Tragis 2 Liter Beras untuk 24 Anggota Keluarga

Bogor :Cukupkah lima liter beras untuk porsi makan 24 orang? Entahlah. Yang pasti bagi Miong, kepala keluarga yang tinggal bersama dua lusin anggota keluarganya, mereka hanya mampu menyedikan dua liter beras perharinya. Maklum saja, Miong hanya menggantungkan hidup dari bertani dan menjaga vila. Untuk kebutuhan makan istri, anak, dan cucu-cucunya, Miong memanfaatkan sepetak sawah miliknya. Kuli cangkul pun menjadi pekerjaan untuk menambah penghasilan Miong.

"Apa yang saya kerjakan tidak cukup untuk memberi makan anak dan cucu saya," kata miong singkat. Tak cukup sampai di situ, penderitaan Miong pun bertambah dengan ketidakmampuan membeli lauk pauknya bagi anak-anak dan 14 cucunya. Makan dengan garam ditambah lalab dan sambel menjadi menu harian keluarga besar ini.

Ditanya soal adanya bantuan dari pemerintah Kabupaten Bogor yang APBD-nya menjulang bahkan terbesar kedua se-Jawa Barat, Miong mengaku hingga saat ini dia belum pernah menerimanya.

Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau program keluarga harapan yang menjadi program untuk warga miskin, hanya omong kosong bagi Miong. Dengan alasan tak memiliki KTP, pemerintah setempat pun menolaknya untuk mencairkan dana dana program tersebut. "Kami sudah pasrah, untuk ngurus KTP kan harus keluar biaya," katanya.

Miris, Gubug Reot Diisi 2 Lusin Anggota Keluarga
Memiliki rumah mewah tentu menjadi impian semua orang. Namun, bagi sebagian orang, untuk sekadar mempunyai rumah layak huni sekalipun, sulitnya bak mengejar angin.

Setidaknya, hal itulah yang dirasakan keluarga Miong, yang harus berdesak-desakan bersama 24 anggota keluarganya di gubug reot berukuran 6 x 5 meter. Miong bersama istri, 4 anak plus menantu, dan 14 cucunya itu, tinggal di kaki Gunung Salak, tepatnya di Kampung Loji, Desa Pasir Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Gubug yang hanya terbuat dari anyaman bambu dan belahan bambu yang dipasang berjejer mirip teralis sebagai fentilasinya. Untuk menahan dingin, Miong memasang kain sebagai penutup jendela.

Lantai tanahnya jika hujan menjadi becek karena ganteng-genteng rumahnya yang tak lagi lengkap. Rumah sempit itu pun disekat-sekat lagi menjadi lima kamar yang hanya berukuran 2 x 2,5 meter.

Di lima kamar itu Miong harus membagi-bagi tempat tidur untuk ke-14 cucunya, sementara dia dan anak-anaknya terpaksa tidur tak menentu. Bisa di balai-balai atau di mana pun asalkan mereka bisa memejamkan mata.

Melongok isi rumah Miong, tak ada satu pun barang rumah tangga di sana. Hanya satu lemari kecil tanpa pintu dan tempat menyimpan nasi. “Kami terpaksa tinggal di sini karena tidak punya tempat tinggal lain,” kata Miong saat ditemui di rumahnya. Di usinya yang menjelang senja Miong hanya berharap cucu-cucunya bisa hidup layak dalam naungan sebuah keluarga bahagia, sambil merajut asa menyongsong masa depan mereka.

“Hanya bisa pasrah, sabar, tawakal dan terus berikhtiar,” kata Miong tanpa sedikit pun memperlihatkan roman keputusasaan. Di gubug ini, Miong dan dua lusin anggota keluarganya menjalani setiap detak jarum jam sambil menunggu keajaiban Tuhan. “Tapi tentu dengan terus berusaha,” tegas Miong
Sumber okezone.com