ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM AKIBAT KORUPSI

1. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan salah satu isu yang paling rumit sepanjang sejarah kehidupan manusia. Dari berbagai aspeknya, terbukti bahwa korupsi adalah fenomena yang memberikan implikasi negatif terhadap kehidupan manusia, baik di negara telah maju maupun di negara sedang berkembang.[1] Isu korupsi mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan sosial berbagai bidang, baik sosiolog, pakar politik, legislator, ekonom dan lain-lain. Bahkan institusi dan organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetary Fund (IMF), The United Nations Development Program (UNDP), dan agensi-agensi khusus anti korupsi tingkat international maupun lokal seperti Transparency International (TI) yang berpusat di Berlin, The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), dan Indonesian Coruption Watch (ICW). Mereka memberikan perhatian khusus terhadap isu korupsi, baik secara teori maupun aspek teknik penanggulangan dan pemecahannya.

Semua masyarakat manusia dibelahan bumi manapun mencela korupsi. Agama-agama besar dunia pun mengutuk korupsi, tidak terkecuali agama Islam. Dalam artikel ini akan dianalisis korupsi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya dari perspektif ekonomi Islam.

2. KORUPSI: MAKNA, KARAKTERISTIK, BENTUK DAN AKIBATNYA

2.1. Pengertian dan Karakteristik Korupsi

Definisi korupsi sangat beragam, tergantung pada latar belakang disiplin ilmu orang yang mendefinisikannya. Oleh karena itu, definisi korupsi manurut sosiolog, ilmuwan politik, ekonom, ilmuwan hukum, birokrat dan lain-lain bisa berbeda. Mereka mempunyai sudut pandang tersendiri dalam mendefinisikan korupsi, sesuai dengan bidang masing-masing. Uniknya, tidak semua ensiklopedi maupun kamus yang dianggap sebagai referensi utama oleh berbagai kalangan tidak mencantumkan entri corruption.[2]

The Encyclopedia Americana mendefinisikan korupsi sebagai “a general term for the misuse of public position of trust for private gain. Its specific definition and application vary according to time, place and culture…political corruption concerns the illegal pursuit or misuse of public office”.[3] Sedangkan The Harper Collin Dictionary of Sociology mendefinisikan korupsi sebagai “the abandonment of expected standards of behavior by those in authority for the sake of unsanctional personal advantage”.[4] Menurut Bank Dunia, korupsi adalah “the abuse of public power for private benefit”.[5] Dari aspek hukum, korupsi merupakan “all illegal or unethical use of governmental authority as result of considerations of personal or political gain”.[6]

Dari paparan tersebut di atas, dapat ditarik benang merah yang jelas, bahwa dalam korupsi terdapat dua unsur utama, yaitu:
(1) penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara
(2), mengutamakan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Dengan demikian, korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah. Dalam konteks ini termasuklah perilaku penyogokan atau penyuapan, memberikan upah tertentu untuk melindungi diri dari hukum, nepotisme, dan lain-lain.[7]

Tidak diragukan bahwa korupsi dalam berbagai bentuk dan macamnya, dalam arti luas, ada di manapun negara di bumi ini.[8] Menurut Alatas, karakteristik korupsi adalah sebagai berikut:

(1). Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang.
(2) Secara keseluruhan, korupsi melibatkan rahasia di antara mereka yang terlibat.
(3) Korupsi mempunyai unsur tanggung jawab bersama dan keuntungan bersama.
(4) Pelaku korupsi biasanya berusaha mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi dengan hukum.
(5). Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan tersebut.
(6). Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat.
(7). Korupsi melibatkan kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang jabatan publik dan sebagai individu.
(8). Korupsi mengutamakan kepentingan diri sendiri dan mengabaikan kewajiban tugas.[9]

2.2. Bentuk Korupsi dan Sebab Terjadinya Korupsi

Bentuk-bentuk korupsi adalah seperti berikut:

