Kisah Nadia Yang Mengganti Jenis Kelamin

Kisah Nadia Yang Mengganti Jenis Kelamin, Bagi Nadia Ilmira Arkadia, keputusan mengganti kelamin bukan sekadar persoalan memuaskan keinginannya menjadi seorang wanita. Langkahnya ke ruang operasi di RS Soetomo Surabaya pada 2005 lalu, juga berarti pertaruhan nyawa.

Setumpuk risiko dalam tindakan operasi di bagian vital nya ini bakal membuat hidupnya lebih hancur. Jika selama ini dia sering dicerca karena bakat kebanciannya, saat operasi gagal, cacat baru di tubuhnya sudah menunggu

"Kalau operasi ga
gal dan menembus usus besar ya kemungkinan buang air besar akan lewat vagina, kemudian bila nembus ke buli-buli, buang air kecil akan lewat vagina juga. Itulah akibat dari bila ada kegagalan dari operasi itu," tutur Nadia saat ditemui di rumah nya di Desa Bandar, Batang Jawa Tengah Senin kemarin.

Nadia tahu konsekuensi itu, namun rasa takut tidak mampu mengalahkan tekadnya. Nadia mantap mendatangani surat perjanjian yang disodorkan rumah sakit. Isinya, Nadia tidak akan menuntut apapun kepada rumah sakit bila ternyata operasi ini gagal.

Nadia pun mengaku sedih banyak orang yang tetap menghujatnya. Sebab apa yang dilakukannya bukan lah untuk kesenangan namun lebih dalam lagi yaitu soal jati dirinya sebagai manusia. Nadia pun menggugat orang-orang yang mencibirnya. “Coba lihat dari sisi kemanusiaannya,” pinta Dea, sapaan akrab Nadia.

“Saya adalah seor
ang anak manusia dan dengan pergulatan hidupnya memutuskan untuk menyesuaikan kelamin,berada di ruang operasi berjam-jam dengan konsekuensi taruhan nyawa. Inilah yang tidak diketahui orang. Padahal ini sangat tidak mudah. Tapi kok, orang-orang itu tidak kasihan kepada saya dan tetap menghujat saya," protesnya.

Keputusan Nadia bertransformasi sepenuhnya menjadi wanita di meja operasi tidak datang sekejap menjentikan jari, dan semudah membalikan telapak tangan. Selama dua tahun sebelum operasi, Nadia juga menjalani survei. Berbagai tahapan tes dia lalui, seperti tes hormon, tes kromosom. Tidak hanya fisiknya, lingkungan keluarganya pun disurvei.

“Saya tidak pernah minta secara langsung izin dari orang tua. Tapi ketika disurvei, secara tersirat keluarga saya mengizinkan,” kata Nadia.

Tes pertama kali itu dilakukannya di RS Karyadi Semarang. Namun entah bagaimana, rumah sakit tidak bersedia melanjutkan sampai ke tahap operasi.
“Padahal saya sudah cu
kup layak namun entah mengapa untuk kasus saya mereka tidak mau menangani. Alasan yang tepatnya, saya tidak tahu, cuma pada waktu itu dari RS Karyadi merujuk saya untuk ke RS Dr Sutomo,” katanya.

Di RS Soetomo berbagai tes kembali harus dilaluinya seperti tes psikologis, psikiatri, obsgin dan penyakit dalam. Berbekal empat surat hasil tes, Nadia menemui dr Djohansjah. Besoknya dia sudah diminta untuk mondok di rumah sakit untuk persiapan operasi. Dalam keadaan terbius, Nadia mengaku 10 jam dirinya dioperasi.

“Dari proses pengajuan, pemeriksaan hingga operasi sekira 10 hari saya di rumah sakit. Saya sendiri, tidak ada keluarga yang menemani,”
kata Nadia.

Dr Djohansjah Marzukie
yang menangani Nadia juga enggan menyebut berapa biaya yang dikeluarkan Nadia. Namun dari cerita orang dekatnya, biaya operasi itu disebut-sebut Rp20 juta.

"Biaya untuk operasi m
emang tidak sedikit. Banyak yang harus dipersiapkan.namun untuk nominalnya tidak dapat saya sebutkan ya. Karena takutnya biaya operasi saya nanti menjadi patokan bagi orang lain yang ingin melakukan operasi serupa. Dan yang pasti biayanya saya persiapkan sejak dulu,” elak Nadia yang pernah bekerja di perusahaan asing di Semarang itu.

Nadia terlahir sebagai Agus Widoyo. Lahir di Semarang 14 Agustus 1979, Nadia terlahir sebagai laki-laki. Pada 2005 dia melakukan operasi kelamin dan kemudian mengajukan pergantian status kelaminnya di Pengadilan Negeri Batang. Pengadilan pun mengesahkan Nadia sebagai seorang perempuan pad
a 22 Desember 2009.

