Teroris Seharga Rp9,2 miliar Dulmatin

Teroris Seharga Rp9,2 miliar Dulmatin, perjalanan hidup Dulmatin akhirnya terhenti di ujung timah panas Polri di Tangerang. Padahal, sebelumnya teroris yang kepalanya dihargai senilai USD10 juta (Rp9,2 miliar) oleh pemerintah AS tersebut dikabarkan tertembak tiga kali.

Kabar kematian tersebut dipastikan oleh sebuah sumber kuat di kepolisian. ’’Sudah A1 (tepercaya, Red) itu Dulmatin. Tes DNA-nya memang belum keluar, tapi kami yakin itu Dulmatin dari ciri-ciri fisiknya," ucap sumber tersebut. Dia juga menuturkan perempuan yang ikut tertembak tersebut adalah istrinya dari Pekalongan, si Ummu Aisah.

Pada Januari 2005, militer Filipina merilis kabar Dulmatin tewas dalam sebuah serangan udara. Namun, kabar tersebut tak bisa dikonfirmasi. Pada Agustus 2006, tentara Filipina merilis kabar serupa. Lagi-lagi tak bisa dikonfirmasi kebenarannya. Kemudian pada 16 Januari 2007, lagi-lagi dikabarkan Dulmatin tertembak di Jolo, Basilan.

Kali ini kabar itu tampaknya akurat. ’’Dia (Dulmatin, Red) tidak mati, tapi tertembak dan sempat tertangkap. Fotonya ada," kata sebuah sumber di kepolisian. Namun, tidak tahu bagaimana ceritanya, Dulmatin tiba-tiba lepas. Diduga kuat, ini merupakan bagian dari pertukaran tawanan antara kelompok militan dengan pemerintah. Di Filipina memang kerap terjadi seperti itu. Sejumlah militan Indonesia pun pernah mengalami hal serupa. Tertangkap, namun kemudian dibebaskan oleh MILF (Moro Islamic Liberation Front).

’’Karir Dulmatin di dunia militan memang cukup panjang. Dia terlahir pada 6 Juni 1970 di Petarukan, Pemalang, dengan nama Joko Pitono. Anak keempat dari lima bersaudara tersebut lulus SMA pada 1992 dan merantau ke Malaysia. Tiga tahun kemudian, dia pulang dan menikah dengan Ummu Aisah. Lalu, ia berganti nama menjadi Asmar Usman.

Di Malaysia inilah, awal persinggungannya dengan kelompok militan. Berangkat ke Afghanistan serta sejak awal sudah bergabung dengan faksi Ali Ghufron dan Hambali di Jamaah Islamiyah (JI). Dia dipercaya terlibat dan menjadi salah satu otak bom Bali I pada 2002. Dia mempunyai banyak nama alias, yakni Joko Pitoyo, Abdul Matin, Muktamar, Djoko, dan Noval.

Selanjutnya, aktif di Poso, sebelum akhirnya Dulmatin kabur ke Mindanao dan menjadi instruktur di Kamp Hudaibiyah. Di Filipina, dia dikenal dengan nama Zaid Ali. Setelah pemerintah Filipina melancarkan all out war, MILF terdesak. Begitu pula militan Indonesia. Sejumlah pentolan JI asal Indonesia, seperti Dulmatin, Umar Patek, dan Ali Fauzi kemudian kabur ke arah daerah rawa-rawa di S.K. Pendaton. Di sana di tengah rawa-rawa, sekitar 20 orang militan Indonesia membangun sebuah kamp sendiri. ’’Tapi, kemudian berkurang satu per satu. Saya sendiri kini tak tahu bagaimana kondisi kamp itu sekarang," kata Ali Fauzi.

Beberapa saat kemudian, Dulmatin kabarnya beralih ke arah Basilan. Di sana, kabarnya Dulmatin bergabung dengan kelompok Abu Sayyaf, sebuah kelompok militan yang dengan visi yang condong ke Al-Qaedah. Sejak saat itulah, kabar pastinya tak pernah diketahui. ’’Terakhir, ya 2007 itu," tambahnya.

Sumber lain di kepolisian menyebutkan kembalinya Dulmatin ke Indonesia tak pernah diketahui secara pasti. Namun, yang jelas, keberadaannya sudah terendus sejak pemboman Marriot II pada 2009. ’’Memang masih ada Noordin M. Top, tapi keberadaan Dulmatin mulai terasa," ucapnya.

Rupanya, Dulmatin memang benar-benar kembali ke Indonesia dan menyusun kembali kekuatan. ’’Kami memastikan Dulmatin bersama satu nama lagi yang masih buron (berinisial Mt) adalah otak kelompok yang kini berlatih di Aceh," tandasnya

Biodata Dulmatin Teroris Seharga Rp. 9.2 Milyar

Dulmatin (lahir di Desa Petarukan, Kecamatan Petarukan, Pemalang, 6 Juni 1970 – meninggal di Pamulang, Tangerang Selatan, 9 Maret 2010 pada umur 39 tahun) alias Amar Usmanan, Joko Pitoyo, Joko Pitono, Abdul Matin, Pitono, Muktarmar, Djoko, dan Noval; adalah orang yang dicari Kepolisian Indonesia karena diduga terlibat kasus Bom Bali pada tahun 2002.

Lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara putra pasangan Usman (almarhum) dan Masriyati, selepas SMA pada tahun 1992 ia merantau ke Malaysia. Tiga tahun kemudian ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai makelar mobil dan bertani.

Ia dikabarkan telah tewas dalam serangan udara militer Filipina di Pulau Mindanao, Filipina Selatan pada Januari 2005, namun ternyata hal tersebut tidak dapat dikonfirmasi. Pihak militer Filipina kembali mengabarkan bahwa Dulmatin telah terluka dalam sebuah baku tembak di Jolo, Filipina Selatan pada 16 Januari 2007.

Pemerintah Amerika Serikat hingga kini masih menyediakan 10 juta dolar AS bagi orang yang dapat memberikan informasi mengenai keberadaannya. Menurut keterangan pemerintah AS dalam pengumuman sayembaranya, Dulmatin adalah ahli elektronik yang pernah berlatih di kamp-kamp Al-Qaidah di Afganistan dan merupakan tokoh senior dalam Jemaah Islamiyah. Dulmatin berusia akhir 30-an, memiliki darah Arab, tinggi 172 cm, berat 70 kg, dengan warna kulit coklat.

Pada tanggal 9 Maret 2010 kembali dikabarkan bahwa Dulmatin tewas pada penggerebekan di Pamulang, Tangerang Selatan