Petani dan Pertanian sebagai Komoditas Politik

Petani dan Pertanian sebagai Komoditas Politik, pengalaman membuktikan bahwa parpol sering mengalami kesulitan mencari atau mengangkat isu-isu yang "hangat dan menarik" yang ada di masyarakat untuk memenangkan partainya.Perlu diketahui bahwa mengangkat atau memilih isu yang tepat dalam kampanye pemilihan umum (pemilu) adalah bagian penting bagi partai politik (parpol) untuk memenangkan pesta rakyat tersebut. Penulis menyarankan agar ada parpol yang mengangkat isu ”petani dan pertanian” sebagai isu utama yang perlu diangkat ke permukaan.

Jangan lagi parpol mengangkat isu yang tidak populer, seperti isu korupsi, penegakan hukum, atau jargon politik yang lain. Rakyat merindukan agar pemilu bisa dipakai sebagai alat penggerak untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan kokoh, dan sebagai bangsa yang disegani oleh dunia. Pembangunan pertanian yang lamban geraknya mungkin karena petaninya, atau bahkan mereka yang mengurusi sektor pertanian kurang pendidikan dan keterampilan atau pengalaman

Ada beberapa alasan mengapa penulis menyarankan isu petani dan pertanian diangkat sebagai isu kampanye. Kalau ada tiga orang dewasa (suami, istri, dan satu anak yang bisa ikut pemilu) atau empat orang (dengan dua anak) per rumah tangga tani, ada 72-96 juta petani calon pemilih pemilu dari petani. Sebaliknya, kalau kekentalannya diarahkan pada "mengangkat hajat dan martabat petani melalui sektor pertanian", partai politik yang mengangkat masalah ini yang akan memanfaatkannya. Belum lagi kalau mereka terimpit oleh bencana alam dan penurunan kesuburan tanah yang disebabkan ulah orang-orang kaya yang menebang hutan seenaknya. Karena itu, bila isu "petani dan pertanian" diangkat ke permukaan, ada komitmen parpol tersebut untuk membangun pertanian pada masa mendatang, tentu saja bila parpol tersebut bisa memenangkan pemilu. Kini masalah itu masih muncul di mana-mana, apakah isu bekas tanah perkebunan Belanda, tanah kehutanan yang telah digarap bertahun-tahun, tanah transmigrasi, tanah/lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan, lahan pertanian yang diubah statusnya menjadi pabrik, dan sebagainya.

Tidak diperhatikannya pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture development) menjadikan kegagalan pembangunan pertanian di Indonesia seperti sekarang ini. Contoh, soal penanganan masalah beras, di situ ada Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bulog, dan Imigrasi atau Kepolisian yang menangani soal penyelundupan. Karena banyaknya isu lokal dalam mengangkat tema “petani dan pertanian”, masing-masing juru kampanye harus menguasai bukan saja isu nasional (bahkan internasional), tapi yang lebih penting lagi adalah menguasai isu lokal. Isu harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh petani dan jangan mengangkat isu-isu yang teoritis (apalagi yang mengada-ada) di luar jangkauan petani.Petani dan Pertanian sebagai Komoditas Politik (22 Oct 2008) Oleh: Imansyah Rukka (Direktur Eksekutif Petani Center) Masyarakat publik menyarankan agar partai politik mengampanyekan program-programnya. Namun, pengalaman membuktikan bahwa parpol sering mengalami kesulitan mencari atau mengangkat isu-isu yang "hangat dan menarik" yang ada di masyarakat untuk memenangkan partainya.Perlu diketahui bahwa mengangkat atau memilih isu yang tepat dalam kampanye pemilihan umum (pemilu) adalah bagian penting bagi partai politik (parpol) untuk memenangkan pesta rakyat tersebut.

Penulis menyarankan agar ada parpol yang mengangkat isu ”petani dan pertanian” sebagai isu utama yang perlu diangkat ke permukaan. Jangan lagi parpol mengangkat isu yang tidak populer, seperti isu korupsi, penegakan hukum, atau jargon politik yang lain. Rakyat merindukan agar pemilu bisa dipakai sebagai alat penggerak untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat dan kokoh, dan sebagai bangsa yang disegani oleh dunia. Pembangunan pertanian yang lamban geraknya mungkin karena petaninya, atau bahkan mereka yang mengurusi sektor pertanian kurang pendidikan dan keterampilan atau pengalaman. Ada beberapa alasan mengapa penulis menyarankan isu petani dan pertanian diangkat sebagai isu kampanye. Kalau ada tiga orang dewasa (suami, istri, dan satu anak yang bisa ikut pemilu) atau empat orang (dengan dua anak) per rumah tangga tani, ada 72-96 juta petani calon pemilih pemilu dari petani.

Sebaliknya, kalau kekentalannya diarahkan pada "mengangkat hajat dan martabat petani melalui sektor pertanian", partai politik yang mengangkat masalah ini yang akan memanfaatkannya. Belum lagi kalau mereka terimpit oleh bencana alam dan penurunan kesuburan tanah yang disebabkan ulah orang-orang kaya yang menebang hutan seenaknya. Karena itu, bila isu "petani dan pertanian" diangkat ke permukaan, ada komitmen parpol tersebut untuk membangun pertanian pada masa mendatang, tentu saja bila parpol tersebut bisa memenangkan pemilu. Kini masalah itu masih muncul di mana-mana, apakah isu bekas tanah perkebunan Belanda, tanah kehutanan yang telah digarap bertahun-tahun, tanah transmigrasi, tanah/lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan, lahan pertanian yang diubah statusnya menjadi pabrik, dan sebagainya.

Tidak diperhatikannya pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture development) menjadikan kegagalan pembangunan pertanian di Indonesia seperti sekarang ini. Contoh, soal penanganan masalah beras, di situ ada Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Bulog, dan Imigrasi atau Kepolisian yang menangani soal penyelundupan. Karena banyaknya isu lokal dalam mengangkat tema “petani dan pertanian”, masing-masing juru kampanye harus menguasai bukan saja isu nasional (bahkan internasional), tapi yang lebih penting lagi adalah menguasai isu lokal. Isu harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh petani dan jangan mengangkat isu-isu yang teoritis (apalagi yang mengada-ada) di luar jangkauan petani. Makalah Petani dan Pertanian sebagai Komoditas Politik