Kepemimpinan Dalam Presfektif Islam

Kepemimpinan Dalam Presfektif Islam, Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupaun di hadapan manusia Dalam uraian ini, kami akan membahas permasalahan mengenai pemimpin, baik mengenai kewajiban pemimpin terhadap yang dipimpinnya maupun kewajiban yang dipimpin terhadap yang memimpin dan beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan

A. PENGERTIAN PEMIMPIN

Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kelompok yang terorganisasikan dalam upaya menentukan tujuan dan mencapainya.[1]
Ada juga yang mengartikan kepemimpinan merupakan proses yang berisi rangkaian kegiatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.[2]
Dengan demikian dapat diartikan bahwa pemimpin adalah pelaku atau seseorang yang melakukan kegiatan kepemimpinan, yaitu seseorang yang melakukan suatu proses yang berisi rangkaian kegiatan saling pengaruh-mempengaruhi, berkesinambungan dan terarah pada suatu tujuan.

B. SETIAP KAMU ADALAH PEMIMPIN

Suatu kepemimpinan, tidak hanya dapat dilakukan oleh orang yang berstatus sebagai presiden, perdana menteri, direktur maupun seorang yang memiliki jabatan formal saja, namun seorang yang bekerja sebagai buruh juga merupakan seorang pemimpin. Seorang pembantu rumah tanggapun juga seorang pemimpin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Hal ini telah dikatakan oleh Rasullullah di dalam hadist beliau :

Ketahuilah, bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertanggung jawab terhadap pimpinannya (rakyatnya). Maka sebagai Amir (pemimpin) yang memimpin manusia yang banyak adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas pimpinannya (rakyatnya). Dan seorang lelaki (suami) adalah sebagai pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang wanita (istri) adalah sebagai pemimpin di rumah, suami serta anak-anaknya yang yang ia bertanggung jawab terhadap mereka. Dan seorang hamba (budak) adalah seorang pemimpin dalam menjaga harta tuannya. Ketahuilah, kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian bertangung jawab terhadap pimpinannya. (Mutafaq’alaih)

Dari hadist di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa masing-masing manusia adalah pemimpin. Dan setiap dari mereka akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, hendaklah seseorang tidak terlalu berambisi untuk menduduki suatu jabatan tertentu baik dalam pemerintahan maupun dalam suatu organisasi. Karena pada dasarnya ia sudah menjadi pemimpin, dan suatu jabatan tertentu merupakan suatu amanah yang sungguh sangat berat yang harus diemban dengan baik dan harus dipertangung jawabkan baik di dunia, maupun di akherat kelak.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS. Al Ahzab : 72)

Dalam sebuah hadist dikatakan :
Rasullullah saw berkata kepada Abdulrahman bin Samurah,”Wahai Abdulrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong megatasinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)[3]

Di dalam hadist lain dikatankan juga “Jabatan (kedudukan) pada permulaannya adalah penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kesesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.(HR. Athabrani)[4]

C. TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

1. Pemimpin Pelayan Masyarakat
“Dari al Hasan ra berkata, Ubaidillah bi Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar ra ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya. maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyaat, “aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadist yang telah aku dengar dari Rasullullah saw., aku telah mendengar Nabi saw bersabda : Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga).(H.R. Bukhari)[5]

Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah seorang yang diberi amanat oleh Allah swt untuk memimpin rakyat, yang di akherat kelak akan dimintai pertangung jawaban oleh Allah swt. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya selama di dunia, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah di akherat kelak. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya tidak memposisikan diri sebagai orang yang paling berkuasa di antara rakyat yang dipimpinnya sehingga bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Namun sebaliknya, ia harus mampu menepatkan diri sebagai pelayan masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Dalam hadist lain juga disampaikan hal yang sama “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka.(HR. Abu Na’im)[6]
Agar kaum muslim memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga mereka, pemimpin yang dipilih adalah mereka yang betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya. Dalam memilih pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku dan ketaatan dalam keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku, bangsa ataupun keturunan.

D. TAAT KEPADA PEMIMPIN

Kewajiban Taat Kepada Pemimpin
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah taat kepada pemimpin. Ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa, ketaatan merupakan sendi asas tegaknya suatu kepemimpinan dan pemerintahan. Tanpa ketaatan dan kepercayaan kepada pemimpin, kepemimpinan dan pemerintahan tidak mungkin tegak dan berjalan sebagaimana mestinya. Jika rakyat tidak lagi mentaati pemimpinnya maka, roda pemerintahan akan lumpuh dan akan muncul fitnah di mana-mana. Atas dasar itu, ketaatan kepada pemimpin merupakan keniscayaan bagi tegak dan utuhnya suatu negara. Bahkan, dasar dari ketertiban dan keteraturan adalah ketaatan.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta penguasa pemerintahan diantara kamu (QS. An Nisa : 59)

Dari Ibnu ‘Umar ra dari Nabi Saw, beliau Saw bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak di hari akhir ia akan bertemu dengan Allah SWT tanpa memiliki hujjah. Barangsiapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada bai’at maka, matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR. Muslim].

Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Dengarkanlah dan taatilah olehmu, walaupun yang memimpin kamu adalah seorang budak dari Ethiopia yang bentuk kepalanya seperti biji kurma.” [HR. Bukhari].

