan 18 modus korupsi yang diinventarisir oleh KPK (khusus bagian pemerintahan adalah dari KPK, untuk swasta adalah interprestasi penulis warta), yaitu :

1.
Pemerintahan : Pengusaha menggunakan pejabat pusat untuk membujuk kepala daerah mengintervensi proses pengadaan barang/jasa dalam rangka memenangkan pengusaha tertentu dan meninggikan harga ataupun nilai kontrak.

Swasta : Manajer atau karyawan yang ditunjuk dalam proyek pengadaan barang / jasa di perusahaan mendekati rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya asal harga barang atau nilai kontrak ditinggikan untuk masuk kantong pribadi.

2. Pemerintahan : Pengusaha mempengaruhi kepala daerah untuk mengintervensi proses pengadaan barang/jasa agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung dan harga barang dinaikkan (di-mark up).

Swasta : Manajer atau karyawan memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau menunjuknya secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk masuk kantong sendiri.

3. Pemerintahan : Panitia pengadaan yang dibentuk Pemda membuat sepesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, serta melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
Swasta : Manajer atau karyawan membuat spesifkasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanan tertentu, dengan maksud mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan mark up harga barang dan nilai kontrak.
4. Pemerintahan : Kepala daerah ataupun pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian membuat laporan pertangungjawaban fiktif.
Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak sesuai dengan peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.

5. Pemerintahan : Kepala daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana untuk kepentingan pribadi si pejabat yang bersangkutan atau kelompok tertentu kemudian membuat pertanggungjawaban fiktif.

Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana perusahaan untuk kepentingan pribadi dengan membuat pertanggungjawaban fiktif.

6. Pemerintahan : Kepala daerah menerbitkan Perda sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundangan yang lebih tinggi, namun sudah tidak berlaku lagi.
Swasta : -

7. Pemerintahan : Pengusaha, pejabat eksekutif dan DPRD membuat kesepakatan melakukan ruislag (tukar guling) atas aset Pemda dan menurunkan (mark down) harga aset Pemda, serta meninggikan harga aset milik pengusaha.
Swasta : Manajer atau karyawan menjual aset perusahaan dengan laporan barang rusak atau sudah tidak berfungsi lagi.
8. Pemerintahan : Kepala daerah meminta uang jasa dibayar di muka kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek.

Swasta : Manajer atau karyawan meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan sebelum melaksanakan proyek.
9. Pemerintahan : Kepala daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
Swasta : Manajer atau karyawan menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
10. Pemerintahan : Kepala daerah membuka rekening atas nama Kas Daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat atau bendahara yang ditunjuk). Maksudnya, untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.

Swasta : Manajer atau kepala bagian membuka rekening atas nama perusahaan dengan specimen pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
11. Pemerintahan : Kepala daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan di bank.
Swasta : Manajer atau bagian keuangan meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana perusahaan yang ditempatkan di bank atau menempatkan dana perusahaan di bank atau pasar modal atas nama pribadi.
12. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Swasta : Manajer atau kepala bagian atau karyawan menyewakan atau mengswakelola aset perusahaan dan hasilnya masuk ke kantong sendiri.
13. Pemerintahan : Kepala daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya.
Swasta : Manajer atau karyawan menerima uang/barang sehubungan dengan tugas dan pekerjaannya dari pihak ketiga yang diuntungkan olehnya.
14. Pemerintahan : Kepala daerah, keluarga ataupun kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali ke Pemda dengan harga yang sudah di-mark up.
Swasta : Manajer atau karyawan membeli barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali kepada perusahaan dengan harga yang di-mark up.

15. Pemerintahan : Kepala daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran daerah.
Swasta : Manajer atau karyawan mencicil harga barang pribadinya dengan menggunakan uang kantor.
16. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban pada anggaran dengan alasan pengurusasn DAK (Dana Alokasi Khusus) atau DAU (Dana Alokasi Umum).
Swasta : -
17. Pemerintahan : Kepala daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD.
Swasta : -

18. Pemerintahan : Kepala daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.
Swasta : Manajer atau karyawan menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan beban perusahaan.

Demikianlah 18 modus tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh Ketua KPK. Semoga setelah kita mengetahui modus-modus korupsi yang kemungkinan bisa terjadi di sekitar tempat kita bekerja, kita bisa menghindarinya. Yang penting adanya kemauan dan niat yang kuat dari kita untuk menghapuskan budaya korupsi di negara Indonesia.

ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM AKIBAT KORUPSI

1. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dari berbagai aspeknya, terbukti bahwa korupsi adalah fenomena yang memberikan implikasi negatif terhadap kehidupan manusia, baik di negara telah maju maupun di negara sedang berkembang.[1] Isu korupsi mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan sosial berbagai bidang, baik sosiolog, pakar politik, legislator, ekonom dan lain-lain. Bahkan institusi dan organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), The United Nations Development Program (UNDP), dan agensi-agensi khusus anti korupsi tingkat international maupun lokal seperti Transparency International (TI) yang berpusat di Berlin, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan Indonesian Coruption Watch (ICW). Mereka memberikan perhatian khusus terhadap isu korupsi, baik secara teori maupun aspek teknik penanggulangan dan pemecahannya.

Semua masyarakat manusia dibelahan bumi manapun mencela korupsi. Agama-agama besar dunia pun mengutuk korupsi, tidak terkecuali agama Islam. Dalam artikel ini akan dianalisis korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya dari perspektif ekonomi Islam.

2. KORUPSI: MAKNA, KARAKTERISTIK, BENTUK DAN AKIBATNYA

2.1. Pengertian dan Karakteristik Korupsi

Definisi korupsi sangat beragam, tergantung pada latar belakang disiplin ilmu orang yang mendefinisikannya. Oleh karena itu, definisi korupsi manurut sosiolog, ilmuwan politik, ekonom, ilmuwan hukum, birokrat dan lain-lain bisa berbeda. Mereka mempunyai sudut pandang tersendiri dalam mendefinisikan korupsi, sesuai dengan bidang masing-masing. Uniknya, tidak semua ensiklopedi maupun kamus yang dianggap sebagai referensi utama oleh berbagai kalangan tidak mencantumkan entri corruption.[2]

The Encyclopedia Americana mendefinisikan korupsi sebagai “a general term for the misuse of public position of trust for private gain. Its specific definition and application vary according to time, place and culture…political corruption concerns the illegal pursuit or misuse of public office”.[3] Sedangkan The Harper Collin Dictionary of Sociology mendefinisikan korupsi sebagai “the abandonment of expected standards of behavior by those in authority for the sake of unsanctional personal advantage”.[4] Menurut Bank Dunia, korupsi adalah “the abuse of public power for private benefit”.[5] Dari aspek hukum, korupsi merupakan “all illegal or unethical use of governmental authority as result of considerations of personal or political gain”.[6]

Dari paparan tersebut di atas, dapat ditarik benang merah yang jelas, bahwa dalam korupsi terdapat dua unsur utama, yaitu:
(1) penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara
(2), mengutamakan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Dengan demikian, korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah. Dalam konteks ini termasuklah perilaku penyogokan atau penyuapan, memberikan upah tertentu untuk melindungi diri dari hukum, nepotisme, dan lain-lain.[7]

Tidak diragukan bahwa korupsi dalam berbagai bentuk dan macamnya, dalam arti luas, ada di manapun negara di bumi ini.[8] Menurut Alatas, karakteristik korupsi adalah sebagai berikut:

(1). Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
(2) Secara keseluruhan, korupsi melibatkan rahasia di antara mereka yang terlibat.
(3) Korupsi mempunyai unsur tanggung jawab bersama dan keuntungan bersama.
(4) Pelaku korupsi biasanya berusaha mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi dengan hukum.
(5). Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan tersebut.
(6). Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat.
(7). Korupsi melibatkan kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang jabatan publik dan sebagai individu.
(8). Korupsi mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kewajiban tugas.[9]

2.2. Bentuk Korupsi dan Sebab Terjadinya Korupsi

Bentuk-bentuk korupsi adalah seperti berikut:

1. Penyuapan atau penyogokan

Bentuk korupsi ini merupakan yang terbanyak. Bahkan kebanyakan masyarakat menganggapnya sinonim dengan korupsi itu sendiri. Penyuapan adalah “any valuable thing given or promised, or any preferment, advantage, privelege or emolument, given or promised corruptly and against law as an inducement to any person acting in official or public capacity to violate or forbear for his duty, or to improperly influence his behavior in the performance of his duty”.[10]

