Penyebab Krisis Listrik

Secara nasional, keterjangkauan listrik tampaknya berkorelasi dengan lamanya kita menghirup kemerdekaan. Hampir 65 tahun kita merdeka, ternyata baru menghasilkan nisbah elektrifikasi (electrification ratio) 65 persen. Apakah 35 persen penduduk yang belum terjangkau listrik harus menunggu kemerdekaan genap 100 tahun?

Apakah bisa ditoleransi kalau masih ada provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, dengan nisbah elektrifikasi hanya 24 persen? Nasib saudara kita di kawasan timur Indonesia sama buruknya dengan NTT. Apakah bisa diterima akal sehat kalau provinsi-provinsi lumbung energi, yakni Sumatera Selatan dan Riau, hanya sekitar separuh penduduknya yang diberi aliran listrik?

Selama ini mereka pasrah. Kontras dengan warga Jakarta yang dalam sekejap mampu menyihir penguasa sehingga tiba-tiba sangat peduli dengan soal listrik. Bahkan pemerintah berjanji pasokan listrik di Jakarta normal kembali dalam bilangan hari.

Sejak sekarang, tak boleh lagi penyelesaian krisis listrik cuma menyentuh warga Jakarta. Banyak daerah yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis listrik. Harus ada peta jalan yang gamblang, dengan target terukur, untuk menghadirkan listrik bagi rakyat kebanyakan, juga bagi industri dan kegiatan us
aha lainnya.

Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah. Pada triwulan III-2009 sektor ini tumbuh 1,3 persen, lebih rendah dari dua triwulan sebelumnya yang notabene sudah sangat rendah, yakni 1,5 persen. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. Ironisnya, yang paling terpukul adalah industri kecil karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset.

Krisis listrik tak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi/distribusi.


PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhasil meningkatkan porsi pembangkit dengan gas dan batu bara sehingga selama semester I-2009 bisa menghemat Rp 9,38 triliun. Potensi penghematan masih besar. PLTGU Tambak Lorok, misalnya, belum beroperasi optimal karena pemerintah tak kunjung menuntaskan pengaturan pasokan gas. Jangan sampai untuk mengamankan kepentingan kelompok bisnis swasta tertentu pemerintah mengorbankan PLN dan rakyat.

Yang juga bisa cepat ditangani pemerintah adalah mengamankan pasokan listrik dari PLTGU Tanjung Priok dan Muara Karang. Kedua pembangkit ini butuh tambahan pasokan gas, tetapi sampai saat ini belum ada kata putus dari Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara. Kalau pengikatan dengan sesama badan usaha milik negara saja tak kunjung tuntas, bisa dibayangkan rumitnya perundingan antara PT PLN dan IPP (independent power plants).

Sumber masalah di tangan pemerintah sebagai regulator. Pemerintah dan BP Migas perlu cepat bertindak agar kepastian segera hadir bagi pelaku di bidang kelistrikan.

Kelancaran pasokan batu bara perlu dijamin. Proses pengadaan energi primer ini perlu lebih transparan dan berkelanjutan. Benalu-benalu yang ditengarai masih membelit PLN dalam pengadaan energi primer harus dienyahkan, tanpa pandang bulu. PLN harus dibersihkan dari kelompok bisnis dan kepentingan politik yang masih berusaha mencengkeramkan pengaruhnya, yang membuat PLN tak leluasa bertindak, sebagaimana layaknya korporasi yang sehat.

Kedua, tambahan pasokan dapat pula diperoleh dengan cepat dari pembangkit swasta yang kelebihan pasokan. Sepanjang negosiasi harga berlangsung transparan, agaknya tak ada masalah yang menghadang. Lagi-lagi, pengaturan oleh pemerintah sebagai regulator ditunggu. Semakin lama keputusan dibuat, makin besar kerugian yang harus ditanggung oleh perekonomian.

Ketiga, membereskan pembangkit yang kerap mengalami gangguan, baik karena pemeliharaan yang kurang memadai maupun karena pembangunan pembangkit baru yang tidak memenuhi standar. Sejumlah pembangkit baru bermasalah karena spesifikasi teknis di bawah standar. Kita patut mempertanyakan, mengapa proyek-proyek bermutu rendah itu bisa lolos. Lagi-lagi kesalahan pada pemberi izin dan regulator.




Jangka menengah dan panjang

Sebagai pelaku utama, PLN masih akan berperan dominan dalam jangka menengah. Untuk itu, PLN perlu diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi perusahaan yang sehat, memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, serta mendapat laba secara wajar bagi keberlanjutan usahanya. PLN yang sehat akan lebih mampu menjawab tantangan kelistrikan nasional.

Jangan sampai beban subsidi membuat PLN terbelenggu. Subsidi bagi pelanggan rumah tangga di bawah 900 VA untuk sementara waktu masih perlu dipertahankan sebagai kebijakan afirmatif, wujud memenuhi tuntutan konstitusi, yakni memajukan kesejahteraan umum. Namun, di atas itu, apalagi kelompok konsumen rumah tangga yang sangat konsumtif tak pantas lagi menikmati subsidi.

Teramat tidak bijak apabila pemerintah terus mempertahankan struktur tarif listrik dengan kelompok pelanggan produktif menyubsidi kelompok pelanggan konsumtif.

Dalam kaitan ini, perlu reformasi struktur tarif. PLN tak akan pernah sehat kalau subsidi hanya mampu menutup ongkos variabel. PLN harus memperoleh ruang gerak untuk memperoleh margin usaha. Sudah barang tentu tarif yang diberlakukan untuk kategori nonsubsidi pun perlu di dalamnya termasuk margin yang wajar. Gunakan saja acuan yang ada di negara-negara tetangga.

Jika hitung-hitungan wajar yang minimal sekalipun tak kunjung terhadirkan karena pertimbangan politik, pada akhirnya pemerintah dan DPR akan sadar betapa mahal harga politik itu.

Faisal Basri Pengamat Ekonomi