Fenomena Muncul dan Hilangnya Pulau Di Aceh

Fenomena Muncul dan Hilangnya Pulau Di Aceh ; Setelah terjadi goncangan gempa berkekuatan 7,2 pada Skala Richter (SR) yang perpusat di laut Pulau Simeulue, pada 7 April lalu, sebuah daratan baru muncul di perairan dekat Pulau Haloban (Pulau Tuanku-nama daerah), Kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.

Lokasinya persis di laut lepas anatara gugusan Pulau Tailana dan Pulau Tambarat yakni berjarak sekitar 3 mil arah utara Pulau Haloban. Pulau Haloban adalah salah satu gugusan pulau berpenduduk yang ukurannya lebih besar dari gugusan puluhan pulau lain di perairan Kecamatan Pulau Banyak. Fenomena alam tersebut membuat warga yang bermukim di gugusan pulau-pulau terdekat khawatir akan terjadi sesuatu yang membahayakan.


Pasalnya daratan baru itu timbul mirip gunung pada kedalaman sekitar 5 meter dibawah permukaan air laut. Ukurannya sekitar 50 meter, tinggi 20 meter dari dasar laut dan tidak tampak diatas permukaan air. "Waktu pertama diketahui puncaknya pada kedalaman 18 meter, sekarang semakin dangkal mencapai 5 meter dengan permukaan air laut," kata Azwar, kepala Desa Pulau Haloban, Minggu (18/4).

Fenomena langka tersebut awalnnya diketahui beberapa waktu setelah gempa oleh Ruslan,42, warga Haloban, ketika hendak memancing ikan di periran setempat. Saat itu Ruslan melihat ada air seperti mendidih munculke permukaan. Semburan air itu mirip keluar dari gunung, tapi tidak ada rasa panas atau dingin dan tidak berubah warna air laut.

Banyak warga Haloban yang pergi ke tengah laut itu untuk melihat apa sebernarnya yang sedang terjadi di sekitar mereka. Mereka pergi menumpang boat nelayan dan menyelam di lokasi tersebut. Menurut mereka, lokasi yang sudah dangkal mirip daratan itu selain mengeluarkan semburan lumpir bercampur pasi juga ada bebatauan ukuran segumpal berwarna hitam serta cokelat.

Hingga berita ini diturunkan belum diketahui secara pasti apa sebenarnya dan bagaimana akibatnya nanti. Namun sebagain waraga Desa Kepulauan Haloban, berencana mengusi ke daratan Aceh Singkil, karena takut tejadi hal yang membahayakan. Mereka meminta pemerintah atau pihak terkait segera menyelidiki secara ilmiah kejadian fenomena alam tersebut.

Ribuan warga Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, kini resah gara-gara kemunculan daratan baru berbentuk gunung di perairan Haloban yang hingga kemarin petang masih menyemburkan lumpur, batuan hitam, dan material lain yang mengkilap, tapi belum terdeteksi apa bendanya.

Khawatir semburan lumpur itu merupakan lava panas dan mengandung belerang (sulfur) dalam kadar yang membahayakan, sehingga banyak warga Haloban, pulau terbesar di gugusan Kepulauan Banyak yang hendak mengungsi ke Singkil, sekitar 30 mil dari Haloban.

“Wajar kami resah, bahkan panik, karena semburan itu tak kunjung berhenti. Siapa tahu mengandung racun. Lagi pula air laut di sekitarnya makin bergejolak dan udara di situ terasa lebih panas, meski sedang hujan,” lapor Riskan Nafis (34), pegawai PLN di Haloban (Pulau Tuangku) kepada Serambi di Banda Aceh, tadi malam.

Sumber lain, Yunisar Rusli (38), warga Banda Aceh yang sedang pulang ke Singkil menyebutkan, daratan yang baru tumbuh di antara Pulau Tailana dengan Tambarat (3 mil ke arah utara Desa Haloban) itu kini makin besar ukurannya. Kalau dua hari lalu lingkar tanah tumbuh itu baru 40 meter, kemarin bertambah jadi sekitar 50 meter. Bentuknya tak lagi bulat pipih, melainkan sudah memanjang. “Diperkirakan karena pengaruh arus laut,” kata pegawai Sekretariat Provinsi Aceh ini.

Tinggi daratan tumbuh itu pun, menurut Yunisar, makin menjulang. Jarak puncaknya dengan permukaan air laut tinggal sekitar dua meter saja. Padahal, dua hari lalu masih lima meter. Artinya, dalam 24 jam terakhir, tinggi daratan baru itu bertambah sekitar dua meter, sedangkan lebarnya bertambah sekitar sepuluh meter.

Info lain yang dikutip Yunisar dari sepupunya di Pulau Tuangku (nama lain Haloban) bahwa material yang menyembur dari puncak “gunung tumbuh” itu bukan cuma lumpur dan batuan hitam, tapi juga benda mirip batu tapi sangat mengkilap. Sebagian lumpur yang menyembur itu akhirnya mengeras, membentuk kristal ataupun sedimen di lereng maupun di dasar “gunung tumbuh” itu.

Selain itu, di sekitar lokasi semburan ikan mulai menghilang, diduga sedang menjauh. Namun, belum terlihat bangkai ikan mengapung. Begitupun, seperti kata Yunisar, sudah sangat banyak warga Pulau Banyak, terutama di Pulau Tuangku yang ingin mengungsi ke Singkil. Taufik, anggota DPRK Aceh Singkil, Kamis (15/4) pagi mengatakan, keresahan warga cukup beralasan. Pasalnya, semburan lumpur disertai batu kerikil itu menyebabkan air laut di atasnya seperti mendidih.