Bentuk pembayaran penyuapan bisa berupa uang cash, hadiah barang kekayaan (emas perhiasan, jam, lukisan, free samples, dan lain-lain), hadiah berupa pelayanan (services) (penggunaan mobil, tiket pesawat terbang, mencarikan tempat tinggal, membayar bil rumah, dan lain-lain), pembayaran biaya jalan-jalan dan berhibur, menyediakan beasiswa untuk anak atau saudara pihak yang disuap dan lain-lain. Walaupun penyuapan ini dianggap sebagai kriminal oleh berbagai peraturan perundangan di seluruh dunia, tetapi ia berkembang sangat luas, terutama di birokrasi negara sedang berkembang, sehingga seakan-akan menjadi kepercayaan bahwa orang dapat membeli apa saja yang ia mau dan ia suka dengan uang (suap).[11]

2. Nepotisme, kronisme dan favoritism.

Ini merupakan bentuk korupsi utama yang merajalela di negara belum berkembang dan sedang berkembang. Nepotisme adalah “the practice among people with power or influence of favoring their own relatives, especially by giving them jobs”.[12] Alatas mendefinisikannya dengan “a term that refers to the appointment of relatives or friends to positions for which they are not qualified, thereby injuring the interest of institution and those who are qualified”.[13] Memberikan pekerjaan kepada teman atau saudara yang memenuhi kualifikasi pun juga bisa dianggap sebagai nepotisme, walaupun dari segi manajemen tidak besar resikonya bagi birokrasi institusi berkenaan daripada memberikannya kepada yang tidak memenuhi kualifikasi. Sebenarnya nepotisme tidak terbatas hanya pada pemberian pekerjaan saja, tetapi meliputi semua bentuk transaksi dalam hal urusan publik yang didasarkan pada unsur perasaan (sentiments) dan kesukaan daripada faktor hukum dan perundangan.[14]

3. Penggelapan, kecurangan/penipuan, dan pemerasan

Bentuk korupsi ini biasanya hanya melibatkan individu itu sendiri, tidak melibatkan sesama pegawai atau antara pegawai dengan klien. Pelakunya biasanya orang yang berkedudukan tinggi atau cukup tinggi dan berkekuasaan seperti bos, presiden, perdana menteri, rektor perguruan tinggi, dekan, dan lain-lain. Biasanya untuk menutupi perbuatan korupnya, si pelaku menggunakan bentuk korupsi yang lain yaitu penyuapan atau nepotisme agar tindakan korupnya tidak diketahui pihak luar. Si pelaku menggunakan kekayaan publik untuk memperkaya diri sendiri, misalnya menggunakan fasilitas kantor seperti mobil, komputer, telepon, fax, mesin foto kopi dan lain-lain untuk kepentingan pribadi. Bentuk lain misalnya melebihkan budget kantor, membeli peralatan kantor (furniture, mesin, kendaraan, meja, dan lain-lain) yang tidak perlu, atau memungut pajak untuk dimasukkan ke kantong sendiri dan lain-lain.[15]

Berbicara tentang sebab terjadinya korupsi, banyak faktor yang perlu mendapat perhatian. Kejahatan korupsi tidak sekonyong-konyong muncul, tetapi ada sebab-sebab yang melatarinya, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan tidak dalam keadaan korupsi.[16] Adapun sebab-sebab utama terjadinya korupsi dapat diringkaskan sebagai berikut[17]:
(1) Ingin hidup mewah dan bermegah-megah.
(2) Kurangnya penghayatan terhadap nilai-nalai agama dan moral.
(3) Kelemahan peraturan atau sistem kerja.
(4) Sosial dan kebudayaan[18]
(5) Kekuasaan politik. Lord Acton berkata: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, seperti dikutip oleh K.A Abbas.[19]
(6) Birokrasi yang berliku dan panjang. Walaupun tidak selalu menjadi faktor penentu tetapi paling tidak dengan birokrasi yang panjang semakin memungkinkan korupsi.[20]
(8) Gaji yang diterima tidak mampu menutupi kebutuhan biaya hidup.

2.3. Akibat-akibat Korupsi

Korupsi berakibat sangat berbahaya begi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi,[21] dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus.[22] Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:

a. Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.

Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness.[23] Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.

Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara[24] dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.[25]

Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.[26] Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berfikir tentang dirinya sendiri semata-mata.[27] Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

b. Bahaya korupsi terhadap generasi muda.

Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab.[28] Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.

c. Bahaya korupsi terhadap politik.

Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka.[29] Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter)[30] atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.[31]

Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.[32]

d. Ekonomi

Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa.[33] Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.[34]

Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya kecil.[35]

e. Birokrasi

Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap.[36] Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.[37]

3. EKONOMI ISLAM

3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[38] Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[39]

Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[40] Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[41] adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.

