Politisasi Sekolah Menghapus Independensi Dunia Pendidikan

Politisasi Sekolah Menghapus Independensi Dunia Pendidikan,
Dengan tergesa, kepala sekolah (Kepsek) sebuah SMA meninggalkan sekolahnya menuju kantor Dinas Pendidikan (Disdik), tempat di mana dia harus melaporkan kejadian di sekolahnya. Kepergian Kepsek dengan diam-diam ditengarai oleh kedatangan salah seorang calon kepala daerah ke sekolahnya. Calon kepala daerah (bupati/wali kota) berkunjung untuk melakukan sosialisasi pencalonan dirinya kepada warga sekolah, khususnya siswa kelas XII atau kelas 3 sebagai calon pemilih pemula pada pilkada yang sebentar lagi dilaksanakan secara serentak di tujuh kabupaten/kota, termasuk di daerahnya.


SIKAP yang diambil oleh Kepsek didasari oleh pesan yang disampaikan oleh calon kepala daerah yang ketika itu masih ’’berkuasa” (incumbent) beberapa waktu sebelumnya. Mereka (kepala-kepala sekolah, Red) jika ingin tetap menduduki jabatan yang kini dipegang harus berupaya memenangkan pasangan calon yang mereka usung (calon incumbent).

Pesan incumbent yang dikemas dalam bentuk rapat koordinasi (rakor) melibatkan tim sukses di dalam jajaran Disdik sebagai leading sector. Kepala-kepala sekolah mulai dari TK, SD, SMP, SMA, dan SMK dikumpulkan dalam satu sekolah induk di tiap kecamatan, kemudian kepala dinas dan jajarannya memberikan pengarahan serta petunjuk mengenai program Disdik di daerah tersebut. Program yang di antaranya untuk peningkatan kesejahteraan dewan guru, kemudahan fasilitas sarana-prasarana bagi siswa, serta bantuan pemerintah berupa beasiswa dan lainnya. Program yang tentunya hanya akan terwujud jika pemerintahan masih dipegang oleh pemimpin yang sama.

Selanjutnya sebagai stretching, tim sukses menekankan bahwa selama ini kinerja guru-guru sangat lemah, terutama dalam menyiapkan perangkat dan administrasi pembelajaran, tidak produktif dari indikator absensi atau kehadiran, serta guru dan sekolah menjadi beban pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Sebab, anggaran 20% yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas telah menyedot sebagian besar APBD yang menyebabkan sektor lainnya terbengkalai kalau tidak ingin dikatakan lumpuh.

Intimidasi sering kali menimbulkan kengerian bagi sebagian kalangan guru. Karena sejak kuliah, mereka diajarkan kejujuran, dedikasi akan pekerjaaannya, dan konsekuensi penghasilan dari pekerjaannya. Mereka telah akrab dengan ’’si Umar Bakri” telah menyatu dengan ’’pahlawan tanpa tanda jasa”. Baginya, siswa adalah anak-anaknya sendiri yang diharapkan menjadi orang sukses kelak di kemudian hari.

Mereka tidak mengenal intrik-intrik politik dan pergulatan di dalamnya. Tidak sedikit di antara mereka, semenjak duduk di bangku sekolah hingga perguruan tinggi bertindak garang serta vokal menyuarakan demokrasi dan keadilan, bahkan sedikit kriminal. Namun, semenjak berstatus ’’guru”, perilaku demokratis dan kritis dulu kini rontok dengan sendirinya. Sikap menentang dan bersuara keras mengusung aspirasi seakan hilang ditelan bumi dan lambat laun berganti dengan sikap santun serta mengayom. Perubahan perilaku dan pola pikir kalangan guru ini dirasakan karena perubahan statusnya sebagai ’’guru’’ mewajibkan ia menjadi panutan yang dapat digugu dan ditiru, baik oleh para siswa maupun masyarakat sekitarnya.

Secara moral, para calon kepala daerah paham bahwa sekolah merupakan lahan ilegal untuk dijadikan wilayah kampanye. Tapi, mereka telah menutup mata serta telinga, terutama hatinya, dari semua etika dan moral. Kesempatan untuk mengampanyekan diri yang mereka sebut sosialisasi dilakukan di setiap kesempatan, di masjid, pengajian ibu-ibu, arisan, bahkan acara pernikahan. Bahkan pengiriman jamaah pengajian ke suatu tempat sebagai salah satu ritual ibadah dilakukan.

Dulu, acara penggalangan massa dilakukan di lapangan terbuka dengan mengundang artis-artis terkenal dari ibu kota yang terkadang penampilan artis dikemas seseronok mungkin. Harapannya agar peserta kampanye datang sebanyak-banyaknya. Tapi, setelah keluarnya aturan mengenai pembatasan iring-iringan peserta kampanye, acara penggalangan massa model ini menjadi semakin jarang dilakukan. Perubahan arah dan gaya menyampaikan pesan tertentu dalam dunia perpolitikan kita menjadikan sekolah ’’gamang’’ di tengahnya. Guru menjadi seperti pelanduk di tengah pertempuran dua ekor gajah. Akibatnya, sekolah yang dulunya adalah tempat seluruh civitas akademik belajar dan mengajar serta berkreasi dan berkarya, kini bertambah menjadi ladang politik praktis para oportunis.

