Wanita Seribu Benjolan

Wanita Seribu Benjolan adalah Merry, 27 tahun, warga Kampung Simpangan, RT 2/1, Kelurahan Toapaya Selatan, Kecamatan Toapaya, Bintan, Kepulauan Riau, menderita penyakit langka yaitu benjolan yang menutupi sekujur tubuhnya dan dirasakan sangat gatal. Dia memperlihatkan penyakitnya Sabtu (16/1/2010), dan mengatakan bahwa penyakit tersebut telah dia derita selama 20 tahun.

Ketika ditemui Tribun Batam di rumahnya, Merry saat ini tinggal bersama orangtuanya tidak jauh dari SPBU di Batu 16 arah Tanjunguban. Dasem, ibu Merry menuturkan bahwa penyakit yang diderita anak pertamanya ini awalnya hanya berupa bintik merah dan kecil yang disertai demam tinggi serta muntaber. Kemudian disambung dengan malaria hingga akhirnya mucul benjolan di beberapa bagian tubuh ketika Merry masih berumur 7 tahun.

Dasem juga menceritakan bahwa anaknya tidak bisa terkena sinar matahari langsung atau terkena hembusan angin. Karena jika itu terjadi maka anaknya akan merasakan gatal hebat di sekujur tubuhnya disertai timbulnya bintik-bintik merah yang baru.

”Semakin hari bintik-bintik merah tersebut menjadi besar, seperti daging tumbuh di bawah kulit, bahkan akan bertambah besar jika terkena matahari secara langsung,” kata Dasem sambil menunjukan lengan anaknya.

Berbagai upaya mendapatkan bantuan pengobatan hingga ke aparatur kecamatan dan puskesmas, selama ini selalu gagal dia peroleh. Dasem menuturkan, pihak puskesmas sempat menolak dirinya bersama Merry ketika akan berobat, dengan alasan penyakit yang diderita anaknya sangat berat dan tidak bisa diobati.

”Kalaupun puskesmas tidak sanggup untuk mengobati anak saya, minimal mereka kan bisa memberikan rujukan ke rumah sakit mana saja yang mampu unutk mengobati anak saya,” kata Dasem.

Kekecewaan keluarga ini tidak hanya sampai di situ, bahkan Dasem bersama suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas pernah meminta bantuan ke pihak RT/RW, Kelurahan Toapaya Selatan, hingga Kecamatan Toapaya, namun tak satu pun peduli. Bukan bantuan yang diterimanya, malah Dasem bersama suaminya dijadikan bola pingpong.

”Saat kami ke RT/RW kami diarahkan ke Lurah, setibanya di Lurah kami malah disuruh ke Camat, namun saat di Kantor Camat para pegawai di sana hanya bilang, silahkan cari uang yang banyak lalu berobat ke Jakarta, nanti kami akan bantu kalau sudah di sana,” kata Dasem sambil menirukan perkataan salah seorang petugas di kantor Camat Toapaya.

Hingga saat ini, Dasem bersama suaminya telah menghabisan uang sebesar Rp 20 juta yang didapatnya dari menjual semua perhiasan peninggalan orangtua mereka, tabungan suaminya saat masih bekerja hingga meminjam uang ke beberapa kerabat yang masih merasa iba dan kasihan.

”semua sudah dijual untuk biaya pengobatan anak saya, bahkan kami pernah ditipu oleh dukun yang mengaku bisa menyembuhkan Merry,” kata Dasem.

Ketika ditanya apa keinginan dan harapannya, Dasem hanya meminta agar pemerintah dapat membantu mencarikan solusi untuk kesembuhan anaknya. Karena saat ini dirinya sangat lelah sudah meminta bantuan ke semua pihak, namun tidak satupun yang memberikan tanggapan secara baik.

”Pada saat kampanye pemilu legislatif lalu, ada caleg yang datang ke rumah dan berjanji akan membantu dan memperjuangkan kesembuhan anak saya, namun begitu tak terpilih lagi, dia tak nongol kemari lagi,” kata Dasem.

Sementara itu, menurut Merry, dirinya hanya berharap bisa sembuh dari penyakt yang dia derita. Dia merasa malu menjadi bahan olok-olok dan tertawaan teman-temannya selama 20 tahun lebih