2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.

3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

3.2. Tujuan Ekonomi Islam

Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[42] menegaskan yang artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan yang artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”. [43]

Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[44] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[45]

Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[46]

3.3. Metodologi Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Chaoudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[47]:

1. Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[48]

2. Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.

3. Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.

4. Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.

5. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.

4. ANALISIS KORUPSI DAN AKIBATNYA DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Substansi korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah, sebagaimana penjelasan di atas, karena pada intinya ia mengandung dua unsur utama yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum dan pengutamaan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik oleh aparatur negara. Dengan demikian, korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri secara zalim yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan ekonomi Islam, karena al-Quran yang merupakan sumber utama doktrin ekonomi Islam menyatakan, yang artinya, “Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, lakukan secara adil…”. (Terjemahan Q.S. al-Nisa’ (4): 58).

Para aparatur negara, sebelum memegang jabatan tertentu,[49] mereka disumpah setia untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanahnya, akan tetapi ketika mereka melakukan korupsi berarti mereka mungkir terhadap janji mereka sendiri. Tindakan ini bertentangan dengan firman Allah SWT[50] yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban”. (Terjemahan Q.S. al-Isra’ (17): 34).

Dua ayat tersebut secara gamblang memerintahkan untuk melaksanakan amanah, memenuhi janji dan berlaku adil. Pengkhianatan terhadap suatu amanah dan janji merupakan satu kesalahan yang bisa dituntut di pengadilan. Ini artinya pelaksanaan amanah dan pemenuhan janji merupakan ajaran yang sangat penting dalam ekonomi Islam.

Dalam rangka pelaksanaan amanat oleh penguasa, Al-Quran memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan amanat itu. Hal ini tertuang dalam Q.S. Al-‘Asr: 3 yang memerintahkan untuk saling menasehati dalam menegakkan kebenaran. Implikasi konkrit dari prinsip ini, rakyat bebas melakukan pengawasan terhadap penguasa yang diwujudkan dalam bentuk kritik, nasehat dan lain-lain. Fungsi pengawasan ini terbuka untuk siapa saja yang mau dan mampu memberikan kritik dan saran pada penguasa. Tersedianya ruang bagi publik untuk terlibat dalam politik secara aktif semacam ini merupakan ciri dari masyarakat yang diprofilkan al-Quran.[51]

Bahkan Al-Quran juga menyatakan bahwa kehancuran suatu masyarakat (akibat dari perilaku jahat dan zalim individu di dalamnya seperti korupsi dan lain-lain) tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang yang berbuat zalim, tetapi juga akan menimpa seluruh individu dalam masyarakat itu. (Q.S. 8: 25). Dengan demikian membiarkan sebagian anggota masyarakat melakukan korupsi, sama artinya menggali jurang kebinasaan bagi mereka semua.

Korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan efek negatif terhadap perkembangan politik, birokrasi, ekonomi dan bahkan masyarakat dan individu. Hal ini menunjukkan sikap tidak bertanggungjawabnya pemerintahan korup tersebut terhadap tugas dan kewajibannya sebagai aparatur negara. Padahal dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tugas dan fungsi yang luas, di antaranya adalah tugas dan fungsi dalam bidang ekonomi, yaitu mengkurangkan kemiskinan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan, menciptakan keadilan sosio-ekonomi, menjaga stabilitas keuangan, menegakkan hukum dan peraturan dan lain-lain.[52]

Al-Quran, salah satu sumber hukum utama ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi yang menumbuhkembangkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism[53] dalam masyarakat, menjadikan masyarakat itu bertentangan secara diametral dengan profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran[54] yaitu masyarakat yang bercirikan: (1). Tauhidullah/mengesakan Allah (Q.S. 112: 1-4) (2). Diliputi Ukhuwah/persaudaraan (Q.S. 49:10) (3). Musawah/persamaan (Q.S. 49:13) (4). Bersatu dalam ikatan tali Allah (Q.S. 3:103) (5). Tolong-menolong (Q.S. 5:2) (6). Berkeadilan (Q.S. 6:152) (7). Musyawarah (Q.S. 42: 38) (8). Ada tangungjawab sosial (Q.S. 3:104) (9). Berlomba dalam kebajikan (Q.S. 5:48) (10). Toleransi (Q.S. 109:1-6) (11). Kebebasan (Q.S. 2:256) (12). Berwajah ramah dan anggun (Q.S. 49:10; Q.S. 6:152) (13). Menegakkan dan membela kebenaran (Q.S. 5:35).

