Peraturan Pemerintah Tentang Nikah Sirih

Peraturan Pemerintah Tentang Nikah Sirih, Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melakukan nikah siri sedangkan dia sebelumnya sudah punya istri, harus siap menghadapi resiko dipecat dari statusnya sebagai PNS.
Ketua Komisi VIII DPR Asrul Azwar mengatakan, nikah siri merupakan pilihan seseorang dan itu disahkan dari sudut norma agama Islam. Namun, lantaran ada aturan mengenai pelarangan anggota PNS beristri lebih dari satu, maka yang bersangkutan harus siap menanggung resikonya.

"Bagi PNS yang nikah siri, harus siap menanggung resiko karena ada sanksi yang dituangkan di PP Nomor 10 Tahun 1983. Kalau nggak siap menghadapi resiko, ya jangan nikah siri. Tangan mencincang, bahu memikul," ujar Asrul Azwar kepada koran ini di Jakarta, kemarin (18/2).

Dia menyatakan hal tersebut saat dimintai tanggapan atas pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemprov DKI Budi Hastuti yang mengancam akan menerapkan ketentuan PP 10 terhadap PNS di Pemprov DKI yang ketahuan menikah siri padahal dia sudah beristri. PP Nomor 10 tahun 1983 itu mengatur tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS.

Di pasal 4 ayat (1) PP 10 diatur bahwa PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Pasal 4 ayat (2) menyataan, PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat dari PNS. Pasal 10 PP itu juga mengatur syarat bagi Pejabat dalam mengeluarkan izin. Pasal 16 PP itu mengatur sanksi berupa pemberhentian sebagai PNS.

Hasrul mengatakan, masalah ini tergantung kepada masing-masing individu karena memang bersifat sangat privat. Nikah siri sah menurut agama sepanjang memenuhi rukun nikah. Hanya saja, dari sisi administrasi negara ada masalah, seperti tidak ada buku nikah, anak yang lahir tida punya akta kelahiran, dan punya potensi masalah soal warisan.

"Jadi, resiko-resikonya sudah jelas. Kalau siap menanggung masalah, ya silakan," ulas ketua komisi yang membidangi persoalan agama itu.

Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu mengakui, polemik ini muncul lantaran ada semacam benturan antara aturan yang berlaku, yakni PP 10, dengan urusan privasi tersebut. "Jadi, memang sulit ya. Bagi saya, tak usahlah ini dipolemikkan karena masih banyak problem yang harus diprioritaskan, misal soal zakat atau haji. Jadi, tak usahlah (masalah nikah siri, red) diatur-atur. Kembalikan ke masing-masing individu karena ini menyangkut pilihan seseorang, misal daripada berzinah," ulasnya.

Polemik soal nikah siri ini menyusul adanya RUU yang mengatur nikah siri. Di pasal 143 RUU yang hanya berlaku bagi pemeluk Islam itu dinyatakan, ‘Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan pernikahan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukum bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta." Polemik berkembang ke masalah terancamnya status PNS yang kedapatan nikah siri, seperti di Pemprov DKI itu.

WNA Wajib Jaminkan Rp500 Juta

Kawin campur juga menjadi obyek hukum dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. Pria warga negara asing (WNA) yang hendak memperistri perempuan Indonesia diwajibkan menyerahkan uang sebagai jaminan. Jumlahnya mencapai setengah miliar. Diwajibkannya pria asing untuk menyerahkan uang jaminan Rp500 juta itu diatur dalam Bab VI RUU, yang digodok oleh Kementrian Agama tersebut. Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, RUU itu telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas).

Dalam dokumen RUU yang diperoleh, Kamis (18/2), disebutkan, uang itu sebagai jaminan istri tetap mendapatkan nafkah apabila sang suami bule pergi tanpa pemberitahuan. Namun, saat menikah, uang tersebut tidak diserahkan langsung kepada sang istri, melainkan dititipkan ke Bank Syariah. (huruf a). Ketentuan mengenai uang jaminan itu tidak berlakukan apabila terhadap calon istri yang berkewarganegaraan asing. Namun, sebagaimana pria, ia wajib mendapatkan izin dari negaranya sebelum menikah dengan warga negara Indonesia. Bila perkawinan campur ini putus, pihak suami WNA dibebani dengan sejumlah kewajiban, terutama pemberian mutah yang layak kepada bekas istrinya. Bekas suami itu juga harus menanggung biaya asuhan bagi anak yang dihasilkan dari perkawinan hingga mencapai umur 21 tahun.

Berikut bunyi ketentuan dalam Bab VI huruf b tersebut: Putusnya perkawinan membawa konsekuensi pembebanan sejumlah kewajiban pada bekas suami, terutama pemberian mut’ah yang layak kepada bekas istrinya (pasal 120 huruf a), uang nafkah untuk bekas istri selama masa tunggu (pasal 120 huruf b), serta biaya hadanah (asuhan) bagi anak-anaknya sebelum mencapai umur 21 tahun (pasal 120 huruf d).

Bermula Kasus di Jepara


Banyak kasus yang menimpa perempuan WNI yang ditinggal begitu saja oleh pria WNA. Salah satunya di Jepara, Jawa Tengah. Salah satu kasus itulah yang membuat pemerintah mengharuskan WNA menjamin Rp500 juta jika menikahi perempuan WNI.

"Di Jepara ada beberapa kasus ada kawin kontrak. Misalkan orang asing sebagai eksportir mebel mereka berusaha di sana dan sekalian nikah juga di sana," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali.Suryadharma mengatakan itu di sela-sela Rapat Kabinet bidang Kesra di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (18/2).

Menurut Suryadharma, ketika kerjaan eksportir WNA itu selesai, dia pulang. Istri yang dinikahinya tidak diajak sehingga terlantar. "Tapi saya belum bisa bicara banyak karena ini belum resmi sebagai RUU. Ini bisa resmi menjadi RUU kalau sudah disampaikan ke DPR," kata dia. Dalam draf RUU itu, pria WNA yang akan menikah dengan perempuan WNI wajib menjaminkan Rp500 juta melalui Bank Syariah. Uang itu sebagai jaminan istri tetap mendapatkan nafkah apabila sang suami bule pergi tanpa pemberitahuan.

MUI: Jaminan Rp500 Juta Agar WNA Tak Kabur


Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan setuju jika pria WNA harus membayar jaminan Rp500 juta jika ingin menikahi perempuan WNI. Jaminan itu untuk melindungi perempuan.

"Saya kira itu bagus. Karena selama ini pria WNA kawin dengan WNI, setelah kawin nanti dia kabur atau istrinya lari dibawa ke mana. Jangan sampai perempuan WNI kita dilecehkan saja oleh mereka," ujar Amidhan, Kamis (18/2).

Menurut Amidhan, penentuan jaminan Rp500 juta karena terjadi banyak kasus. Di Kalimantan, banyak perempuan WNI menjadi korban pria WNA. "Di Kalimantan banyak pengusaha kayu kalau sudah habis kontrak penebangan hutan lari dia. Anak, istri ditinggal. Jaminan itu kan melindungi perempuan, untuk antisipasi," jelas Amidhan.

Amidhan menuturkan, penggunaan Bank Syariah dimaksudkan agar tak ada bunga. Uang jaminan bisa dimaksudkan di Bank Syariah mana saja. "Uang itu disimpan di bank, untuk waktu tertentu bisa diambil. Itu jaminan bagi perempuan agar tak diterlantarkan," kata dia.