1. Penyuapan atau penyogokan

Bentuk korupsi ini merupakan yang terbanyak. Bahkan kebanyakan masyarakat menganggapnya sinonim dengan korupsi itu sendiri. Penyuapan adalah “any valuable thing given or promised, or any preferment, advantage, privelege or emolument, given or promised corruptly and against law as an inducement to any person acting in official or public capacity to violate or forbear for his duty, or to improperly influence his behavior in the performance of his duty”.[10]

Bentuk pembayaran penyuapan bisa berupa uang cash, hadiah barang kekayaan (emas perhiasan, jam, lukisan, free samples, dan lain-lain), hadiah berupa pelayanan (services) (penggunaan mobil, tiket pesawat terbang, mencarikan tempat tinggal, membayar bil rumah, dan lain-lain), pembayaran biaya jalan-jalan dan berhibur, menyediakan beasiswa untuk anak atau saudara pihak yang disuap dan lain-lain. Walaupun penyuapan ini dianggap sebagai kriminal oleh berbagai peraturan perundangan di seluruh dunia, tetapi ia berkembang sangat luas, terutama di birokrasi negara sedang berkembang, sehingga seakan-akan menjadi kepercayaan bahwa orang dapat membeli apa saja yang ia mau dan ia suka dengan uang (suap).[11]

2. Nepotisme, kronisme dan favoritism.

Ini merupakan bentuk korupsi utama yang merajalela di negara belum berkembang dan sedang berkembang. Nepotisme adalah “the practice among people with power or influence of favoring their own relatives, especially by giving them jobs”.[12] Alatas mendefinisikannya dengan “a term that refers to the appointment of relatives or friends to positions for which they are not qualified, thereby injuring the interest of institution and those who are qualified”.[13] Memberikan pekerjaan kepada teman atau saudara yang memenuhi kualifikasi pun juga bisa dianggap sebagai nepotisme, walaupun dari segi manajemen tidak besar resikonya bagi birokrasi institusi berkenaan daripada memberikannya kepada yang tidak memenuhi kualifikasi. Sebenarnya nepotisme tidak terbatas hanya pada pemberian pekerjaan saja, tetapi meliputi semua bentuk transaksi dalam hal urusan publik yang didasarkan pada unsur perasaan (sentiments) dan kesukaan daripada faktor hukum dan perundangan.[14]

3. Penggelapan, kecurangan/penipuan, dan pemerasan

Bentuk korupsi ini biasanya hanya melibatkan individu itu sendiri, tidak melibatkan sesama pegawai atau antara pegawai dengan klien. Pelakunya biasanya orang yang berkedudukan tinggi atau cukup tinggi dan berkekuasaan seperti bos, presiden, perdana menteri, rektor perguruan tinggi, dekan, dan lain-lain. Biasanya untuk menutupi perbuatan korupnya, si pelaku menggunakan bentuk korupsi yang lain yaitu penyuapan atau nepotisme agar tindakan korupnya tidak diketahui pihak luar. Si pelaku menggunakan kekayaan publik untuk memperkaya diri sendiri, misalnya menggunakan fasilitas kantor seperti mobil, komputer, telepon, fax, mesin foto kopi dan lain-lain untuk kepentingan pribadi. Bentuk lain misalnya melebihkan budget kantor, membeli peralatan kantor (furniture, mesin, kendaraan, meja, dan lain-lain) yang tidak perlu, atau memungut pajak untuk dimasukkan ke kantong sendiri dan lain-lain.[15]