Untuk mendukung terwujudnya profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran, Islam mempunyai institusi sosial security yaitu zakat,[55] ia berfungsi sebagai salah satu media untuk distribusi keadilan sosio-ekonomi[56] dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan orang miskin.[57] Bentuk sosial security yang diperankan oleh zakat adalah dengan menyediakan bantuan material kepada orang miskin dan pihak yang membutuhkan lain (asnaf delapan). Bentuk lainnya adalah dengan menyediakan bantuan material kepada anak yatim piatu, janda, orang tua dan lain-lain. Di samping itu, zakat juga berperan sebagai ekspresi persaudaraan, goodwill, kerjasama dan sikap toleran dalam masyarakat.[58]

Dalam termonologi al-Quran, korupsi dipersamakan dengan fasad dalam maknanya yang luas dan umum. Kata fasad dan derivasinya, diulang 47 kali dalam Al-Quran, dan 82 kali dalam hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah urus, anarki, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia-nyiaan, penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Al-Quran dalam menjelaskan korupsi (fasad) biasanya bersifat umum, walau ada juga yang khusus, seperti ketika al-Quran melarang semua transaksi yang melibatkan penyuapan di dalamnya (Q.S. 2: 188). Sedangkan hadis Nabi lebih bersifat khusus, di antaranya disebutkan kata rasywah yang berarti penyuapan. Menurut hadis pelaku dan penerima rasywah adalah sama-sama di neraka.[59]

Al-Quran juga mendorong upaya penegakan hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan (Q.S. 4: 135). Keadilan merupakan unsur penting dalam materi hukum dan penegakan hukum sehingga tidak heran kalau Al-Quran menekankan agar keadilan itu tetap ditegakkan walaupun pada kerabat, bahkan kepada diri sendiri (Q.S. 6: 152). Al-Quran memandang supremasi hukum harus betul-betul ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan harus ditegakkan di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas (Q.S. 2: 286).

Dalam sejarah Islam kita mendapati fenomena bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau keluarganya sendiri dalam menegakkan hukum, karena beliau memandang bahwa penegakan hukum merupakan sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dalam menjaga stabilitas suatu bangsa. Oleh karenanya beliau pernah bersabda bahwa kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah karena, jika “orang atas” berbuat kejahatan dibiarkan saja, sementara kalau “orang bawah” berbuat kejahatan pasti dihukum. Bahkan dalam hadis itu, Nabi juga menegaskan bahwa kalau andai saja yang berbuat kejahatan (mencuri) itu adalah Fatimah (puterinya tercinta), pasti akan dipotong tangannya.[60]

Untuk memperbaiki masyarakat yang telah dirasuki korupsi, al-Quran memperkenalkan konsep al-amru bi al-ma‘ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat serius memperhatikan masalah kehidupan moral (akhlak) manusia dalam masyarakat.[61] Anwar Harjono menilai bahwa konsep amar ma‘ruf nahi munkar merupakan kewajiban asasi yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Quran.[62] Kuntowijoyo[63] menyatakan bahwa cita-cita penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kerangka keimanan merupakan akar semangat transformasi sosial secara terus menerus.

Oleh karena itu, semua pihak harus mengambil peranan untuk memberantas korupsi. Misalnya, pemerintah memiliki peran yang strategis, yaitu dengan membuat peraturan antikorupsi, memperbanyak lembaga antikorupsi, penegakan hukum, dan pemberian gaji yang cukup kepada pegawai. Institusi keagamaan harus lebih proaktif dan efektif dalam menyadarkan umatnya tentang larangan korupsi dalam agama dan hukumannya yang berat di akhirat. Media massa berperan dalam menggiring opini publik untuk memerangi korupsi serta mendidik publik untuk menjauhi korupsi. NGO memobilisasi opini publik untuk melawan korupsi. Lembaga pendidikan memberikan penyadaran pada generasi muda tentang bahaya korupsi bagi kehidupan manusia. Masyarakat berkomitmen untuk memilih pemimpin yang bersih dan mengawasi pemerintahan dari praktek korupsi.

