Kerangkeng dan Prasasti Kutukan Dari Palembang

Aneh Di temukan Kerangkeng dan Prasasti Kutukan Dari Palembang, Beberapa kilometer sebelum memasuki Kota Pagar Alam, melalui jalan menuju Belumai yang membelah areal persawahan sampai di Kampung Tegurwangi. Di Tegurwangi di sebelah kanan jalan di antara kehijauan sawah tampak batu-batu menonjol dan bangunan beratap genteng.Di sebelah kiri jalan terlihat rangkaian bukit yang tak terlalu tinggi. Di lokasi inilah terserak tinggalan moyang orang-orang Pasemah (Besemah) dalam bentuk bilik batu (stone chamber), berhiaskan goresan gambar berwarna dan arca batu.

Pandangan tertumbuk pada sosok-sosok batu yang berjejer di dalam cungkup. Empat sosok arca wanita menunggang gajah itu seolah menjadi pesakitan. Cungkup berpagar besi itu memisahkan arca-arca wanita tersebut dari artefak batu lainnya dan lingkungannya.

Jauh sebelum lahirnya Kadatuan Sriwijaya, di dataran tinggi kawasan budaya Pasemah, meliputi Pagar Alam dan Lahat, diduga telah ada kelompok-kelompok masyarakat. Tinggalan budaya dari kelompok masyarakat ini berupa alat-alat batu, tembikar, bilik batu, dolmen, lesung batu, dan menhir. Tinggalan-tinggalan itu ditemukan di daerah lereng dan kaki Pegunungan Bukit Barisan di hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.

Di daerah hulu Musi, di kaki Gunung Dempo, diperoleh petunjuk tinggalan budaya masa lampau yang sudah jauh berkembang pada tingkat yang lebih kompleks. Di daerah Pagar Alam ditemukan tinggalan budaya megalitik berupa arca-arca batu yang berbentuk manusia dan binatang.

Ahli arkeologi bangsa Jerman, Robert von Heine Geldern, menilai penggambaran arca-arca ini dalam penggarapannya menyesuaikan dengan bentuk asli batunya. Plastisitas hasil karya yang mengagumkan ini menandakan suatu pengerjaan oleh tangan yang terampil dan ahli.

Mungkin karena bentuk dan hasil pengerjaan dari tangan yang terampil itulah lahir suatu dongeng tentang kesaktian si Pahit Lidah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sebagian besar arca megalit di Pasemah adalah hasil perbuatan si Pahit Lidah kepada orang atau binatang yang disumpahnya menjadi batu. Semua arca itu dapat ditemukan di situs-situs yang ada di daerah Lahat dan Pagar Alam.

Di tempat lain di daerah Pagar Alam ditemukan bilik-bilik batu yang di salah satu sisi dindingnya terdapat lukisan. Salah satu bentuk lukisannya menggambarkan orang sedang menggamit kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Lukisan ini mirip dengan gaya arca batu yang ditemukan di permukaan tanah.

Hasil pengamatan yang pernah dilakukan atas lukisan pada dinding batu tersebut tampaknya menggambarkan aneka bentuk yang dinamis dengan memilih obyek lukisan manusia, binatang, dan burung yang memakai kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam yang disamarkan sedemikian rupa sehingga menarik. Tinggalan budaya yang sama ditemukan di Situs Tegurwangi dan Kota Raya Lembak yang keduanya juga berada di Kabupaten Lahat, dekat Pagar Alam.

”Open Air Museum”


Situs Tegurwangi yang letaknya sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Pagar Alam merupakan salah satu tempat di mana pengunjung dapat membayangkan bagaimana bentuk arena ritual pada masa lampau. Di antara petak-petak sawah di Tegurwangi tampak menyembul di antara hijaunya padi batu-batu berwarna kelam.

Ada juga bangunan beratap tanpa dinding yang menaungi empat arca batu. Dekat dengan empat arca batu ini mengalir sebatang parit yang di seberangnya tampak sebuah bilik batu yang terbuka. Agak jauh tampak permukaan batu yang datar. Permukaan batu ini merupakan atap dari sebuah bilik batu.

Menyeberang jalan Tegurwangi dari empat arca terlihat rangkaian bukit yang tidak terlalu tinggi. Dengan menyeberangi area persawahan dan sebatang sungai kecil, dan menapaki jalan mendaki agak terjal, sampailah kita pada sebuah dinding batu. Pada dinding batu yang tingginya sekitar 8 meter terdapat goresan dan lingkaran geometris dan sosok manusia. Sosok manusia yang digambarkan tampak samping mirip dengan penggambaran yang serupa dengan arca-arca India-Maya. Dari tempat yang sempit pada dasar dinding batu sulit mengambil foto dari goresan-goresan tersebut secara utuh.

Konfigurasi keletakan benda-benda kuno itu sepertinya menjelaskan sistem upacara religi pada masa lampau. Di bagian mana orang berkumpul dan di bagian mana pemuka masyarakat memimpin upacara. Juga dapat menjelaskan apa fungsi dari bilik batu, arca-arca batu, tetralit, dan dolmen. Semua benda ini akan menjelaskannya apabila keletakannya tak diubah-ubah. Pengunjung pun dapat membayangkan bagaimana keadaan pada masa lampau, apalagi kalau ada ”bimbingan” dari informasi yang terpampang.

Kutukan si Pahit Lidah rupanya berlanjut terus sampai masa kini. Selain makhluk kutukan tersebut tetap menjadi batu kekar, keempat batu kutukan itu pun dikerangkeng lilitan kawat berduri dalam cungkup. Kasus ini tidak hanya terjadi di Situs Tegurwangi, tetapi juga di belasan situs megalitik lainnya.

Pengerangkengan terhadap benda cagar budaya oleh pihak pemerintah maupun pribadi dapat dipastikan tidak bermaksud buruk. Pemerintah ataupun pribadi ingin supaya benda tersebut aman. Aman dari pencuri ataupun aman dari tindakan vandalisme.

Sebuah maksud baik belum tentu mendatangkan kebaikan. Dalam sebuah museum terbuka (open air museum), pengerangkengan agak tidak dibenarkan. Selain mengganggu estetika, juga dapat memberikan interpretasi yang keliru pada orang awam yang belum dapat membedakan mana yang baru dan mana yang kuno. Apalagi di area situs tidak terdapat papan informasi yang isinya dibuat berdasarkan hasil penelitian.

Tindakan perusakan terhadap sebuah benda cagar budaya memang tidak dibenarkan dan larangan itu sudah disosialisasikan kepada masyarakat melalui para juru pelihara. Mungkin dianggap kurang cukup, maka perlu dibuat ”papan kutukan”, pihak yang merusak benda cagar budaya akan didenda setinggi-tingginya seratus juta rupiah.

”Papan kutukan” ini banyak terpampang di situs. Jumlahnya melebihi atau bahkan mengalahkan jumlah papan informasi. Keadaan seperti ini tidak perlu terjadi di sebuah open air museum, di suatu taman purbakala terbuka yang tertata baik berikut papan informasi ilmiahnya, bukan papan informasi ”kutukan” dengan denda Rp 100 juta.