KESEPAKATAN SEBELUM MENIKAH, Anda yang sudah siap-siap menuju pelaminan tentu tak ingin mengalami hal yang dialami Novi, bukan? Menurut Johanes Papu, Msi, psikolog, idealnya pasangan suami-istri menentukan komitmen atau kesepakatan-kesepakatan sebelum mereka menikah. Beberapa komitmen yang perlu dibicarakan antara lain.
1. Siapa bendaharanya?
Dalam menentukan siapa yang berwenang memegang kendali keuangan, yang penting adalah transparansi antara Anda dan pasangan. Kedua belah pihak sama-sama tahu pengahasilan masing-masing dan yang terpenting bagaimana memaksimalkan dan mengatur uang tersebut.
"Masalah siapa yang memegang uang, bukan hal utama. Walaupun teknisnya mungkin yang punya banyak kesempatan untuk akses ke bank misalnya, yang pegang uang. Flesibel saja. Apalagi sekarang ada joint account atau tabungan bersama dimana suami-istri bisa sama-sama memantau," ujar Johanes.
Lantas, jika keuangan dipegang istri, apakah suami harus menyerahkan semua gajinya? Menurut Johanes, konsep ini tidak selalu tepat. Karena seringkali ada istri yang tak bisa me-manage uang. Selain itu, jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, konsep suami menyerahkan 100% gaji pada istri juga "merepotkan". Sebab, bagaimana pun juga suami yang mobile atau bekerja, akan membutuhkan uang, semisal untuk beli bensin. Jika semua diserahkan ke istri dan tiap hari minta ke istri, repot.
Sebelum menyerahkan gaji ke istri, suami sebaiknya menentukan berapa anggaran per bulan, misalnya kebutuhan bensin dan hiburan (seperti beli buku untuk dirinya sendiri). Yang perlu diserahkan adalah yang menyangkut kebutuhan bersama.
Jadi, harus pintar-pintar mengatur supaya satu sama lain tidak begitu tergantung. Sangat perlu bikin anggaran keuangan bulanan yang jelas, mulai dari biaya listrik, telepon, air, makan, pendidikan anak, kesehatan, rekreasi, tabungan, dan hal lain yang tak terduga. Besar pasak daripada tiang, mungkin terjadi. Yang penting, bagaimana Anda me-manage pendapatan supaya bisa cukup.
2. Tinggal dimana?
Tak jarang, lantaran belum punya tempat tinggal sendiri, pasangan suami-istri masih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Selain itu, dalam kultur masyarakat Indonesia, kadang orangtua tak ingin anaknya meninggalkan rumah. Jadi, lebih enak tinggal di rumah sendiri atau mertua?
Menurut Johanes, idealnya dalam satu rumah ada satu keluarga dengan satu kepala keluarga. Jika satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga, sudah tidak sehat. Jika tinggal di rumah sendiri, Anda dan pasangan punya kemandirian untuk mengatur rumah tangga, mulai dari mengatur keuangan, tata letak rumah, hingga kondisi rumah. Anda juga memiliki kebebasan secara individual.
Sebaliknya, berikut hal-hal yang mungkin terjadi jika tinggal dengan mertua :
- Tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan "eksperimen sendiri, seperti mengatur rumah karena harus tergantung pada si empunya rumah, yaitu mertua.
- Perlu penyesuaian. Jika belum begitu lama mengenal mertua, proses penyesuaian mungkin akan terbentur ke sana kemari dan bisa jadi akan menimbulkan gesekan antara Anda dengan pasangan atau Anda dengan mertua.
- Perlu membatasi dan menguasai diri untuk bisa cocok dengan mertua.
- Dalam segi keuangan, biasanya jika anak masih bekerja sedangkan orangtua tidak, anak lebih banyak mendukung orang tua. Begitu juga sebaliknya. Jika orangtuanya sangat mapan dan anaknya belum, orangtua yang lebih men-support anak.
Untuk keuangan, suami-istri bisa bersepakat untuk berbagi untuk orangtua atau mertua. Semisal disepakati masalah kebutuhan dapur ditangani orangtua sementara Anda dan pasangan khusus menangani listrik dan telepon.