5. PENUTUP

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa korupsi membawa efek negatif yang sangat membahayakan bagi masyarakat, individu, perkembangan politik, birokrasi, dan perkembangan generasi muda. Ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi merupakan tindakan pengkhianatan terhadap amanah yang harus dieliminir bersama-sama, karena korupsi adalah musuh bersama yang membasminya harus dengan peran semua pihak. Sebagai spirit untuk memberantas korupsi, perlu diingat firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka”. (Q.S. 13: 11).[64]

DAFTAR PUSTAKA MAKALAH ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM AKIBAT KORUPSI

Al-Qur’an al-Karim

Abbas, K.A (1975), “The Cancer of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Abdul Aziz, Tunku (2005), Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer Foundation.

AbulHasan M. Sadeq (1992), “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.

Ahmad, Khursid (1992) dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.

Ahmad Syafi’i Ma’arif (1996), Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES.

Alatas, Syed Hussein (1975), The Sociology of Corruption, ed. 2, Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.

_________________ (1995), Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

_________________ (1999), Corruption and The Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. dan Simon & Schuster (Asia) Pte.Ltd.

Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.

Anwar Harjono (1997), Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press.

B. Soedarso (1969), Korupsi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara Jakarta.

Blacks’ Law Dictionary (1968), ed. 3, St. Paul: Mint West.

Chalmers, David M. (1990), The Encyclopedia Americana, Vol. 8, International Edition, USA: Grolier Incorporated.

Chapra, M. Umer (1995), Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.

Deliar Noor, “Etika Politik dalam Negara Demokrasi”, dalam Jurnal UNISIA, No. 35 / XX / III / 1997

Emil Salim (1994), “Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Paramadina

Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), “Corruption: A Sociological Interpretative Study with Special Reference to Selected Southeast Asian Case”, Disertasi Doktor Philosophy, Department of Antropology and Sociology, Faculty of Arts and Sosial Sciences, University of Malaya, Kuala Lumpur.

Green, David Jay (2004), “Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia”, Journal of Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick: Rutger University, Elsevier Group.

Jary, David Jary and Julia (1991), The Harper Collin Dictionary of Sociology, USA: Harper Collins Publishers.

Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

___________________ (2002), “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

Kahf, Monzer (1989), “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

___________ (1991), “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Khan, Muhammad Akram (1989), “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

____________ (1994), An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan.

Kohli, Suresh (1975), “The Psychology of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Kuntowijoyo (1994), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.

Lambsdorff, Johan Graf (1999), Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency International Working Paper, November 1999.

M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA

Mahathir Mohamad (1986), The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd.

Maksun (1998), “Paradigma ‘Civil Society’ yang Profetik”, dalam Media Indonesia, Jakarta, 11 September 1998.

Mannan, M. Abdul (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd.

Mohammad Daud Ali (1988), Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Mohd. Ma’sum Billah (2003), Institution of Zakat and The Modern Sosial Security System, ed. 2, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers.

Myrdal, Gunnar (1978), “Corruption, Its Cause and Effects”, dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Readings in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.

Nik Mustapha Hj. Nik Hassan (1991), “Zakat in Malaysia: Present and Future Status”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Nomani, Farhad dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd.

Nurcholish Madjid (1998), “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan.

Nye, J. S. (1978), “Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis” dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Reading in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.

Palmier, Leslie (2003), “Corruption in Context”, dalam John Kidd et al. (eds.), Fighting Corruption in Asia, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

Pincus, Jonathan R. dan Rizal Ramli (2004), “Deepening or Hollowing Out? Financial Liberation, Accumulation and Indonesia’s Economic Crisis”, dalam K.S. Jomo (ed.), After the Storm; Crisis, Recovery and Sustaining Development in Four Asian Economics, Singapore: Singapore University Press.

Qaradawi, Yusuf al- (1973), Fiqh al-Zakah, ed. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah.

________________ (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.

Quraish Shihab (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Rahman, Afzalur (1979), Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust.

Rauch, Gerald M. Meier dan James E. (2005), Leading Issues in Economic Development, ed. 8, Oxford: Oxford University Press.

Sashi, M.P (2000), Crime and Corruption in Digital Age, Delhi: Authorpress.

Scott, James C. (1972), Comparative Political Corruption, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Singh, Khushwant (1975), “Are We a Corrupt People?”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Sukardi Rinakit (2005), The Indonesian Military After The New Order, Copenhagen S, Denmark: NIAS Press.

Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. (2005), Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.

The Oxford Advanced Learners Dictionary (1989), ed. 4, Oxford: Oxford University Press.

The World Bank Report (1997), Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank.

Theobald, Robin (1990), Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan Press Ltd.

Zarqa’, Anas (1989), “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications