Pahit Manisnya Kebijakan Helm SNI

Pahit Manisnya Kebijakan Helm SNI ; Hari terlihat gelap, karena mendung bergayut di cakrawala Surabaya sore itu. Suasana kios helm di Jl Dipponegoro pun tampak lengang pembeli. “Biasanya lebih ramai dari ini. Kemarin malam saja kios sampai tidak cukup karena ramainya pembeli. Tapi kalau mendung, apalagi hujan, pembeli memang malas datang,” ujar Mardi, pemilik kios tersebut.

Diakuinya, sejak Kepolisian menerapkan helm pengendara sepeda motor harus berlabel Standar Nasional Indonesia (SNI), banyak pembeli yang mencari helm jenis ini. Namun, untuk Surabaya sebenarnya helm Ber-SNI sudah lama digandrungi. Bukan hanya karena kualitasnya membuat pemakai aman, tapi juga untuk tampil fashionable.
Mardi mengungkapkan kiosnya bisa menjual antara 100 unit hingga 150 unit tiap harinya. “Tapi tidak tentu juga. Kadang juga saya pernah menjual kurang dari 50 unit dalam sehari. Pokoknya asal bisa membayar anak-anak,” tukas pedagang yang memulai bisnisnya sejak 1994 ini.

Namun, masalah juga datang menghampiri pedagang helm sejak penerapan SNI.”Saya justru kesulitan menjual helm-helm stok lama yang belum berlabel SNI timbul,” ujarnya. Saat ini beberapa pedagang helem memilih menyimpan stok lama. Sebab masih ada beberapa pebngendara yang kalau dalam keadaan terjepit memilih yang tidak ber-SNI karena lebih murah.

Cara lain, lanjutnya, adalah dikembalikan ke produsen untuk dicetak timbul.” Tapi tentu butuh waktu. Padahal modal kami harus terus berputar,” keluhnya. Selain itu, kalau hanya sekadar menambahkan cetak timbul ke produsen helm, Mardi menganggap tidak ada perbedaan antara helm berSNI dan tidak. Mardi bahkan berani menjamin masih sangat banyak jenis helm tanpa SNI yang secara kualitas jauh di atas helm yang telah berSNI. “Saya berani taruhan bayar berapa pun. Kaca helm ini bahkan sudah saya uji sendiri tidak pecah meski terlindas mobil. Batoknya juga saya berani jamin meski dilindas truk. Tapi ini tidak berSNI. Bagaimana coba,” katanya sembari menunjuk salah satu helm dagangannya.

Sebaliknya, Mardi meragukan kekuatan helm berSNI apalagi yang harga jualnya di bawah Rp 100 ribu. “Kalau itu saya tidak jamin. Kan saya lebih tahu jenis-jenis helm,” ungkapnya. Karena itu, Mardi menyarankan agar SNI tidak menjadi satu-satunya kriteria untuk membeli helm. Dia menyarankan untuk keamanan agar masyarakat memilih helm yang bernar-benar aman. Diakuinya untuk harga memang jauh lebih mahal di atas Rp 100.000/buah.” Menurut saya yang orang kecil, ini hanyalah sekadar permainan di level atas. Bisa saja produk bagus tidak berSNI atau sebaliknya. Jadi pemerintah harus tegas dalam menerapkan aturan,” urainya.

Sementara menurut Asosiasi Industri Helm Indonesia (AIHI), penerapan helm wajib SNI oleh Kepolisian per 1 April 2010 diprediksi akan menumbuhkan produksi helm lokal hingga dua kali lipat dari sebelumnya. Jika produksi tahun lalu mencapai 14,8 juta unit dalam setahun, di tahun ini produksi helm nasional ditargetkan mencapai 24 juta unit setahun.

“Keberadaan aturan baru ini saya pikir akan sangat membantu penjualan kami ke depan. Target kami tahu ini penjualan bisa meningkat hingga dua kali lipat,” ujar Ketua Umum AIHI, John Manaf. Menurutnya, hingga saat ini terdapat 8 produsen helm skala besar di Indonesia dan beberapa pelaku usaha kecil dan menengah.

John menjelaskan, penerapan aturan baru tentang penggunaan helm SNI sejauh ini telah berjalan cukup baik di daerah namun justru masih lemah di pusat perkotaan. “Di Jakarta justru belum terlalu ketat, yang berdampak pada permintaan helm yang masih rendah. Permintaan justru paling banyak dari daerah,” tukasnya.