PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DI DESA PULAU PAHAWANG

PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DI DESA PULAU PAHAWANG

Kondisi Geografis
Desa Pulau Pahawang berada di Kawasan Teluk Lampung, secara administrasi berada di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung dengan luas wilayah berdasarkan PP tahun 1999 adalah 1.046 hektar. Secara geografis berada pada 5°40,2’ - 5°43,2’ LS dan 105°12,2’ - 105°15,2’BT. Wilayah Desa Pulau Pahawang merupakan kawasan pesisir, terdiri dari laut, pantai, rawa, daratan dan daerah perbukitan, serta termasuk bagian pulau-pulau kecil yang ada di kawasan Teluk Lampung. Desa ini terbagi menjadi 6 dusun yaitu,
Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuhnyai dan Dusun Pahawang.

Sejarah Terbentuknya Desa

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, nama Desa Pulau Pahawang berasal dari nama seorang nakhkoda kapal yang bernama Pak Hawang dan Mandara yang terdampar dan pada akhirnya menetap di pulau tersebut. Keberadaan Pak Hawang yang menetap di pulau, akhirnya menjadikan pulau tersebut dikenal dengan nama Pahawang.

Perkembangan selanjutnya (tidak diketahui dengan pasti tahunnya), beberapa orang datang dan tinggal di Desa Pulau Pahawang. Mereka berasal dari berbagai tempat. Dari wilayah Banten - Jawa Barat38, mereka adalah Jahari menetap di dusun Penggetahan dan Ruslan yang menetap di Dusun Cukuh Nyai Jaralangan. Haji Dul Malik dari Putih Doh, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus – Lampung menetap di Dusun Pahawang. Kedatangan mereka bertujuan membuka lahan untuk berkebun.

Desa Pulau Pahawang saat itu berstatus kampung dan masuk dalam wilayah Marga Punduh. Oleh karena itu secara adat istiadat warga Pulau Pahawang mengikuti aturan Marga Punduh. Untuk urusan pemerintahan dipimpin oleh Mandara dan urusan keagamaan dipimpin oleh H. Dul Malik. Pada tahun 1980 secara definitif Pulau Pahawang ditetapkan menjadi desa. Penduduk Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Pulau Pahawang adalah orang yang berasal dari suku Sunda (khususnya dari wilayah Banten) dan sebagian kecil adalah berasal dari Lampung Pesisir, Bugis, Padang dan Jawa. Jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2007 adalah 1665 jiwa atau sekitar 427 kepala keluarga39. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan sebagian kecil bekerja petani kebun, pedagang, buruh tani, karyawan keramba
jaring apung dan pegawai negeri/guru.

Sumberdaya Alam Yang Dimiliki

Sebagai sebuah wilayah kepulauan, Desa Pulau Pahawang memiliki sumberdayamalam yang sangat beragam, baik yang terdapat di daratan maupun yang terdapatmdi pesisir dan laut. Sumberdaya alam yang ada dipesisir laut berupa hutanmmangrove (masyarakat setempat menyebut dengan istilah hutan Bakau), rawa, gobah40, gosong-gosong41, terumbu karang, pantai, padang lamun42 dan potensi perikanan laut. Sementara di wilayah daratan sumberdaya alam yang ada berupa kebun yang ditanami kelapa, kakau, tangkil, cengkeh dan jenis buahbuahan (duku, durian, jambu, rambutan, dan mangga)

Desa ini memiliki sumber daya alam pesisir laut yang lengkap di banding kepulauan lain yang ada di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan hutan mangrove seluas 141,94 hektar dengan berbagai jenis tumbuhan bakau, tingi dan nipah. Gosong-gosong yang tersebar di sekitarperairan Pulau Pahawang mencapai 60 buah. Terumbu karang tersebar dan ada
disekeliling pulau mencapai 80,52 hektar. Berbagai jenis ikan laut seperti kepiting, simba, ikan tongkol, ikan selar merupakan jenis hewan laut yang adadan hidup di perairan Pulau Pahawang.

Keberadaan sumberdaya alam terutama yang ada di pesisir laut memberikan dampak yang baik bagi kehidupan nelayan tradisional yang ada di Desa Pulau Pahawang. Rebon yang tersedia di sekitar perairan Pulau Pahawang dapat didapatkan dengan mudah. Rebon digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan. Selain itu, nelayan dapat memasang alat tangkap ikan – yaitu bubu, pancing rawe dan jaring rampus tanpa harus khawatir terbawa oleh Jaring Trawl (pukat
harimau). Dengan alat tangkap tradisional tersebut, nelayan di Desa Pulau Pahawang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup, begitu juga jika mereka memancing ikan disekitar gosong-gosong yang tersebar di perairan, hasil tangkapannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan hasilnya dapat untuk mengisi tabungan untuk kebutuhan tidak terduga (seperti untuk biaya kesehatan atau perawatan jika ada anggota keluarga
yang sakit).

Keberadaan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpah menyebabkan berbagai cara dilakukan untuk memanfaatkannya, termasuk caracara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak/bom, penggunaan potasium sianida, dan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl.