Siswa yang sejatinya belajar dengan semangat menyenangkan, diajarkan bertingkah polah dengan sopan, berkarya dengan kreasinya, bertutur dengan kata-kata yang runut teratur menjadi berubah, dukung-mendukung pasangan calon tertentu yang menimbulkan titik-titik bara api yang siap menjadi besar akan merusak pola pikir mereka.

Secara pendidikan, dengan alasan pembelajaran berpolitik, para calon kepala daerah melakukan kegiatan kampanye terselubung di lingkungan sekolah. Mereka mengampanyekan diri sebagai yang terbaik, menjanjikan sekolah gratis, pengobatan gratis, beasiswa bagi siswa tidak mampu dan berprestasi, serta bla-bla-bla. Kasian mereka yang berjanji, karena kelak janji mereka yang tak dapat diwujudkan itu akan mengantarkan mereka pada pengadilan Allah SWT di yaumil akhir. Karena setiap janji adalah utang dan Allah akan menagih janji itu. Belum lagi jika janji itu adalah salah satu lip service alias bohong dan gombal.

Kebohongan yang dikemas dalam janji dan pelayanan akan menjadi racun bagi siswa serta guru yang berdampak sistemik dan menahun. Ketidakpercayaan dan sikap apatis serta menjauh dari demokrasi luhur bangsa akan teruskan oleh perilaku tidak mendidik dari politikus ambisius yang mencari popularitas dan ambisi materi akan berdampak rusaknya satu atau dua generasi bangsa ini ke depannya. Dengan rusaknya kemasan tatanan demokrasi bangsa, maka dikhawatirkan akan melemahkan pertahanan bangsa. Lemahnya pertahanan bangsa akan memudahkan negara lain untuk menginvabsi bangsa ini. Negara besar nan kaya raya direbut paksa oleh kekuatan asing tanpa perlawanan. Siapa pula yang akan melawan karena kita sudah tidak memiliki lagi rasa nasionalisme dan kebangsaan. Sebuah harga diri yang terakhir telah tergadaikan. Tapi, itu pun tidak menjadi persoalan dari para adventure oportunis yang selalu mementingkan keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri.


Kembali ke Jalur yang Benar

Dunia pendidikan bukanlah komoditas politik, bukan ajang mencari massa untuk menggelontorkan kucuran suara dalam pemilu. Siswa dan guru merupakan aset bangsa yang harus dilindungi keberadaannya. Karena dari merekalah bangsa ini kelak akan menentukan arah perjalanannya. Ketika bangsa Jepang porak-poranda akibat dihancurkan Amerika dalam Perang Dunia II. Kaisar Jepang memerintahkan menghitung berapa banyak guru yang berhasil selamat dari kematian. Karena dari guru-guru inilah Jepang harus segera bangkit menata kehidupan kembali yang telah hancur sampai titik terendah peradaban. Hasilnya setelah 50 tahun masa kehancuran, Jepang menjadi negara superior dalam industri dan ekonomi.

Begitu pula dengan Vietnam, perang saudara yang juga melibatkan banyak negara unjuk kepentingan dalam peristiwa itu berakhir pada dekade 1970-an. Mahasiswa disekolahkan di negara-negara Eropa untuk menuntut ilmu dari berbagai disiplin ilmu. Hasilnya, kini masyarakat Vietnam telah mulai melupakan trauma kisah kelam akibat peperangan dan kehancuran. Mereka telah bangkit sebagai negara baru yang berkembang kian pesat. Sektor pertanian dan industri berkembang pesat. Olahraga menjadikan Vietnam macan baru di Asia Tenggara, meninggalkan Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura yang telah lebih dahulu mengikuti ajang olahraga di SEA Games ataupun ASEAN Games.

Belajar dari sejarah bangsa lainnya, tentunya Indonesia harus segera berbenah bahwa politik dan politisasi dunia pendidikan bukan segala-galanya. Nasionalisme dan patriotisme yang menjadikan negara ini merdeka harus tetap selalu digelorakan. Jauhkan kepentingan pribadi dan kelompok dari kehidupan masyarakat kita. Tidak ada kepentingan pejabat daerah yang memaksakan kebijakan politik yang tidak populer di lingkungan sekolah. Kembalikan sekolah pada jalur yang benar bahwa sekolah harus benar-benar independen dalam kehidupan di dalamnya. Lindungi guru dan siswa dari campur tangan pihak luar yang hanya mementingkan diri sendiri. Semoga!
Makalah Politisasi Sekolah Menghapus Independensi Dunia Pendidikan