Ujian Nasioanal Sebagai Motivasi Untuk Belajar Lebih Giat

Ujian Nasioanal Sebagai Motivasi Untuk Belajar Lebih Giat, Selama ini pelaksanaan ujian nasional (UN) mengalami pro-kontra. Tidak terkecuali tahun ini yang pelaksanaannya mulai hari ini 22 Maret 2010. Banyak yang mendukung program pemerintah tersebut, tapi tidak sedikit juga yang meragukan bahkan menentangnya.

PADA prinsipnya ketika seseorang telah melaksanakan tugas belajar, ada saatnya pelajarannya tersebut diujikan kembali guna melihat dan mengevaluasi hasil belajar siswa bersangkutan. Yaitu untuk menentukan layakkah dia lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau sebaliknya.

Namun, di satu sisi anak didik kita setelah belajar dalam kurun waktu tiga tahun dengan berbagai macam disiplin ilmu kemudian hanya beberapa mata pelajaran yang diujikan. Bagaimana posisi mata pelajaran yang lain, tidak bergunakah? Atau dianggap tidak terlalu penting? Paling mengkhawatirkan lagi adalah kelulusan siswa berada di atas lembar jawaban komputer (LJK).

Ketika menghadapi UN pula banyak siswa yang stres serta diliputi rasa waswas dan berbagai macam pertanyaan. Akan luluskah saya nanti? Lalu, bagaimana kalau saya tidak lulus? Berbagai macam pertanyaan dan keraguan inilah yang kemudian membuat psikologis siswa sedikit terguncang.

Berbagai macam cara pun dilakukan guna mengantisipasi agar siswa tidak mengalami kegagalan dalam UN tesebut. Mulai mengikuti bimbingan belajar di sekolah sampai mendatangkan guru les di rumah. Usaha-usaha seperti ini perlu kita berikan apresiasi setinggi-tinggi pada siswa yang betul-betul ingin mempersiapkan dirinya untuk menghadapi UN tersebut.

Ada satu kendala yang menurut penulis begitu urgen. Yaitu lulus atau tidaknya siswa hanya ditentukan selembar LJK. Celakanya ketika siswa tidak menulis biodata atau tidak mengisi dengan benar, maka bisa dipastikan siswa tersebut tidak akan lulus. Sistem komputerisasi dalam pengoreksian akan sangat sensitif bahkan alat tulis (pensil) pun harus dengan pensil yang khusus pula. Begitu rumit pelaksanaan UN sehingga wajar kalau ada kekhawatiran dari siswa maupun wali siswa jika anaknya mengalami kegagalan.

Banyak siswa yang menolak UN tesebut. Di Medan dan Jawa Timur, misalnya, siswa sampai berunjuk rasa menolak dilaksanakannya UN. Kadisdik Sumatera Utara Bahrumsyah mengatakan, salah satu faktor mengapa siswa menolkan UN tersebut adalah adanya budaya malu terhadap kekurangan diri sendiri dan ada kekhawatiran melalui hasil UN akan menunjukkan lemahnya kinerja dan kompetisi praktisi pendidikan di lapangan selama ini.

Mantan Wapres Jusuf Kalla menilai penghapusan UN berarti membodohi jutaan anak Indonesia. ’’Orang bisa menjadi pintar itu karena belajar. Kenapa belajar? Karena akan diujikan. Kalau tidak ada ujian dan semua bisa lulus, untuk apa belajar?

Demikian kata Kalla yang juga menjabat sebagai ketua Dewan Penasihat BK-PTIS.
Adanya ujian merupakan kerangka mutlak bagi pendidikan kita yang masih kalah dengan negara-negara berkembang lainnya yang notabenenya sama dengan kita. Sebut saja Malaysia, pada zaman 70-an banyak siswa/mahasiswanya menimba ilmu di negara kita. Tapi, sekarang sangat jarang bahkan sebaliknya siswa/mahasiswa kitalah yang berlomba-lomba menuntut ilmu ke negara yang dianggap sistem pendidikannya sudah bagus dan diakui internasional.