Pemboman ikan, yang biasanya dilakukan oleh orang dari luar Pulau Pahawang, berlangsung pada siang hari. Si pelaku mencari lokasi yang banyak ikannya. Setelah mendapat lokasi yang dicari ia akan mengamati apakah banyak nelayan di sekitarnya. Jadi kegiatan ini dilakukan dengan cara kucing-kucingan. Semua jenis ikan besar dan kecil akan mati. Yang lebih memprihatinkan lagi, terumbu karang tempat hidup dan perkembangbiakan ikan pun ikut hancur. Pihak-pihak yang berkompeten (atau memiliki kewenangan) untuk menangani masalah ini, TNI Angkatan Laut (TNI AL), tidak mampu atau tidak berdaya untuk melarangnya.

Bila ada laporan dari nelayan atau masyarakat, TNI AL tidak bisa menindaklanjuti karena keterbatasan alat operasional untuk menangani masalah ini. Dalam beberapa kasus mereka berhasil menangkap pelaku pemboman, namun kasusnya akan segera selesai hanya dalam waktu hitungan hari atau bahkan jam, dengan proses yang tidak diketahui oleh masyarakat (tersembunyi). Setelah itu proses pengeboman berlangsung kembali.

Potasium sianida adalah jenis obat bius yang sering dipergunakan dalam penangkapan udang besar (lobster), udang kecil (rebon) dan ikan-ikan karang baik ikan hias maupun ikank konsumsi seperti ikankerapu, ikan baronang, dan lain-lain. Zat kimia tersebut dilarutkan dalam air, kemudian dimasukan ke dalam botol plastik seperti botol kecap plastik atau botol spiritus atau alat semprot khusus. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam menggunakan masker
atau kompresor. Si penyelam akan menyemprotkan ikan-ikan atau udang yang ditemui disela-sela terumbu karang dan digosong-gosong. Biasanya ikan-ikan atau udang-udang ini akan mabuk dan sehingga mudah ditangkap. Penggunaan bahan kimia ini, selain berdampak berkurangnya ikan-ikan karang, juga akan merusak dan mematikan terumbu karang serta berdampak juga bagi kesehatan si pengguna.

Jaring trawl, sama halnya dengan pemboman ikan, banyak beroperasi di sekitarnPulau Pahawang dengan pelakunya orang luar, terutama dari Teluk Betung. Hanya orang bermodal besar yang memiliki jaring trawl ini karena kapalnya menggunakan mesin diesel mobil. Semua jenis ikan bukan hanya yang besar saja yang terangkut, tetapi ikan kecil (yang seharusnya ditangkap pada saat sudah menjadi ikan besar) pun terjaring oleh trawl. Selain ikan, terumbu karang pun ikut terangkat oleh jaring trawl.

Akibat kegiatan-kegiatan merusak ini kondisi terumbu karang di sekitar Desa Pulau Pahawang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Peta Keadaan Terumbu Karang tahun 1999 kondisi terumbu karang yang baik hanya tinggal 15% saja. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak/bom untuk mengambil ikan di sekitar perairan laut Pulau Pahawang, yaitu penggunaan bius ikan potasium sianida, juga disebabkan karena terjadi
pengambilan karang yang dipergunakan oleh penduduk untuk bahan membuat


pondasi dan dinding rumah, serta pengoperasian jaring trawl. Rusaknya terumbu karang kemudian mengancam kondisi ekositem laut yang juga turut rusak. Fungsi terumbu karang terutama adalah sebagai pendukung ekosistem laut, yaitu sebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak, pengatur perimbangan suhu air laut, dan sebagai pelindung kawasan pantai dari gelombang air laut.

Di sepanjang pesisir Teluk Lampung dan Padang Cermin telah banyak sekali konversi hutan baku menjadi lahan tambak udang. Dampak negatif yang nyatanyata telah dirasakan masyarakat di pesisir pantai timur yang perkampungannya hancur dan menyatu dengan air laut, akibat abrasi air laut. Selain itu juga limbah dari tambak di sepanjang pesisir ini berdampak pada pencemaran air laut. Inilah salah satu kekhawatiran masyarakat Pulau Pahawang bercermin pada daerah yang telah terjadi. Konversi hutan bakau menjadi lahan tambak telah teridentifikasi berdampak pula terhadap penyebaran wabah nyamuk demam berdarah atau malaria, karena habitatnya yang banyak terdapat di hutan bakau habis dibabat.

Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu bakau juga terjadi untuk tujuan sebagai bahan dasar pembangunan rumah dan pembuatan arang oleh penduduk setempat. Namun menurut penduduk setempat, kerusakan hutan mangrove dimulai secara besar-besaran dengan kedatangan perusahaan asing yang berasal dari Taiwan pada tahun 1975. Perusahaan tersebut melakukan penebangan secara besar-besaran. Penebangan secara
besar-besaran pada saat itu telah mengganggu ekosistem laut di Desa Pulau Pahawang. Kegiatan itu juga telah menyebabkan abrasi pantai.

Selain itu juga, habitat satwa (monyet dan kera) rusak dan satwa-satwa tersebut harus mencari habitat lain untuk mendapatkan makanan, dan akibatnya mereka “menyerang” tanaman di kebun-kebun petani setempat. Hal yang paling mengganggu masyarakat Desa Pulau Pahawang, yang mayoritas penduduknya mengandalkan
pada hasil laut, adalah hilangnya tempat ikan untuk berkembang biak atau bertelur. Akibatnya mereka tidak dapat lagi mendapatkan ikan dengan mudah di sekitar pantai karena memang tidak ada lagi ikan yang berkembang biak dan hidup di wilayah pesisir pantai.