Kolektor Bangkai Mobil Perang yang Aneh untuk Kemanusian

Kolektor Bangkai Mobil Perang yang Aneh untuk Kemanusian, GARASI itu luasnya sekitar 1.500 meter persegi. Letaknya di Jl Ksatrian, Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan. Menyaksikan garasi itu, sekilas mirip sebuah pangkalan militer. Sebab, di sana terparkir dengan gagahnya belasan kendaraan militer, mulai dari jenis truk hingga jip. Ketika Jawa Pos berada di garasi itu Rabu pagi lalu (31/3) sekitar pukul 08.00, Alok sang pemilik, terlihat sedang duduk santai di antara mobil-mobil militer tersebut.

Sudah beberapa tahun terakhir ini, Alok punya kebiasaan, setiap selesai salat Subuh, dia menuju ke garasi tersebut. Jaraknya kira-kira 500 meter dari rumahnya. Begitu tiba di garasi, satu per satu mobil yang menjadi koleksinya dihidupkan mesinnya, sekadar untuk dipanasi.

Ada 13 kendaraan militer di garasi itu. Semuanya terlihat bersih dan terawat. Di antaranya Dodge Power Wagon (Amerika Serikat) tahun 1961, Rheo (Amerika Serikat) tahun 1999, Truk Mercedes-Benz (Jerman) 5600 cc tahun 1960, M715 Kargo (Amerika Serikat) 1970an, dan YA3 (dibaca Gas, buatan Rusia) tahun 1950an. Selain itu juga ada Puch Steyer (Jerman) 1960, Jeep Willys (Amerika Serikat) tahun 1944, Jeep Utility (Amerika Serikat) 1976, Unimog, dan DKW. "Sebagian saya simpan di rumah," kata owner The Dharmawangsa Hotel, sebuah hotel berbintang lima di Jakarta ini.

Di antara yang disimpan di rumah itu adalah Truk Mercedes-Benz, Land Rover Defender, dan Jeep Utility. Alok bahkan punya truk Toyota Webb yang digunakan pasukan Cakrabirawa saat peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. "Tetangga di rumah bilang, "ngapain kok kayak orang gila. Pagi pagi ngurusin mobil" Nggak tahu saya yang gila atau Anda yang gila, saya nggak tahu," jawabnya, lantas tertawa.

Alok memang sempat mendapat reaksi dari tetangganya karena beberapa truk besar miliknya sering diparkir di rumahnya. Selain karena ukuran yang besar, suara mesin dan knalpotnya memang cukup menggelegar. "Tapi kalau di rumah, saya baru hidupkan lebih siang, sekitar jam 8 lah. Kalau di sini (garasi), habis Subuh sudah saya hidupi. (Ibaratnya) Ngobrol sama barang-barang mati. Ya, kadang kadang kayak orang gila juga ya," pria kelahiran Bondowoso, 2 Oktober 1948, itu tergelak.

Setelah mesin dihidupkan, saat langit masih gelap, biasanya Alok mengendarai mobilnya berputar di sekitar Rempoa. Bahkan terkadang hingga sampai ke daerah dekat kantornya di Dharmawangsa, Jakarta Selatan. "Biasanya saya berdua saja sama istri, terus balik lagi," ujar suami dari Wenny Sugiarti itu.

Yang menarik, mobil-mobil langka koleksi Alok itu tak hanya sekadar dikoleksi. Tapi, mereka juga difungsikan untuk kegiatan kemanusiaan. Sejak tiga tahun lalu, pria yang mengawali karirnya sebagai kepala proyek di Jaya Konstruksi, perusahaan kontraktor milik Ciputra itu aktif berkegiatan sosial. "Saya sejak 1980 sudah mengurusi orang Lepra di Sulawesi. Sekarang, saya ingin mengurus para penderita Lepra lagi," ujarnya.

Suatu ketika, dia mendengar ada wabah Lepra di Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, keduanya di Jawa Barat. Alok langsung membentuk formasi tim pengobatan. Mereka lantas berkonvoi kendaraan menuju ke lokasi. Hampir semua kendaraan koleksi Alok dilibatkan dalam misi tersebut.

Setiap kendaraan punya fungsi masing-masing, lengkap dengan peralatannya. Truk Rheo buatan Amerika Serikat, misalnya, difungsikan sebagai apotek, dan juga tempat untuk tes darah. Di dalamnya juga dilengkapi dengan toilet.

Selain itu, truk Dodge 1961 4 ribu cc difungsikan sebagai tempat rontgen. Peralatannya lengkap, namun Alok enggan menyebut tempat pembelian alatnya. "Kalau di Rumah Sakit Pondok Indah (Jakarta) atau Glenn Eagles (Singapura), untuk rontgen butuh waktu dua hari atau menginap. Di sini, dalam waktu dua jam mereka sudah dapat," ungkap ayah tiga anak dan sudah punya dua cucu itu.

Di kendaraan lain, Alok melengkapinya dengan berbagai peralatan kesehatan, mulai dari tes urine, tes darah, jantung, paru-paru, sampai pengobatannya, untuk kemudian direkam dan didatangi kembali dua bulan atau tiga bulan kemudian. "Kalau TBC, setiap enam bulan siklusnya," lanjutnya.

Sebelum datang ke lokasi yang akan dibantu, tim Alok lebih dulu melakukan survei. Setelah mengumpulkan informasi, tim survey kemudian melihat seberapa darurat tempat tersebut untuk dibantu. "Buat saya, kepuasan tersendiri bisa nyambangin orang Lepra, kaki gajah, dan TBC. Pokoknya yang kami tangani itu orang-orang sakit yang melarat, nggak bisa berobat," paparnya.