Berbicara tentang sebab terjadinya korupsi, banyak faktor yang perlu mendapat perhatian. Kejahatan korupsi tidak sekonyong-konyong muncul, tetapi ada sebab-sebab yang melatarinya, karena pada hakikatnya manusia dilahirkan tidak dalam keadaan korupsi.[16] Adapun sebab-sebab utama terjadinya korupsi dapat diringkaskan sebagai berikut[17]:
(1) Ingin hidup mewah dan bermegah-megah.
(2) Kurangnya penghayatan terhadap nilai-nalai agama dan moral.
(3) Kelemahan peraturan atau sistem kerja.
(4) Sosial dan kebudayaan[18]
(5) Kekuasaan politik. Lord Acton berkata: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, seperti dikutip oleh K.A Abbas.[19]
(6) Birokrasi yang berliku dan panjang. Walaupun tidak selalu menjadi faktor penentu tetapi paling tidak dengan birokrasi yang panjang semakin memungkinkan korupsi.[20]
(8) Gaji yang diterima tidak mampu menutupi kebutuhan biaya hidup.

2.3. Akibat-akibat Korupsi

Korupsi berakibat sangat berbahaya begi kehidupan manusia, baik aspek kehidupan sosial, politik, birokrasi, ekonomi,[21] dan individu. Bahaya korupsi bagi kehidupan diibaratkan bahwa korupsi adalah seperti kanker dalam darah, sehingga si empunya badan harus selalu melakukan “cuci darah” terus menerus jika ia menginginkan dapat hidup terus.[22] Secara aksiomatik, akibat korupsi dapat dijelaskan seperti berikut:

a. Bahaya korupsi terhadap masyarakat dan individu.

Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness.[23] Tidak akan ada kerjasama dan persaudaraan yang tulus.

Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara[24] dan dukungan teoritik oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadilan sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain.[25]

Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.[26] Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berfikir tentang dirinya sendiri semata-mata.[27] Jika suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

b. Bahaya korupsi terhadap generasi muda.

Salah satu efek negatif yang paling berbahaya dari korupsi pada jangka panjang adalah rusaknya generasi muda. Dalam masyarakat yang korupsi telah menjadi makanan sehari-harinya, anak tumbuh dengan pribadi antisosial, selanjutnya generasi muda akan menganggap bahwa korupsi sebagai hal biasa (atau bahkan budayanya), sehingga perkembangan pribadinya menjadi terbiasa dengan sifat tidak jujur dan tidak bertanggungjawab.[28] Jika generasi muda suatu bangsa keadaannya seperti itu, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan bangsa tersebut.

c. Bahaya korupsi terhadap politik.

Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimipin tersebut, akibatnya mereka tidak akan akan patuh dan tunduk pada otoritas mereka.[29] Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang, kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain-lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter)[30] atau menyebarkan korupsi lebih luas lagi di masyarakat.[31]

Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.[32]

d. Ekonomi

Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa.[33] Jika suatu projek ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme dalam penunjukan pelaksana projek, penggelepan dalam pelaksanaannya dan lain-lain bentuk korupsi dalam projek), maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dari projek tersebut tidak akan tercapai.[34]

Penelitian empirik oleh Transparency International menunjukkan bahwa korupsi juga mengakibatkan berkurangnya investasi dari modal dalam negeri maupun luar negeri, karena para investor akan berfikir dua kali ganda untuk membayar biaya yang lebih tinggi dari semestinya dalam berinvestasi (seperti untuk penyuapan pejabat agar dapat izin, biaya keamanan kepada pihak keamaanan agar investasinya aman dan lain-lain biaya yang tidak perlu). Sejak tahun 1997, investor dari negara-negera maju (Amerika, Inggris dan lain-lain) cenderung lebih suka menginvestasikan dananya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara yang tingkat korupsinya kecil.[35]

e. Birokrasi

Korupsi juga menyebabkan tidak efisiennya birokrasi dan meningkatnya biaya administrasi dalam birokrasi. Jika birokrasi telah dikungkungi oleh korupsi dengan berbagai bentuknya, maka prinsip dasar birokrasi yang rasional, efisien, dan kualifikasi akan tidak pernah terlaksana. Kualitas layanan pasti sangat jelek dan mengecewakan publik. Hanya orang yang berpunya saja yang akan dapat layanan baik karena mampu menyuap.[36] Keadaan ini dapat menyebabkan meluasnya keresahan sosial, ketidaksetaraan sosial dan selanjutnya mungkin kemarahan sosial yang menyebabkan jatuhnya para birokrat.[37]

3. EKONOMI ISLAM

3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[38] Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[39]

Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[40] Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[41] adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.