Ini merupakan pelajaran bagi kita, khususnya pemerintah, agar berkaca dengan negara-negara berkembang lain. Apakah pendidikan di negara kita statis? Atau bahkan mengalami stagnasi? Adanya standar kelulusan yang setiap tahunnya mengalami kenaikan merupakan acuan pemerintah untuk mendorong siswa agar belajar lebih giat.

Tapi, jangan sampai terjadi apa yang dikatakan Mc. Neill (2000) dan Nathan (2002) bahwa biaya yang terbesar yang dilakukan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka hanya ternyata bukan di sekolah, melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar yang mengajarkan pada siswa kita konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat, dan disiplin untuk tujuan nilai atau skor, bukan tujuan dasar pendidikan.

Kita sepakat bahwa ranah pendidikan sesuatu yang urgen dalam proses kehidupan bahkan kemajuan suatu negara akan bergantung dengan kualitas pendidikan suatu bangsa tersebut. Proses penilaian dalam pendidikan pun terdiri atas tiga ranah. Yaitu kognitif, apektif, dan psikomotor. Yang terjadi dalam proses penilaian UN hanya mengandalkan ranah kognitif. Bagaimana dengan aspek-aspek lainnya? Apakah eksistensi pendidikan kita akan tercerabuti? Tentunya ini juga merupakan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah yang dalam hal ini pembuat kebijakan. Pro-kontra tentunya tidak akan terjadi jika dua belah pihak yakni pemerintah dan lembaga pendidikan tidak ada yang merasa dirugikan.

Terlepas dari kontropersi yang ada, siswa dalam hal ini objeknya, harus mampu membuktikan apa pun metode yang akan dilakukan, harus siap menghadapinya. Praktisi pendidikan pun dalam hal ini tenaga pendidik yang merupakan ujung tombak keberhasilan anak didiknya hendaknya melaksanakan tugasnya secara maksimal dalam mengantarkan anak bangsa ke arah yang lebih baik.

Demikian guru yang mengetahui betul keadaan dan kemampuan siswa hendaknya membenahi dan memacu anak didiknya dengan sistem dan cara yang bagus tentunya. Fungsi guru bukan sekadar transfer of knowledge. Tapi, lebih dari itu sebagai pembimbing dan pendidik dalam segala aspek. Segala upaya tercurahkan demi membimbing anak didik kita dengan satu harapan berguna bagi bangsa dan negara. Tetapi, dengan bimbingan guru saja tentu tidaklah memadai tanpa adanya perhatian yang lebih dari orang tua siswa dalam menunjang pendidikannya. Semua unsur terlibat dalam membangun dan mengembangkan karakteristik dan mutu pendidikan tanpa adanya controlling mustahil visi-misi pendidikan kita akan tercapai.

Siswa-siswa kita adalah aset bangsa yang sangat berharga serta calon penerus dan pemikul beban yang sangat berat untuk meneruskan perjuangan bangsa kita. Sudah seharusnya semua elemen masyarakat, baik pemerintah, praktisi pedidikan, guru, maupun orang tua siswa bahu-membahu untuk menyukseskan dan mengantarkan anak bangsa ini ke pintu gerbang kesuksesan.

Tidak henti-hentinya sebagai guru memotivasi dan memberikan arahan pada anak didiknya agar terus maju dalam meraih prestasi dan cita-cita yang mulia. UN jadikanlah sebagai motivasi untuk belajar lebih giat lagi dan tantangan untuk menimba ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Jangan dijadikan suatu momok yang menakutkan. Sebab, itu akan menjadi bumerang sendiri bagi anak-anak semuanya.

Sebagai orang tua juga hendaknya memberikan perhatian lebih pada anaknya sehingga termotivasi dalam menghadapi hajat negara tersebut. Sementara bagi pemerintah hendaknya melaksanakan sistem ini dengan betul dan transparan serta supaya tidak ada yang merasa dirugikan karena sekarang ini sudah waktunya spend money to support goal not score.