Bocah Tunarungu yang Bocor Jantung

Bocah Tunarungu yang Bocor Jantung, kehidupan di permukiman kompleks Makam Rangkah, Sidotopo, mulai terasa ketika hari sedikit terang. Ada yang membuka warung, memandikan anak, atau sekadar duduk ngobrol di antara makam-makam lawas yang tak lagi pernah dikunjungi keluarga.

Di sudut lain, di atas bangku yang dipayungi pohon besar, seorang gadis kecil duduk anteng. Pandangannya mengarah kepada Riyani, ibunya, yang sedang memandikan Bima Pamungkas, adik keduanya yang berusia setahun.

'Bunga... Bunga... liat opo rek,'' kata seorang nenek yang tak jauh dari Bunga, gadis kecil itu. Bunga hanya diam.

Pandangannya beralih pada Mursidi, ayahnya yang sedang menenteng gitar. ''Bapak pergi ngamen dulu ya,'' kata pria itu lantas mengecup kening Bunga. Sebelum pergi, Mursidi mengusap kepala anak ketiganya itu. Bunga hanya diam. ''Pekerjaan suami saya sekarang cuma ngamen,'' kata Riyani lirih.

Meski begitu, dia tidak pernah mengeluhkan pekerjaan pria asli Sidoyoso, Simokerto, itu. Bagi dia, yang penting kebutuhan makan tiap hari terpenuhi dan selalu bersama keluarga saat malam. Hidup uyel-uyelan bersama lima anaknya di rumah petak pun tak jadi masalah.

Ketika lahir di RSUD dr Soewandhie pada 4 Mei 2005, tak ada yang aneh pada Bunga. Berat lahir 2,5 kg dan panjang 4 cm. Tangis saat persalinan putri ketiganya itu disambut sukacita karena sejak hamil sampai melahirkan tidak menemui kendala berarti.

Keluarga Mursidi merawat Bunga layaknya kedua kakaknya, Nada Fortuna, 12, dan Bilal Akbar, 10, di rumahnya, kompleks makam RT 4, RW 12, Sidoyoso.

Mursidi dan Riyani mulai merasa ada yang ganjil pada putrinya tersebut beberapa minggu kemudian. Bunga tak pernah terganggu suasana ingar-bingar di sekitarnya, termasuk saat sedang tidur. Ketika dikudang pun, dia tak bereaksi. Pandangannya menerawang. Suara-suara yang memanggilnya tidak pernah digubris. Bunga baru menoleh jika ditowel.

Mursidi-Riyani baru khawatir luar biasa ketika Bunga berusia dua tahun. Dia terserang batuk pilek berkepanjangan. ''Dia langsung saya bawa ke RS Adi Husada Kapasari untuk diperiksa,'' ungkap Riyani sambil memangku Bunga.

Hasil diagnosis dokter sungguh mengejutkan. ''Dokter bilang, anak saya menderita jantung bocor,'' kenang perempuan asli Bronggalan Sawah, Kenjeran, itu.

Karena suaminya hanya pekerja serabutan dan pengamen, Riyani menyembunyikan hasil rontgen dokter. Sampai setahun, ketika dia merasa kondisinya kuat, fakta tersebut dibuka.

Sejak itu, suami-istri tersebut sepakat memberikan yang terbaik untuk Bunga. ''Kami tidak mau mengkhianati kepercayaan yang diberikan Allah,'' tegasnya. Bahkan, Riyani pernah mbatin, kalau harus dipanggil oleh Yang Mahakuasa, dirinya berharap Bunga yang lebih dulu dipanggil.

''Bukannya tidak kuat merawat, saya hanya khawatir tidak ada yang mau merawat Bunga kalau kedua orang tuanya meninggal duluan,'' papar Riyani sambil memeluk Bunga erat-erat. Bunga tetap diam, hanya tangannya yang memainkan bibir Riyani.

Kondisi Bunga tersebut mengundang perhatian Yenny Wahid. Pada 19 Desember lalu, dia bersama suaminya berkunjung ke rumah Riyani untuk memberikan bantuan uang dan bahan makanan bagi Bunga. Belum sempat Riyani berucap terima kasih lebih dalam, Yenny sudah harus berduka dengan meninggalnya Gus Dur.

''Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih. Semoga beliau tahu bahwa saya sangat senang saat itu,'' ujar Riyani.

Di tengah obrolan, ibu lima anak tersebut memberikan es krim kepada Bunga. Bocah bertinggi badan sekitar 70 cm itu langsung melahapnya. Sesekali lidahnya dijulurkan dan mulutnya dibuka, lalu meringis. Dia tersenyum sambil mengangkat es krim merah muda tersebut. Tanpa bicara.

Penderitaan Bunga bertambah ketika akhir 2008 jatuh dari lantai dua rumahnya. Akibatnya, bocah yang suka ikan laut itu benjol di kening. Saat jatuh pun, dia tidak berteriak. ''Suaranya seperti semangka jatuh. Prakkk... lalu ada suara emm... emm...,'' tutur Riyani.

Seekor kambing melintas di depan Bunga. Bocah itu tersenyum. Riyani mengaku senang dengan perkembangan anaknya itu. Setidaknya, dia mulai bisa menirukan gerakan dan mempraktikkan bahasa isyarat. ''Dulu hanya nangis. Sekarang kalau ingin makan, dia memberi kode. Tangannya diangkat, dimasukkan mulut,'' paparnya.

Karena itu, dia ingin memasukkan Bunga di PAUD (pendidikan anak usia dini). Hanya, otak Riyani masih berputar bak gasing. Pendapatan suaminya hanya pas-pasan untuk hidup sehari-hari. Padahal, dia juga punya mimpi besar untuk memeriksakan Bunga ke RSUD dr Soetomo. ''Ingin tahu lebih banyak penyakit apa yang diderita Bunga. Bisa sembuh atau tidak,'' urainya.

Sementara ini mimpi itu dikubur dalam-dalam. Sebab, musim hujan kerap membatasi ruang gerak suaminya. Jika hujan turun, Mursidi tidak bisa ngamen. ''Pendapatan terus menurun. Untuk transportasi ke dr Soetomo saja tidak ada,'' katanya.

Inikah Program Seratus hari yang di banggakan bangsa Ini ?