2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.

3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.

3.2. Tujuan Ekonomi Islam

Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[42] menegaskan yang artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan yang artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”. [43]

Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[44] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[45]

Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[46]

3.3. Metodologi Ekonomi Islam

Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Chaoudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[47]:

1. Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[48]

2. Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.

3. Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.

4. Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.

5. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.

4. ANALISIS KORUPSI DAN AKIBATNYA DARI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Substansi korupsi merupakan suatu tindakan pengkhianatan terhadap amanah, sebagaimana penjelasan di atas, karena pada intinya ia mengandung dua unsur utama yaitu penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum dan pengutamaan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik oleh aparatur negara. Dengan demikian, korupsi ini merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri secara zalim yang bertentangan dengan prinsip dan tujuan ekonomi Islam, karena al-Quran yang merupakan sumber utama doktrin ekonomi Islam menyatakan, yang artinya, “Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia, lakukan secara adil…”. (Terjemahan Q.S. al-Nisa’ (4): 58).

Para aparatur negara, sebelum memegang jabatan tertentu,[49] mereka disumpah setia untuk melaksanakan tugas sesuai dengan amanahnya, akan tetapi ketika mereka melakukan korupsi berarti mereka mungkir terhadap janji mereka sendiri. Tindakan ini bertentangan dengan firman Allah SWT[50] yang artinya, “Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban”. (Terjemahan Q.S. al-Isra’ (17): 34).

Dua ayat tersebut secara gamblang memerintahkan untuk melaksanakan amanah, memenuhi janji dan berlaku adil. Pengkhianatan terhadap suatu amanah dan janji merupakan satu kesalahan yang bisa dituntut di pengadilan. Ini artinya pelaksanaan amanah dan pemenuhan janji merupakan ajaran yang sangat penting dalam ekonomi Islam.

Dalam rangka pelaksanaan amanat oleh penguasa, Al-Quran memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan amanat itu. Hal ini tertuang dalam Q.S. Al-‘Asr: 3 yang memerintahkan untuk saling menasehati dalam menegakkan kebenaran. Implikasi konkrit dari prinsip ini, rakyat bebas melakukan pengawasan terhadap penguasa yang diwujudkan dalam bentuk kritik, nasehat dan lain-lain. Fungsi pengawasan ini terbuka untuk siapa saja yang mau dan mampu memberikan kritik dan saran pada penguasa. Tersedianya ruang bagi publik untuk terlibat dalam politik secara aktif semacam ini merupakan ciri dari masyarakat yang diprofilkan al-Quran.[51]

Bahkan Al-Quran juga menyatakan bahwa kehancuran suatu masyarakat (akibat dari perilaku jahat dan zalim individu di dalamnya seperti korupsi dan lain-lain) tidak hanya akan menimpa kepada orang-orang yang berbuat zalim, tetapi juga akan menimpa seluruh individu dalam masyarakat itu. (Q.S. 8: 25). Dengan demikian membiarkan sebagian anggota masyarakat melakukan korupsi, sama artinya menggali jurang kebinasaan bagi mereka semua.

Korupsi yang dilakukan oleh para aparatur negara dalam pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan di atas, memberikan efek negatif terhadap perkembangan politik, birokrasi, ekonomi dan bahkan masyarakat dan individu. Hal ini menunjukkan sikap tidak bertanggungjawabnya pemerintahan korup tersebut terhadap tugas dan kewajibannya sebagai aparatur negara. Padahal dalam perspektif ekonomi Islam, negara memiliki tugas dan fungsi yang luas, di antaranya adalah tugas dan fungsi dalam bidang ekonomi, yaitu mengkurangkan kemiskinan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan, menciptakan keadilan sosio-ekonomi, menjaga stabilitas keuangan, menegakkan hukum dan peraturan dan lain-lain.[52]

