Pluralisme dan Multikultural

Pluralisme adalah faham yang memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Sedangkan Parsudi Suparlan (2001) mengatakan multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.

Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, pemahaman bahwa penempatan perbedaan antarindividu, kelompok, suku, maupun bangsa sebagai perspektif tunggal merupakan sebuah kesalahan besar. Realitasnya, Indonesia dengan segala perbedaan yang melekat pada geografinya, demografinya, religiositasannya, serta kulturalnya tetap bertahan dalam persatuan dan kesatuan hingga mencapai usia 64 tahunsejak diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta.

Ineksistensi

Tumbangnya rezim Orde Baru dengan doktrin penyeragamannya melahirkan euforia perbedaan yang mengarah pada pembentukan paradigma dan aksi aksi yang irasional. Di masa Orde Baru ada masyarakat etnik dan kultur tertentu yang cenderung diberi ruang nyaman di segala sektor kehidupan, sementara di satu pihak ada etnik dan kultur tertentu yang mengalami marginalisasi (peminggiran).

Waktu 32 tahun bukanlah rentang yang pendek untuk mengeliminasi paradigma ineksistensi pluralisme dan multikultural dalam benak bangsa. Sekian banyak lakuan kebijakan pemerintah, maupun fenomena-fenomena sosial-budaya yang berkembang secara umum masih menampakkan keengganan untuk menempatkan pluralisme dan multikultural sebagai dasar pemikiran.

Paradigma ineksistensi pluralisme dan multikultural telah terlanjur mapan dan mengakar, sehingga sebagaimana umumnya konsep perubahan, pluralisme dan multikultural seakan terbentur dengan tembok-tembok kemapanan yang sukar untuk didekonstruksi.

Mengapa paradigma ineksistensi pluralisme dan multikultural begitu mengakar dalam benak publik tanah air? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pola pendidikan yang berkembang di lembaga-lembaga sekolah dan lingkungan masyarakat Indonesia. Dalam pengelolaan pendidikan secara holistik, pemerintah seakan telah menciptakan kelas-kelas dan diikuti dengan penerapan sistem yang tidak menghargai perbedaan (pluralisme). Salah satunya adalah kebijakan pelaksanaan ujian nasional (UN) yang terkesan "memaksa".

Secara esensial, penyeragaman mekanisme ujian nasional secara terang-terangan telah menunjukkan ketidakpengakuan terhadap pluralisme kemampuan, minat, dan bakat siswa di satu sisi. Sedangkan di sisi lain, pelaksaan UNAS juga jelas menunjukkan ketidakpengakuan tehadap karakter, potensi, serta infrastruktur masing-masing-masing lembaga pendidikan, mengingat luasnya wilayah geografis serta kemajemukan karakter demografis masyarakat Indonesia.

Pendidikan Multikultural
Konsep pendidikan multikultural menjadi komitmen global sejalan dengan rekomendasi UNESCO, Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi UNESCO tersebut memuat empat seruan: (1) pendidikan seyogyanya mengembangkan kesadaran untuk memahami dan menerima sistem nilai dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, ras, etnik, dan kultur; (2) pendidikan seyogyanya mendorong konvergensi gagasan yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas dalam masyarakat; (3) pendidikan seyogyanya membangun kesadaran untuk menyelesaikan konflik secara damai; dan (4) pendidikan seyogyanya meningkatkan pengembangan kualitas toleransi dan kemauan untuk berbagi secara mendalam.

Pendidikan multikultural memberikan kebermanfaatan untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas antaretnik, ras, agama, dan budaya telah memberikan dorongan bagi lembaga pendidikan nasional untuk ’sudi’ menanamkan kesadaran kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, dan agama, lain. Harapannya, pendidikan yang berwawasan multikultural akan membantu siswa memahami dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan kepribadian.

Paradigma multikultural juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menjelaskan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.