Penjahit Langganan Perdana Mentri Papua Nugini

Penjahit Langganan Perdana Mentri Papua Nugini, Keahlian menjahit telah mengantar Andik Sutrisno berkelana hingga ke negeri seberang, Papua Nugini. Bahkan, jika perdana menteri dan para menteri di negara itu bikin jas, selalu memesan ke Andik.

Andi k Sutrisno benar-benar tak menyangka, berkat kemampuannya menjahit, dia bisa sampai ke Papua Nugini (PNG). Lebih tak menyangka lagi, karena dia akhirnya bisa bertemu langsung dan foto bareng dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Itu terjadi ketika SBY dan rombongan berkunjung ke PNG Jumat pekan lalu (12/3).

"Saya SD saja tidak tamat. Kalau saya sarjana, tidak heran bisa foto jejer dengan presiden. Saya sangat bersyukur," kata Andik bangga saat berbincang dengan Jawa Pos. Saat kunjungan presiden RI ke Papua Nugini itu, nama Andik Sutrisno sudah didengar oleh wartawan sebelum acara ramah tamah SBY dengan WNI yang ada di Port Moresby (ibu kota PNG).

Di PNG, peran Andik tak bisa dianggap remeh. Dialah penjahit baju-baju yang dikenakan Perdana Menteri (PM) PNG Michael Somare. "Saya yang membuat baju PM sampai menteri-menteri," kata pria asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu.

Khusus untuk Somare, lanjut Andik, pakaian yang dikenakan cukup khas. "Dia lebih sering memakai lap-lap (sejenis rok) sebagai pasangan jasnya. Itu untuk menunjukkan akar budaya melanesianya," cerita Andik. Lap-lap itu pula yang digunakan Somare saat mengadakan pertemuan bilateral dengan SBY di Hotel Crown, Port Moresby (12/3).

"Itu memang kesukaannya seperti itu. Saya belum pernah membuatkan celana untuk PM," ungkap Andik. "Kalau kancing lepas, saya juga yang betulin." Untuk keperluan itu, dia membelinya di sebuah toko yang terjamin kualitasnya di kawasan Gadjah Mada, Jakarta.

"Pekerjaan menjahit untuk pejabat di PNG itu dijalaninya sendiri. Mulai dari mengukur, membuat pola, hingga memasang kancing. "Pekerjaan saya kelas internasional, cuma saya tidak sekolah khusus," katanya lantas tertawa. Tidak hanya menjahit, Andik juga menyiapkan sendiri bahan-bahannya.

Ayah empat anak itu tidak tiba-tiba bisa menjalani pekerjaannya sebagai penjahit "internasional" bagi pejabat di PNG. Bahkan awalnya, keputusannya untuk belajar menjahit dilatabelakangi kondisi ekonomi orang tuanya. "Ekonomi (keluarga) kurang bagus, saya tidak bisa melanjutkan sekolah," ujar Andik yang hanya mengenyam sekolah hingga bangku kelas 5 SD ini. Meski demikian, Andik sebenarnya cukup berprestasi. "Ya di sekolah masih dapat ranking," katanya.

Pria asal daerah Balokan, Banyuwangi itu lantas melanjutkan hidupnya dengan bekerja sebagai kuli bangunan. Sebelumnya, dia juga sempat mencoba peruntungan dengan berjualan es. Seiring berjalannya waktu, pikiran mendorongnya untuk menentukan usaha hidup yang lain. Andik mulai melirik untuk menekuni pekerjaan sebagai penjahit.

"Saya harus belajar menjahit. Bekerja tidak kepanasan dan tidak kehujanan," terang Andik. Itu pun tidak dijalani dengan mudah, karena tidak ada biaya dari orang tua untuk belajar menjahit. Dia harus menabung dari hasil bekerja sebagai kuli bangunan.

Baru pada 1985 Andik belajar menjahit di Balokan. Berbekal keahlian menjahit itu, dia lantas memutuskan untuk pergi ke Bali. Ketika itu bulan November 1985. Namun, karena tidak ada tujuan pasti, Andik sempat kebingungan menentukan langkah kakinya. Sempat duduk-duduk di pinggir pantai Kuta, dia berpikir harus tidur di mana. "Sampai jelang maghrib saya ke kantor polisi, numpang tidur," kenangnya.

Hari-hari berikutnya, Andik mulai berjalan kaki mencari pekerjaan. Hingga akhirnya dia diterima bekerja di PT Palm, Sanur. Andik benar-benar merangkak dari nol. Saat di Sanur, itu dia mengalami masa-masa sulit. Seperti saat menunggu gajian. "Saya tidak bisa makan, kadang hanya sekali sehari. Gunting saya titipkan di warung (sebagai jaminan)," katanya miris. Ketika itu tahun 1986, dia mendapat bayaran Rp 15 ribu " Rp 20 ribu per minggu untuk jahit borongan.

Andik tidak menyerah. Dia terus menekuni pekerjaannya. Ilmu di bidang menjahitnya pun semakin bertambah. Hasil jahitannya juga diekspor ke luar negeri. Relasinya juga semakin luas. Salah satunya dengan seorang konsultan desainer dari Jepang. "Saya dikasih bahan-bahan banyak untuk belajar," kata Andik.

Dia sempat berpindah-pindah tempat bekerja, hingga akhirnya sampai ke Kuta. Terakhir dia bekerja di Merino, sebuah perusahaan baru di kawasan Legian. "Tiga tahun saya di sana," katanya. Tahun 1999, seseorang mengajaknya untuk mengadu peruntungan di Brunei Darussalam. Pekerjaannya masih sama, menjahit. Namun yang dilayani adalah kalangan elit di sana. "Bos saya punya salon dan merias keluarga kerajaan. Jadi saya ikut mendesain baju untuk orang-orang elit," urai Andik.

Tapi itu tak lama. Maret 2000, dia kembali ke Pulau Dewata dan bekerja di Martan Lansadi, salah satu tailor terbaik di Bali. Tugas Andik, di antaranya membuat baju pengantin. Namun peristiwa bom Bali membuat pelanggannya surut. Nah, di situlah awal mula Andik ke PNG. Seorang customer-nya, Kevin Yaxley yang merupakan bos tailor Artisan Airways Hotel di Port Moresby menawarinya untuk bergabung. Awalnya Andik ragu karena lebih suka jika ke Australia. Tapi akhirnya dia berangkat pada 11 Mei 2006. "Semua biaya ditanggung, tinggal berangkat. Saya tinggal kirim aplikasi dan paspor," jelas Andik yang bisa berbahasa Inggris secara otodidak ini.

Saat berangkat, Andik berpikir semuanya sudah siap. Tapi dugaannya salah. Hanya ada toko yang masih kosong. Dia juga sempat bergumam, mana ada orang di PNG yang mau buat jas, beda dengan di Bali. "Tapi, oke saya coba. Toh saya tidak keluar biaya. Lalu saya disuruh bos untuk cari barang," katanya. Semua contoh bahan dibawanya.

Keadaan berubah saat pembukan tailor. Undangan yang hadir adalah kalangan menengah ke atas. Andik menjadi kenal dengan pejabat-pejabat di PNG. Bahkan hingga kini, relasinya kadang dibagikan ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Port Moresby. "Kalau orang KBRI perlu nomor-nomor orang parlemen, minta ke saya. Saya orang kecil, tapi saya senang karena sangat dihargai," paparnya.

Selama empat tahun, sudah tak terhitung jas yang telah dibuat Andik. Satu jas diselesaikannya dalam lima hari. Kadang dia harus lembur jika akan ada kunjungan pejabat ke Australia. Harga satu stel jas yang dibuatnya dihargai dengan 4 ribu Kina (1 Kina = Rp 3 ribu). "Orang sini kalau sekali membuat jas bisa 3-4, jadi bisa sampai 16 ribu Kina," ungkapnya.

Dari perusahaan tempatnya bekerja, awalnya Andik menerima bayaran USD 600 per bulan. Tapi kini sudah meningkat hampir dua kali lipat. "Lama-lama naik, ya USD 1.000 lebih sedikit," ungkapnya tanpa merinci. Andik mengakui" mendapatkan tawaran bekerja dari salah satu menteri, namun dia belum bersedia. "Bos saya terlalu baik, sering diajak makan malam dengan menteri-menteri," urai Andik. Selama empat tahun ini pula, dia tinggal di Airways Hotel.

Namun untuk pejabat KBRI Port Moresby, Andik justru mengaku belum pernah membuatkan jas. "Dubes saja belum pernah saya jahitin. Tapi beliau senang dengan saya," katanya. Meski menjadi kepercayaan pejabat di PNG, Andik masih menyimpan keinginan untuk bisa kembali ka tanah air. Sebab, jauh dari istri dan empat anaknya dirasakannya berat. "Awalnya saya tidak mampu, tapi harus bertanggungjawab dengan istri dan anak-anak. Tapi saya tidak mungkin terus hidup di sini. Seenak-enaknya hidup negeri orang, lebih enak di negeri sendiri," katanya.

Sampai kapan di PNG? Andik belum bisa memastikan. Dia menunggu anaknya bisa lulus dari bangku SMA. Saat ini, anak sulungnya sudah rampung studi dan tengah mengikuti training di Jepang. Anak kedua dan ketiganya masih SMA, sementara si bungsu masih duduk di bangku SD. "Saya harus mikir supaya anak bisa sekolah, jangan sampai seperti saya," terang Andik.

Selama ini, Andik pulang sekali setahun tiap lebaran. Biasanya dia di rumah selama 25 hari. "Istri saya juga tidak mau ditinggal lama-lama," ujar Andik yang memiliki tanggal lahir tercatat di paspor 7 September 1965 itu. Soal kelahirannya itu, dia mengaku tak tahu pasti. "Ya maklum orang kampung dulu," katanya. Sumber ;http://jurnalbesuki.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3146&Itemid=41