Al-Quran, salah satu sumber hukum utama ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi yang menumbuhkembangkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism[53] dalam masyarakat, menjadikan masyarakat itu bertentangan secara diametral dengan profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran[54] yaitu masyarakat yang bercirikan: (1). Tauhidullah/mengesakan Allah (Q.S. 112: 1-4) (2). Diliputi Ukhuwah/persaudaraan (Q.S. 49:10) (3). Musawah/persamaan (Q.S. 49:13) (4). Bersatu dalam ikatan tali Allah (Q.S. 3:103) (5). Tolong-menolong (Q.S. 5:2) (6). Berkeadilan (Q.S. 6:152) (7). Musyawarah (Q.S. 42: 38) (8). Ada tangungjawab sosial (Q.S. 3:104) (9). Berlomba dalam kebajikan (Q.S. 5:48) (10). Toleransi (Q.S. 109:1-6) (11). Kebebasan (Q.S. 2:256) (12). Berwajah ramah dan anggun (Q.S. 49:10; Q.S. 6:152) (13). Menegakkan dan membela kebenaran (Q.S. 5:35).

Untuk mendukung terwujudnya profil masyarakat yang dikehendaki al-Quran, Islam mempunyai institusi sosial security yaitu zakat,[55] ia berfungsi sebagai salah satu media untuk distribusi keadilan sosio-ekonomi[56] dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan orang miskin.[57] Bentuk sosial security yang diperankan oleh zakat adalah dengan menyediakan bantuan material kepada orang miskin dan pihak yang membutuhkan lain (asnaf delapan). Bentuk lainnya adalah dengan menyediakan bantuan material kepada anak yatim piatu, janda, orang tua dan lain-lain. Di samping itu, zakat juga berperan sebagai ekspresi persaudaraan, goodwill, kerjasama dan sikap toleran dalam masyarakat.[58]

Dalam termonologi al-Quran, korupsi dipersamakan dengan fasad dalam maknanya yang luas dan umum. Kata fasad dan derivasinya, diulang 47 kali dalam Al-Quran, dan 82 kali dalam hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah urus, anarki, ketidakadilan dengan berbagai bentuknya, penyia-nyiaan, penyimpangan moral, keburukan, kejahatan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, dan segala bentuk perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Al-Quran dalam menjelaskan korupsi (fasad) biasanya bersifat umum, walau ada juga yang khusus, seperti ketika al-Quran melarang semua transaksi yang melibatkan penyuapan di dalamnya (Q.S. 2: 188). Sedangkan hadis Nabi lebih bersifat khusus, di antaranya disebutkan kata rasywah yang berarti penyuapan. Menurut hadis pelaku dan penerima rasywah adalah sama-sama di neraka.[59]

Al-Quran juga mendorong upaya penegakan hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan (Q.S. 4: 135). Keadilan merupakan unsur penting dalam materi hukum dan penegakan hukum sehingga tidak heran kalau Al-Quran menekankan agar keadilan itu tetap ditegakkan walaupun pada kerabat, bahkan kepada diri sendiri (Q.S. 6: 152). Al-Quran memandang supremasi hukum harus betul-betul ditegakkan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan harus ditegakkan di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun. Bahkan, jika perlu dengan tindakan tegas (Q.S. 2: 286).