Mengapa dia berani menanggung risiko besar untuk memberi penegasan jati dirinya sebagai manusia yang sempur
na, yang diimpikan Nadia. "Setiap transeksual akan melakukan penyesuaian terhadap kelaminnya.Tapi itu tergantung pada keinginan masing-masing transeksual. Apakah ingin melakukan operasi atau tidak, itu adalah pilihan,” katanya.

Nadia Rutin Berburu Hormon

Usai operasi mengubah kelamin di RS Dr Soetomo pada 2005 lalu, Nadia Ilmira Arkadia, tetap harus menjalani serangkaian terapi. Salah satunya yang paling penting terapi hormon estrogen.

“Dokter mengatakan operasi saya ini berhasil,dan lancar. Alhamdullilah saya tidak pernah merasakan sakit tapi meski demikian saya harus rutin perawatan," ujar Nadia saat berbincang di rumahnya di Desa Bandar Batang, Jateng, Senin lalu.

Pascaoperasi, Nadia yang senang dipanggil Dea ini, diharuskan menjalani terapi hormon secara rutin dengan mengonsumsi hormon. Itu dilakukan lantaran saat operasi testisnya ikut diangkat.Testis itu merupakan bagian penting dari reproduksi laki-laki karena menjadi pusat hormon testosterone.

“Ketika testis tersebut diambil otomatis saya tidak bisa lagi memproduksi hormon testosteron, dan pada akhirnya karena saya sudah tidak bisa lagi memproduksi hormon, manusia tanpa hormon kestabilan fisiknya tidak seimbang kan? Dan kemudian saya harus diterapi hormon,disuply hormon perempuan (hormon estrogen)," papar Nadia.

Terapi hormon, kata Nadia dilakukan dua cara. Ada yang dioral dan ada yang di injeksikan. “Tapi kalau dalam resep dokternya saya ada yang dioral,diinjeksi dan dioles. Dan yang paling wajib dan sampai saat ini saya lakukan ya terapi hormon yang dioral dan diinjeksi. Dan waktu terapi itu tidak terbatas waktunya," lanjut Nadia. Konsumsi hormon bagi Nadia sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon. Meski begitu dia mengaku tidak tahu apa dampak yang spesifik jika dia tidak mengkonsumsi hormon.

“Tapi memang ini harus saya konsumsi hormon agar kestabilitasan hormon saya terjaga. Karena saya kan tidak bisa menghasilkan hormon. Dan ini pula ada kaitanya dengan pengeroposan tulang, osteoporosis bila saya tidak mempunyai sistem hormonal yang baik," jelasnya. Hormon estrogen kata Nadia cukup sulit didapat. Jadi Nadia hanya menkonsumsinya setiap bulan sekali dengan mengunjungi klinik-klinik yang menyediakan hormon estrogen.

Berapa biayanya, Nadia enggan merinci. Dia cuma menjelaskan terapi ini seperti kebutuhan makan dan minum sehari-hari. “Terapi hormon pembiayaannya masih terjangkau dan masih dalam batas normal," k
ata Nadia seraya tersenyum.

Ketika Sang Pacar Tahu Nadia Laki-Laki


Siapa yang tidak ingin berkasih mesra. Meski terhalang persoalan status kelamin, Nadia pun tidak kuasa untuk menolak cinta seorang bule Swedia yang kesengsem dengan dirinya.

“Pacar pertama saya itu bule,orang Swedia berusia 35 tahun sedangkan saya pada waktu itu berumur 22 tahun. Dia adalah Toni, bekerja pada perusahaan asing yang pada akhirnya menjadi tempat saya bekerja juga di Semarang ini,” kisah Nadia, saat berbincang dengan okezone, di rumahnya di Desa Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Senin lalu.

Jalinan asmara itu terjadi ketika Nadia secara tidak sengaja bertemu dengan Toni. Pria bule itu katanya, menghentikan laju kendaraannya secara tiba-tiba dan memandangi Nadia dari dalam mobil. “Besoknya saya ketemu lagi karena ternyata apartemennya dekat dengan rumah tinggal saya. Dan pertemuan kedua itu dia sudah mulai 'hai-hai an' seperti itu. Aku tidak kepikiran sama sekali kalau dia akan menjadi pacarku,” kisah Nadia.

Iseng-iseng, Nadia menanggapi ajakan berkenalan calon pacarnya itu. Saat itu dia mengaku punya motivasi tertentu untuk mengenal Toni, yaitu agar bisa belajar Bahasa Inggris.

“Awalnya dia sepertinya ingin tahu tentang Indonesia, “I wanna know about Indonesia”, “i really want to learning about Indonesia, could u please to teach me?” itulah percakapan pertama kali saya dengan dia,” tutur pengagum Brad Pitt itu.

Dari sinilah semuanya berawal. Keduanya sering bersama-sama. Nadia yang hobi naik gunung, mengajak Toni ke Gunung di Ungaran Di tempat ini Nadia mengaku jadian dengan pacarnya itu.