Sesungguhnya akan datang sesudahku sikap mementingkan diri sendiri dan urusan-urusan yang kalian ingkari. Para sahabat bertanya Ya Rasullullah, bagaimanakah perintahmu kepada orang yang menemui hal yang demikian diantara kami ?”Rasullullah SAW bersabda “Tunaikanlah hak yang wajib atas kalian (mendengarkan dan menaati) dan mohonlah kepada Allah hak kalian. (HR. Bukhari-Muslim)[7]

Barangsiapa taat kepadaku, berarti dia taat kepada Allah. Barangsiapa mendurhakaiku, berarti dia mendurhakai Allah. Barangsiapa taat kepada pemerintahannya berarti dia menaatiku. Barangsiapa mendurhakai pemerintahannya berarti dia mendurhakaiku. (HR. Bukhari-Muslim)[8]

Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dalam pemerintahanya, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, sesungguhnya orang yang keluar dari penguasa sejengkalpun saja (tidak taat meski hanya sedikit), maka ia mati dalam keadaan (sesat seperti) matinya jahiliah. (HR. Bukhari-Muslim)[9]

Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata, Rasullullah SAW. Bersabda “sungguh kelak sepeninggalku akan ada perilaku monopoli (ulil amri) dan bentuk-bentuk pelanggaran yang kalian pasti tidak menyetujuinya.” Para sahabat bertanya :”Wahai Rasullullah, lantas apa yang engkau perintahkan kepada seseorang dari kami yang menemui masa seperti itu ?” beliau menjawab :”hendaklah kalian menunaikan apa yang menjadi kewajiban kalian (kepada ulil amri) dan kalian memohon kepada Allah apa yang menjadi hak kalian. (HR. Bukhari-Muslim)[10]

Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata :”Rasullullah SAW. Bersabda : ”Wajib atas kalian mendengar dan taat (kepada ulil amri dalam kebaikan), baik berkaitan dengan hal yang sulit, hal yang tidak disukai, maupun ketika ulil amri melakukan praktek monopoli sekalipun.”” (HR. Muslim)[11]

“…. Bila seseorang telah berbai’at kepada seorang imam (kubro) dengan sepenuh hati dan ketulusan janjinya, hendaklah berusaha untuk menunaikannya sejauh kesanggupannya. Dan jika di hari kemudian muncul imam lain yang menyelisihinya, maka dia memerangi imam yang menyelisihi itu. “ (HR. Muslim)[12]

Batas Ketaatan Kepada Pemimpin

Ketaatan kepada pemimpin bukanlah ketaatan yang bersifat mutlak tanpa ada batasan. Ketaatan harus diberikan kepada pemimpin, selama dirinya taat kepada Allah SWT dan RasulNya. Jika pemimpin tidak lagi mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan bagi dirinya. Al-Qur’an dan Hadist telah memberikan batasan yang sangat jelas dan tegas dalam memberikan ketaatan.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.” (QS. al-Kahfi: 28)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir.”(QS. Fâthir : 52)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (QS. al-Qalam :8)

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina.” (Qs. al-Qalam : 10).

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (Qs. al-Insân : 24).
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik dalam hal yang disukainya maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiyat, maka ia tidak wajib mendengar dan taat.” [HR. Bukhari dan Muslim].

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andaikan kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukann yang besar.” (Qs. al-Ahzab: 66-68).

Dari ayat Al Qur’an dan hadist di atas jelaslah bahwa ketaatan kepada pemimpin bukanlah suatu ketaatan yang mutlak untuk dilakukan oleh setiap muslim. Ketaatan kepada pemimpin wajib dilakukan selama pemimpin tersebut menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran. Namun bila pemimpin memerintahkan untuk melakukan kemungkaran, maka tidak wajib untuk mentaatinya.

DAFTAR PUSTAKA Makalah Kepemimpinan Dalam Presfektif Islam

Al Qur’an

Almath, Muhammad Faiz, Dr., 1995, 1100 Hadist Terpilih, Terjemah, A. Aziz Salim Basyarihil, Jakarta : Gema Insani Press.
Baqi, Muhammad Fuad bin Abdul, 1996, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, terjemah, H. Salim Bahreisy, Surabaya : Bina Ilmu

http://www.badilag.net/. tanggal 27/11/2008
Nabhawi, Syaikh Yusuf An, 2006, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Bandung : Irsyad Baitus Salam.

Nawawi, Hadari Prof. Dr. H., 1993, Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sohari, Drs., MM., dkk, 2006, Hadis Tematik, Jakarta : Diadit Media.
Sugandha, Dann, Drs., M.PA, 1986, Kepemimpinan di Dalam Administrasi, Bandung : CV. Sinar Baru.

Sunarto, Achmad, 2005, Hadist Al Jami’ush Shalih, Jakarta : Annur Press.
[1] Drs. Dann Sugandha, M.PA, 1986, Kepemimpinan di Dalam Administrasi, Bandung : CV. Sinar Baru, hal 62
[2] Prof, Dr. Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal 29
[3] Muhammad Faiz Almath, 1995, 1100 Hadis Terpilih, terjemah, A. Aziz Slim Basyarahil, Jakarta : Gema Insani Press, hal. 163
[4] Ibid, hal. 165
[5] Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1996, al Lu’lul wa al Marjan, terjemah, H. Salim Bahreisy, Surabaya : Bina Ilmu, hal 27
[6] Muhammad Faiz Almath, Op-Cit, hal. 163
[7] Achmad Sunarto, 2005, hadist Al Jami’ush Shalih, Jakarta : Annur Press, hal 140
[8] ibid, hal 141
[9] ibid
[10] Syaikh Yusuf An-Nabhawi, 2006, Ringkasan Riyadhush Shalihin, Bandung : Irsyad Baitus Salam, hal 302
[11] Ibid, hal 303
[12] Ibid hal 305