Dalam sejarah Islam kita mendapati fenomena bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membedakan antara “orang atas”, “orang bawah”, atau keluarganya sendiri dalam menegakkan hukum, karena beliau memandang bahwa penegakan hukum merupakan sesuatu yang sangat urgen dan signifikan dalam menjaga stabilitas suatu bangsa. Oleh karenanya beliau pernah bersabda bahwa kehancuran suatu bangsa di masa lalu adalah karena, jika “orang atas” berbuat kejahatan dibiarkan saja, sementara kalau “orang bawah” berbuat kejahatan pasti dihukum. Bahkan dalam hadis itu, Nabi juga menegaskan bahwa kalau andai saja yang berbuat kejahatan (mencuri) itu adalah Fatimah (puterinya tercinta), pasti akan dipotong tangannya.[60]

Untuk memperbaiki masyarakat yang telah dirasuki korupsi, al-Quran memperkenalkan konsep al-amru bi al-ma‘ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat serius memperhatikan masalah kehidupan moral (akhlak) manusia dalam masyarakat.[61] Anwar Harjono menilai bahwa konsep amar ma‘ruf nahi munkar merupakan kewajiban asasi yang dinyatakan secara eksplisit oleh Al-Quran.[62] Kuntowijoyo[63] menyatakan bahwa cita-cita penegakan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kerangka keimanan merupakan akar semangat transformasi sosial secara terus menerus.

Oleh karena itu, semua pihak harus mengambil peranan untuk memberantas korupsi. Misalnya, pemerintah memiliki peran yang strategis, yaitu dengan membuat peraturan antikorupsi, memperbanyak lembaga antikorupsi, penegakan hukum, dan pemberian gaji yang cukup kepada pegawai. Institusi keagamaan harus lebih proaktif dan efektif dalam menyadarkan umatnya tentang larangan korupsi dalam agama dan hukumannya yang berat di akhirat. Media massa berperan dalam menggiring opini publik untuk memerangi korupsi serta mendidik publik untuk menjauhi korupsi. NGO memobilisasi opini publik untuk melawan korupsi. Lembaga pendidikan memberikan penyadaran pada generasi muda tentang bahaya korupsi bagi kehidupan manusia. Masyarakat berkomitmen untuk memilih pemimpin yang bersih dan mengawasi pemerintahan dari praktek korupsi.

5. PENUTUP

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa korupsi membawa efek negatif yang sangat membahayakan bagi masyarakat, individu, perkembangan politik, birokrasi, dan perkembangan generasi muda. Ekonomi Islam, memandang bahwa korupsi merupakan tindakan pengkhianatan terhadap amanah yang harus dieliminir bersama-sama, karena korupsi adalah musuh bersama yang membasminya harus dengan peran semua pihak. Sebagai spirit untuk memberantas korupsi, perlu diingat firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka”. (Q.S. 13: 11).[64]

DAFTAR PUSTAKA MAKALAH ANALISIS PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM AKIBAT KORUPSI

Al-Qur’an al-Karim

Abbas, K.A (1975), “The Cancer of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Abdul Aziz, Tunku (2005), Fighting Corruption: My Mission, Kuala Lumpur: Konrad Adenauer Foundation.

AbulHasan M. Sadeq (1992), “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.

Ahmad, Khursid (1992) dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.

Ahmad Syafi’i Ma’arif (1996), Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES.

Alatas, Syed Hussein (1975), The Sociology of Corruption, ed. 2, Singapore: Delta Orient Pte. Ltd.

_________________ (1995), Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

_________________ (1999), Corruption and The Destiny of Asia, Kuala Lumpur: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. dan Simon & Schuster (Asia) Pte.Ltd.

Al-Syatibi (t.t.), al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.

Anwar Harjono (1997), Perjalanan Politik Bangsa, Jakarta: Gema Insani Press.

B. Soedarso (1969), Korupsi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Bhratara Jakarta.

Blacks’ Law Dictionary (1968), ed. 3, St. Paul: Mint West.

Chalmers, David M. (1990), The Encyclopedia Americana, Vol. 8, International Edition, USA: Grolier Incorporated.

Chapra, M. Umer (1995), Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.

Deliar Noor, “Etika Politik dalam Negara Demokrasi”, dalam Jurnal UNISIA, No. 35 / XX / III / 1997

Emil Salim (1994), “Mungkinkah Ada Demokrasi di Indonesia”, dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, Jakarta: Yayasan Paramadina

Fethi Ben Jomaa Ahmed (2003), “Corruption: A Sociological Interpretative Study with Special Reference to Selected Southeast Asian Case”, Disertasi Doktor Philosophy, Department of Antropology and Sociology, Faculty of Arts and Sosial Sciences, University of Malaya, Kuala Lumpur.