Dia mengimbau tim ahli agar segera turun melakukan penelitian. “Jika berbahaya, maka warga akan segera mengungsi ke daratan Singkil. Soalnya saat ini muncul berbagai spekulasi bahwa batu yang ke luar itu merupakan batu bara atau tembaga, di samping ada juga yang menduga fenomena ini merupakan pertanda gunung hendak meletus,” kata Taufik yang juga warga Haloban.

Wartawan Serambi sejak pukul 10.30 WIB kemarin berupaya naik boat menuju lokasi kejadian, sekitar 30 mil laut dari ibu kota Aceh Singkil. Namun, upaya itu gagal lantaran terkendala cuaca buruk, berupa ombak besar yang disebabkan angin barat. Boat nelayan yang ditumpangi Serambi hanya mampu mencapai Ujung Berok, sekitar satu jam perjalanan mengarungi laut dari Singkil.

“Kalau dipaksakan bisa, tapi khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada boat kita,” kata nakhoda boat KM Sejahtera, Masran. Dilaporkan juga bahwa mulai kemarin malam, penduduk Desa Haloban mulai ronda malam secara massal. “Ronda ini tetap dilakukan sampai ada kepastian bahwa kemunculan gunung di bawah laut ini tidak berbahaya bagi masyarakat,” ujar Ali Hasmi, Sekretaris Desa Haloban. Sebagaimana diberitakan kemarin, seminggu pascagempa 7,2 SR mengguncang Aceh, 7 April 2010, masyarakat Pulau Banyak, dikejutkan dengan fenomena alam berupa munculnya daratan baru sekitar tiga mil dari Haloban yang menyebabkan pendangkalan laut. Peristiwa itu pertama kali diketahui Rusalan (42), warga Haloban yang hendak memancing, Kamis (13/4) sore.

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Daerah Aceh, Ir Faizal Adriansyah MSi mengimbau agar Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh segera melakukan penelitian terhadap fenomena alam yang untuk Aceh tergolong langka ini. Faizal menyatakan, gempa dapat menimbulkan gelombang getaran yang merambat pada permukaan bumi, sehingga bangunan rusak dan hancur. Gempa juga bisa memantik tsunami atau menimbulkan pelulukan tanah dan batuan (liquifaction) serta gerakan tanah/longsor.

Di samping itu, gempa bisa pula memunculkan lumpur atau mata air akibat terpotongnya aquifer (akifer) air tanah. Akifer adalah cebakan air tanah di dalam pori-pori batuan. Ibarat air yang tersimpan di dalam spon, kalau sponnya tertekan maka airnya muncrat ke luar. “Mungkin yang terjadi di Singkil itu, salah satu dari fenomena tersebut. Tapi untuk memastikannya harus ada tim ahli geologi yang melakukan survei dan penelitian ke sana,” rekom Faizal.

Ia tambahkan bahwa dalam kaitannya dengan sumber daya mineral akibat gempa, tidak mustahil dapat saja terjadi reposisi cebakan minyak dan gas bumi ataupun mineralisasi bahan galian tambang lainnya. “Hal ini sesungguhnya sangat menarik jadi bahan kajian para ahli,” ujar Faizal seraya menimpali bahwa sesungguhnya Aceh dapat menjadi laboratorium alam dunia dalam bidang keilmuan.

Bahwa gempa bumi bisa mereposisi hidrokarbon, kata Faisal, bisa dirujuk pada hasil temuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terkait potensi hidro karbon (migas) di perairan Pulau Simeulue pascagempa 26 Desember 2004.

Sama dengan Tasik
DR Ridwan Jamaluddin dari BPPT mengatakan kepada Serambi di Banda Aceh kemarin bahwa fenomena yang terjadi di Pulau Banyak itu sama persis dengan yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat. Semburan lumpur dan kerikil gunung itu juga terjadi pascagempa bumi yang terjadi di selatan Jawa Barat pada 2 September 2009.

Semburan lumpur pascagempa, kata Ridwan, disebabkan adanya gerakan-gerakan di bawah muka bumi yang menimbulkan dampak di bagian lain. Ketika terjadi gempa, ada goncangan-goncangan yang menyebabkan perubahan tekanan, lalu kemudian mendorong material yang tadinya di bawah permukaan bumi muncul ke permukaan laut.

Menurutnya, BPPT akan mencari tahu apakah semburan itu ada gasnya. Kalaupun ada, mudah-mudahan tidak membahayakan. Pendangkalan laut dari 20 menjadi 5 meter di tempat kejadian, dia nilai unik. Untuk itu, BPPT sedang menggerakkan kapal dari Jakarta ke Aceh. “Jika ini mendesak, kami akan dekatkan kapal ke tempat semburan untuk melihat apakah ada deformasi di bawah laut akibat gempat 7 April lalu itu,” kata Ridwan yang sedang berada di Banda Aceh menghadiri Konferensi Internasional Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System di Hotel Hermes, 14-16 April 2010.

Tiga pulau hilang

Ridwan mengaku baru menerima sms dari temannya yang mengabarkan tiga pulau hilang di Pulau Banyak, Aceh Singkil. Yakni Pulau Malelo, Pulau Jawi-Jawi, dan Gosong Sianje. Menurutnya, mungkin saja itu terjadi, karena setelah gempa biasanya terjadi deformasi secara signifikan. Hilangnya ketiga pulau itu, menurut dugaannya, bukan hilang sama sekali, melainkan hanya hilang beberapa centi atau beberapa meter di bawah permukaan laut.