"Jadi, perlu ada garis jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang harus ditangani anak dan mana orangtua. Jangan sampai berkesan, anak menguasai orangtua dan sebaliknya. Yang pasti sebaiknya jangan sampai terjadi dalam satu rumah, orangtua dan anak masak sendiri-sendiri. Menurut saya hal ini kurang cocok," jelas Johanes.
3. Berani berkata "tidak"
Dalam kultur Indonesia, campur tangan orangtua dalam kehidupan rumah tangga anak masih tinggi sekali. Dalam hal ini, sejauh mana peran orangtua terhadap pasangan Anda. Hal ini harus dikenali dalam masa pacaran.
Jangan sampai setelah menikah pasangan tak bisa lepas dari orangtua, dalam arti "anak mami" atau "anak papi".
Contohnya, beli mobil saja pasangan harus bertanya ke orangtua, sedangkan Anda malah tak dimintai pendapat. "Pasangan akan merasa tak dihargai. Padahal, dalam pernikahan, pasangan adalah orang yang dimintai saran, bukan orang lain. Banyak pasangan terjebak dalam hal ini."
Agar tidak terjadi hal seperti ini, sebisa mungkin tidak sedikit-sedikit lari ke orangtua. Tanpa bermaksud menyakiti hati orangtua, berusaha dan berani mengambil keputusan sendiri. Jika selalu tergantung pada orangtua, bisa-bisa lama-kelamaan kita tidak punya identitas diri. Jadi, pelan-pelan harus berani berkata "tidak" untuk sesuatu yang kita yakini benar. Dan harus bersama pasangan, jangan hanya satu pihak.
4. Batasi "hobi"
Anda suka nongkrong bareng teman sepulang kantor? Nah, setelah menikah, sebaiknya batasi frekuensi acara nongkrong bareng teman. Intinya, hindari melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung kehidupan suami-istri.
5. Alokasi keuangan
Beli mobil atau furnitur? Keputusan membeli mobil, misalnya, untuk suami-istri yang kondisi keuangannya pas-pasan, harus dibicarakan benar-benar. Jangan sampai salah satu pihak nantinya tidak puas. Intinya, modal atau harta yang merupakan hasil kerja bersama, harus disepakati bersama. Hal ini juga berlaku untuk harta yang merupakan hasil keringat sebelum menikah.
6. Punya anak atau tidak?
Hal ini mesti dibahas sebelum menikah. Jangan sampai setelah menikah Anda ingin punya anak, sedangkan pasangan Anda tidak. Jika memang ingin punya anak, sebaiknya pasangan suami-istri melakukan tes kesehatan pra nikah.
7. Istri bekerja atau jadi ibu rumah tangga?
Hal ini berhubungan dengan kondisi ekonomi. Jika sebelum menikah Anda dan pasangan sudah bekerja dan setelah menikah suami tetap menginginkan Anda bekerja, Anda perlu pintar-pintar membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga. Apalagi jika nantinya sudah punya anak. Kendati demikian, mengurus rumah tangga dan anak tidak dibebankan 100 persen pada istri. Idealnya, rumah tangga dan anak bisa dikerjaan berdua. Fleksibel.
CINTA TIDAK CUKUP
Selain menetapkan kesepakatan-kesepakatan di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi pasangan yang akan menikah.
1. Siap mental dan psikologis. Artinya, siap untuk membentuk sebuah keluarga yang baru, sebuah kehidupan yang berbeda dari saat masih single.
2. Kenali pasangan semaksimal mungkin. Bukan hanya pasangan kita secara pribadi tetapi juga keluarga, teman-teman, lingkungan kantor, dan lain-lain. Karena konsep menikah di Indonesia, tidak hanya menikah dengan pasangan tetapi juga dengan keluarga besar.
3. Bukan mengejar target. Jangan menganggap menikah hanya sebagai formalitas hidup. Jangan menganggap pernikahan sebagai kewajiban mengejar status. Sebaliknya, menikah sebaiknya dijadikan pilihan yang sesadar-sadarnya.
4. Cinta saja tidak cukup. Karena itu, idealnya orang yang akan menikah punya dasar yang bisa menyatukan cinta itu. Dalam arti, harus punya pekerjaan dan penghasilan (modal ekonomi) untuk bersama-sama membuat keluarga yang dibangun tidak mengalami kekurangan.
5. Komunikasi. Bicarakan semua hal yang menyangkut keluarga