SYEH PUJI MADE IN LAMPUNG

SYEH PUJI MADE IN LAMPUNG, Ternyata paham “Syeh Puji”-isme sudah menyebar sampai ke daratan Lampung. Mbah Katimin, 65, yang sudah lanjut usia tega menikahi Dinarti, 16, yang lebih pantas jadi cucunya. Takut kasusnya mencuat macam Syeh Puji dari Semarang, pamong desa hanya mengizinkan keduanya menikah siri saja! Theklek nang krikilan, wis tuwek pethakilan; merupakan sindiran sosioligis masyarakat Jawa bagi para lelaki yang tak tahu diri.


Usia sudah mulai dilirak-lirik malaikat Izroil, masih juga memanjakan syahwat hingga lupa urusan akhirat. Jika obyek sasaran tembaknya telah berusia kepala 5, itu masih mending. Tapi yang banyak terjadi, para tua keladi ini justru memilih para gadis ABG. Padahal, senjata Kiai Senggol Modod milik para kakek ini belum tentu berfungsi normal dalam tugas pengabdiannya. Ini yang sedang terjadi di Desa Sri Gading, Labuhan Maringgai (Lampung). Gadis Dinarti yang berusia 3 Pelita lebih sedikit, dinikahi Mbah Katimin, warga Dusun VIII masih desa yang sama. Penduduk pun heboh, mereka jadi ingat pada kasus Syeh Puji dari Semarang

Ternyata kondisi si embah juga mirip-mirip, dia jenggotan dan rambutnya tinggal satu-dua macam rambutan rafia. Bagi penggemar wayang kulit, kelakuan Mbah Katimin ini jadi mengingatkan pada Begawan Wisrawa yang menikahi Dewi Sukesi dari Alengkadiraja. Kakek Katimin memang lumayan kaya di desanya. Dia telah beristri dan beranak cucu. Namun sayang, mbah putri dalam usia nyaris udzur rupanya sudah tak mampu lagi mengimbangi sepakterjang “keris” Kyai Senggol Modod milik suaminya. Maklumlah, pusaka andalan ini memang sangat dikeramatkan oleh Mbah Katimin. Bukan saja di bulan Suro, tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon Kayi Senggol Modod selalu diwarangi (dimandikan) dengan jeruk nipis dan kembang tujuh rupa!

Adalah gadis Dinarti, yang selama ini sering bantu-bantu di rumah Mbah Katimin. Diam-diam rupanya dia menyimpan hasrat terpendam yang menyala-nyala pada si ABG. Dan sekali waktu, dengan rayuan maut macam Pendita Durna terhadap Srikandi, Mbah Katimin berhasil menggauli gadis yang lebih cocok jadi cucunya tersebut. “Ja kandha-kandha (jangan bilang-bilang) siapa saja ya, nih duit Rp 20.000,- buat beli jajan,” kata Mbah Katimin setelah “entuk-entukan” kala itu.

Hanya dalam tempo 4 bulan setelah kejadian terkutuk itu, tahu-tahu dikabarkan bahwa Dinarti mengandung 3 bulan. Sigadis ngoceh bla-bla-bla, dan Mbah Katimin pun tak bisa bersembunyi lagi di balik lembaran uang Rp 20.000,-an. Sebetulnya kelaurga Dinarti tak rela punya mantu yang lebih tua dari mertua. Tapi daripada putrinya malah hamil nganggur, terpaksalah si kakek dipaksa untuk bertanggunjawab atas kehamilan sang ABG. Sebagai kakek yang bertanggungjawab, Mbah Katimin setuja-setuju saja menjadi suami Dinarti. Bahkan dia siap menyeponsori perkawinan itu dengan pesta meriah. Tapi pamong desa yang tak setuju.

Takut masalahnya jadi berpanjang-panjang macam Syeh Puji dari Semarang, keduanya hanya dibolehkan menikah secara siji saja. “Yang penting mbah, ibarat kendaraan Honda sampeyan sudah sah dan halal untuk dicemplak kapan saja,” kata pamong. Akhirnya, hanya disaksikan keluarga terdekat Dinarti menikah siri melawan Mbah Katimin. Sepertinya dia juga sangat berbahagia dengan perkawinan darurat itu. Paling tidak, kini suami barunya telah membelikan Dinarti rumah dan tanah luas. Di rumah barunya tersebut, Mbah Katimin terus mengaktifkan pusaka Kyai Senggol Modod miliknya, entah sampai kapan.