Berlanjut dengan dia, kata Nadia, Toni memintanya untuk tinggal di apartemennya. “Saya sempat menolak, tapi dia memaksa dan meminta izin kepada orang tua saya. Pada dasarnya orang tua saya tidak mengerti berbahasa Inggris, ketika Toni meminta izin, orang tua saya hanya berkata “yes-yes”. Saya pikir orangtua saya menyetujui, dan selanjutnya membuat komitmen, dan saya pikir dia tahu.

Dia Tahu Saya Laki-Laki

Kisah cintanya tidak mulus. Apa yang dikhawatirkan Nadia terjadi. Toni mengetahui bahwa dirinya bukan lah perempuan sungguhan seperti yang dikiranya selama ini. Penyamaran Nadia terbongkar, ketika suatu saat Toni mencoba untuk bisa menyentuhnya.Namun reaksi alat vital Nadia yang masih berwujud sebagaimana milik laki-laki, membuat pacarnya terkejut.

“Pada suatu saat, he try to touch me,dan secara biologis saya kan bereaksi dan dia tahu langsung dia melempar saya. Dia marah besar. Dan berkata apa saya punya motivasi apa kepada dia. Saya bilang 'nothing'. Lalu dia bilang “Just go out from my apartment for a moments. And go back after fifty minutes.”

Nadia keluar apartemen. Dia ragu untuk kembali karena khawatir emosi Toni tidak terkendali dan akan membunuhnya. Namun karena masih cinta, dia pun memutuskan untuk kembali apapun risikonya.

Nadia kembali, saat itu Toni sedang tertidur. Karena takut membangunkan, dia memutuskan untuk tidur di sofa lain. Beberapa menit kemudian Toni terbangun dan menatap tajam Nadia.

“Dan dia berkata “f*** you, aku sudah terlanjur jatuh cinta sama kamu”. Dan akhirnya dia mencoba untuk menerima dan ternyata hubungannya jauh lebih enak dan lebih nyaman,” terang Nadia berbinar.

Kenyataan fisik Nadia yang terlahir sebagai pria, membuat pusing pacarnya. Nadia pun tidak mau karena persoalan itu pacarnya menderita. Dengan berat hati dia memutuskan untuk memperbolehkan pacarnya berhubungan seks dengan wanita lain.

“Saya menyadari bagi orang barat seks adalah kebutuhan. Dan saya bilang kepada Toni bahwa dia boleh melakukan hubungan seks dengan perempuan lain tapi dengan syarat jangan sampai saya tahu dan jangan sampai perempuan itu dibawa ke rumah dan bermainlah dengan aman sesudah itu lupakan dia,” cerita Nadia lirih.

Tapi pada akhirnya si perempuan yang berasal dari Jepara itu mengaku hamil dan Nadia meminta Toni sebagai laki-laki untuk bertanggung jawab. Namun tidak lama keduanya bercerai. Toni berusaha mencari jejak Nadia lagi.

Namun bagi Nadia, tidak ada kesempatan kedua. Sikap dingin Nadia semula membuat Toni kecewa namun akhirnya keduanya bersahabat. Saat Toni membuka kantor baru dan memintanya untuk bekerja dengan dia, Nadia pun menyanggupinya.

“Tonilah yang mengajariku banyak hal. Saya sempat illfell dengan laki-laki lokal, karena saya sudah terbiasa dengan bule yang 'open minded', yang 'he knows to treat a women'. Dan saya memang sempat terobsesi dengan bule. Kalau tidak dengan bule 'ah enggak ah' karena saya takut dibatasi dan takut ini itu. Makanya pengalaman cinta saya tidak terlalu banyak. Karena saya bukan tipikal perempuan yang mau dibatasi ruang geraknya,” kata Nadia.

Namun demikian setelah putus dengan Toni, Nadia sempat berpacaran dengan pria lokal. Dua kali. Tapi itu selalu putus ditengah jalan. Dan hingga sekarang dia belum memiliki kekasih lagi.

“Karena tidak ada yang seperti Toni,yang membuat saya lebih dewasa. Sesuatu yang berkualitas akan sebuah hubungan saya dapatkan di Toni. Karena dia membawa sesuatu yang membangun motivasi dalam diri saya,” ujarnya menerawang. Mengenai tipe pria yang diidamkannya, Nadia cukup selektif. Dia menginginkan pria pintar, dan tidak neko-neko. “Cakep secara fisik,tapi itu relatif,” ujarnya.

“Tapi menurut saya fisik memang iya, karena saya tergolong perempuan bongsor ya, kalau dia tidak lebih tinggi akan aneh bila berjalan dengan saya. Kalau untuk dijadikan jodoh ya mungkin tidak jauh dari kriteria itu, mungkin tambahannya minimal dia pekerja keras. Dan tentu bisa menerima saya apa adanya,” harap Nadia.