Di tempat yang didatangi, Alok biasanya memasang tenda besar yang difungsikan sebagai "rumah sakit" darurat. Sedangkan beberapa truk miliknya difungsikan sebagai semacam kamar praktek dan kamar perawatan. Di setiap tempat yang dikunjungi, Alok biasanya membawa lima dokter, beberapa perawat, dan relawan untuk membantu.

Alok tidak menjadikan para dokter dan perawat itu sebagai karyawan tetap. Mereka hanya diberi honor pada saat dilibatkan saja. Untuk merawat alat-alat kesehatan yang dimiliki, Alok menggaji satu orang saja.

Kegiatan kemanusiaan bagi Alok bukan kegiatan yang tiba-tiba dia lakoni. Sejak SMA, dia sudah terbiasa menjadi relawan. Misalnya, melalui Pramuka yang diikuti, Alok pernah membantu menangani wabah penyakit cacar di Bondowoso. Kegiatan kemanusiaan itu terus dilakoni Alok sampai dia kuliah dan lulus di jurusan Teknik Sipil di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. "Saat bekerja, saya ngurusi orang Lepra. Hari Sabtu, saya khususkan untuk ngurusi mereka. Minggu, baru waktu untuk keluarga," jelas Alok yang saat ini sedang menyelesaikan proyek pembangkit listrik di Asahan untuk kemudian dikelola PLN itu.

Alok menyadari, Lepra memang penyakit menular. Namun, Alok tidak khawatir tertular. Bagi dia, yang penting kondisi tubuh prima, tidak ada luka di tubuh dan tidak terkena cairan si penderita, tidak akan terjadi penularan. "Lama lama, buat saya, baunya orang Lepra itu jadi segar," ujarnya. Selain itu, Alok merasakan kepuasan tersendiri ketika bisa membantu penderita Lepra. "Mereka itu dibuang lho sama keluarganya. Ada yang disimpan di belakang, dikasih makanan, dan tinggal menunggu mati," kisahnya.

Membantu para penderita Lepra, bagi Alok, sama senangnya dengan mengoleksi dan merawat mobil-mobil tua miliknya. Kebanyakan mobil-mobil Alok itu didapat dalam bentuk rongsokan di tempat besi-besi bekas dijual. "Jeep Utility 1974 yang satunya (dari dua jeep serupa yang dia punya, Red.), saya dapat di Timor Timur (sekarang Timor Leste, Red). Saat saya beli, masih banyak bekas lobang pelurunya," ujarnya.

Alok sangat hobi "menghidupkan" kembali mobilnya yang sebelumnya mati hingga bertahun-tahun. "Ada yang sudah dijadikan kandang ayam, tapi akhirnya bisa saya berdayakan lagi," katanya. "Dodge Power Wagon itu paling parah. Sudah nongkrong lama, tinggal mesinnya saja, kap hilang, tapi spakbor ada. Terus, saya cari-cari di tukang loak, akhirnya dapat (kekurangannya)," ceritanya.

Kebanyakan bangkai mobil yang diincarnya itu dari tempat jauh, termasuk di Kupang, Belitung, dan Aceh. Di Aceh, Alok menemukan Land Rover Defender anti peluru. "Pokoknya, tujuan wajib saya ke mana pun pergi adalah tempat barang rongsokan," ucapnya, lantas tertawa.

Semua mobil yang dihidupkan kembali itu, oleh Alok, surat-suratnya juga wajib dihidupkan. "Suratnya hidup semua karena saya nggak mau melanggar. Kalau nggak ada suratnya, saya nggak mau," tegasnya.

Ongkos menebus di tukang barang rongsokan, untuk satu unit mobil setelah ditimbang beratnya bisa mencapai Rp 5 juta. Setelah itu Alok menebus surat dem (lelang bekas mobil dinas) dengan harga paling mahal Rp 4 juta. "Setelah itu, biaya membangunnya sampai jadi, bisa sepuluh kali lipat," jelasnya.

Sulit bagi Alok untuk menjelaskan, mengapa dia begitu senang berburu mobil perang. "Nggak tahu kok senang saja. Sama kayak kita senang suara burung. Apa sih sebetulnya, burung di luar juga banyak, kenapa harus dipelihara? Nah begitu lah," katanya.

Hobi terhadap mobil Jip dan truk militer dipicu oleh ayahnya yang seorang tentara. Pada umur 7 tahun, ketika ayahnya memperbaiki mobil, Alok sering diminta menyediakan peralatan. "Waktu itu dia favoritnya Jeep willys 44 dengan truk Chevrolet. Chevroletnya sudah dipotong-potong di daerah Jember, sudah tinggal bangkainya di tempat kiloan. Kalau jip sudah dapat diselamatkan," imbuhnya.

Alok sempat mengenyampingkan hobinya itu karena harus berjuang merintis karir. Dia bekerja di Jaya Konstruksi ke banyak daerah seperti Bali, Sulawesi, Bengkulu, Palembang, baru balik lagi ke Jakarta tahun 1986. "Saya kerja bangun jalan Trans Sulawesi, Trans Sumatera, Irigasi, terus balik ke kantor pusat. Saya dulu anak buahnya Ciputra," tutur Alok yang kemudian mendirikan perusahaan PT Duta Graha, perusahaan kontraktor yang salah satu karyanya adalah Plasa Indonesia di bundaran HI, Jakarta