Green, David Jay (2004), “Investment Behavior and The Economic Crisis in Indonesia”, Journal of Asian Economics, Vol. 15, No. 2, April 2004, New Brunswick: Rutger University, Elsevier Group.

Jary, David Jary and Julia (1991), The Harper Collin Dictionary of Sociology, USA: Harper Collins Publishers.

Joni Tamkin Bin Borhan (2002), “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

___________________ (2002), “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.

Kahf, Monzer (1989), “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

___________ (1991), “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Khan, Muhammad Akram (1989), “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.

____________ (1994), An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan.

Kohli, Suresh (1975), “The Psychology of Corruption”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Kuntowijoyo (1994), Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan.

Lambsdorff, Johan Graf (1999), Corruption in Empirical Research: A Review, Transparency International Working Paper, November 1999.

M. B. Hendrie Anto (2003), Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA

Mahathir Mohamad (1986), The Challenge, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication Sdn. Bhd.

Maksun (1998), “Paradigma ‘Civil Society’ yang Profetik”, dalam Media Indonesia, Jakarta, 11 September 1998.

Mannan, M. Abdul (1986), Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd.

Mohammad Daud Ali (1988), Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Mohd. Ma’sum Billah (2003), Institution of Zakat and The Modern Sosial Security System, ed. 2, Petaling Jaya: Ilmiah Publishers.

Myrdal, Gunnar (1978), “Corruption, Its Cause and Effects”, dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Readings in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.

Nik Mustapha Hj. Nik Hassan (1991), “Zakat in Malaysia: Present and Future Status”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Nomani, Farhad dan Ali Rahnema (1994), Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd.

Nurcholish Madjid (1998), “Konsep Pengertian Akhlak Bangsa”, dalam TIM KAHMI JAYA, Indonesia di Simpang Jalan, Bandung: Mizan.

Nye, J. S. (1978), “Corruption and Political Development: A Cost Benefit Analysis” dalam Arnold J. Heidenheimer (ed.), Political Corruption: Reading in Comparative Analysis, ed. 2, New Jersey: Transaction Books.

Palmier, Leslie (2003), “Corruption in Context”, dalam John Kidd et al. (eds.), Fighting Corruption in Asia, Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

Pincus, Jonathan R. dan Rizal Ramli (2004), “Deepening or Hollowing Out? Financial Liberation, Accumulation and Indonesia’s Economic Crisis”, dalam K.S. Jomo (ed.), After the Storm; Crisis, Recovery and Sustaining Development in Four Asian Economics, Singapore: Singapore University Press.

Qaradawi, Yusuf al- (1973), Fiqh al-Zakah, ed. 2, Beirut: Muassasah al-Risalah.

________________ (1998), al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.

Quraish Shihab (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan.

Rahman, Afzalur (1979), Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust.

Rauch, Gerald M. Meier dan James E. (2005), Leading Issues in Economic Development, ed. 8, Oxford: Oxford University Press.

Sashi, M.P (2000), Crime and Corruption in Digital Age, Delhi: Authorpress.

Scott, James C. (1972), Comparative Political Corruption, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah (1991), “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.

Singh, Khushwant (1975), “Are We a Corrupt People?”, dalam Suresh Kohli (ed.), Corruption in India, New Delhi: Chetana Publications.

Sukardi Rinakit (2005), The Indonesian Military After The New Order, Copenhagen S, Denmark: NIAS Press.

Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. (2005), Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.

The Oxford Advanced Learners Dictionary (1989), ed. 4, Oxford: Oxford University Press.

The World Bank Report (1997), Helping Countries Combat Corruption: The Role of World Bank.

Theobald, Robin (1990), Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan Press Ltd.

Zarqa’, Anas (1989), “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications