Terpidana Mati Siap Dieksekusi, Kejaksaan Agung (Kejakgung) menyatakan enam terpidana mati siap untuk dieksekusi karena status hukumnya sudah inkrah atau tetap. "Pada 2009, terdapat enam terpidana mati yang sudah final dan siap untuk dieksekusi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Didiek Darmanto dalam jumpa pers soal Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum (Pidum) dalam Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, di Jakarta, Rabu. Keenam terpidana mati yang siap diekseusi itu, yakni,
Meirika Franola (perkara narkotika),
Gunawan Santosa alias Acin (perkara narkotika),
Bahar bin Matsar (perkara pembunuhan),
Jurit bin Abdullah (perkara pembunuhan),
Ibrahim bin Ujang ( pembunuhan) dan
Suryadi Swhabuana ( pembunuhan).
Didiek Darmanto menyebutkan berdasarkan evaluasi dan inventarisasi per 31 Desember 2009 terdapat jumlah terpidana mati sebanyak 112 orang yang terdiri atas 43 orang yang belum menentukan sikap (peninjauan kembali dan grasi). "19 orang yang mengajukan grasi, 25 orang yang mengajukan upaya hukum PK, 17 orang yang mengajukan upaya hukum kasasi, dan delapan orang yang mengajukan upaya hukum banding," katanya.
Kemudian, selama 2009 terdapat dua terpidana mati yang meninggal dunia, yaitu, Benged Siahaan yang meninggal pada 26 Mei 2009 karena sakit di LP Kelas I Cirebon. Edith Yunita Sianturi yang meninggal pada 6 April 2009 di LP Wanita Tangerang karena sakit. Serta, kata dia, tiga terpidana mati hukumannya berubah menjadi seumur hidup, yakni, Mattew James Norman, Tan Duc Than Nguyen, dan Si Yi Cen. "Hingga totalnya terpidana mati sebanyak 107 orang, namun enam diantaranya melarikan dari LP dan sampai saat ini belum ditangkap kembali," katanya.
Selain itu, terdapat empat terpidana mati yang mengajukan grasi dan permohonan grasinya telah diteruskan ke Sekretariat Negara (Setneg) untuk diproses yang selanjutnya menunggu keluarnya keputusan presiden. "Keempat terpidana mati yang mengajukan grasi itu, yakni, Marco Archer Cardoso Moerira, Rani Andriani alias Melisa Aprilia, Raheem Agbaje Salami, dan Nonthanam M Sachon," katanya.
Kendala eksekusi
Di bagian lain, Kapuspenkum menyatakan kendala yang dihadapi untuk pelaksanaan eksekusi pidana mati selama ini, antara lain, terpidana tidak menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa. "Namun pada saat akan dilaksanakan eksekusi, terpidana mati mengajukan upaya hukum luar biasa seperti grasi maupun PK," katanya.
Kendala berikutnya, ia menambahkan terpidana mati mengajukan upaya hukum luar biasa lebih dari satu kali. "Pelaksanaan eksekusi terpidana mati memakan biaya yang besar, dan putusan upaya hukum/putusan upaya hukum luar biasa yang diajukan oleh terpidana mati terlalu lama," katanya.