Pakar Bisnis Online Pengalaman Patah Hati Jadi Peluang Bisnis: Di tangan orang kreatif, pengalaman sepahit apa pun bisa bermanfaat. Setidaknya, itulah yang dilakukan oleh Affandi Abdul Rachman, sutradara film layar lebar. Patah hati yang menderanya kala muda mengilhaminya untuk membuka konseling online, Heart-Break.com. Gambaran patah hati terpampang jelas di halaman depan Heart-Break.com. Sepotong hati berantakan ditabrak papan nama situs itu. Tulisan semacam moto tertera di bawahnya: Patah Hati Anda, Bisnis Kita.
Situs tersebut tak beda dengan situs-situs populer umumnya. Hanya, di situ terdapat ruang konsultasi patah hati yang diasuh konselor. Bukan hanya patah hati karena putus dengan pacar, tapi bisa juga masalah dengan keluarga, sahabat, dan pekerjaan.
"Ada yang patah hati karena kehilangan profesi. Ada juga seorang anak yang tak bisa memenuhi kemauan ayahnya. Si anak sudah berusaha semampunya, sudah berprestasi. Tapi, di mata si ayah, dia selalu saja kurang. Masih banyak jenis patah hati lainnya," papar Affandi, sutradara film yang juga pemilik situs itu. Siapa pun yang berkonsultasi tidak dipungut biaya. "Pendapatan bisnis itu hanya kami peroleh dari pemasang iklan," papar dia.
Beragam masalah yang dikonsultasikan merupakan bahan menarik untuk sebuah film. Namun, tentu saja Fandi--panggilan akrab Affandi- tidak mencomot begitu saja cerita tersebut, lalu memindahkannya ke layar lebar. "Nggak. Itu nggak fair (baca:cukup)," tegasnya. "Saya harus menyaring cerita sesuai dengan keperluan. Mungkin cerita tersebut bisa jadi referensi untuk pengembangan ide," lanjutnya.
Dia mencontohkan kisah salah seorang yang berkonsultasi. Ada pasangan kekasih yang sudah cukup lama menjalin cinta. Suatu hari, keduanya berkunjung ke rumah keluarga si wanita. Di situ, si pria baru tahu bahwa kekasihnya ternyata korban pemerkosaan yang kabur dari rumah. "Miris sekali saya membacanya," tutur Fandi pelan.
Melalui situs itu, Fandi bekerja sama dengan psikolog-sebagai konsultan- dan berusaha sekuatnya membantu orang-orang bermasalah tersebut. Dia memang punya pengalaman menjadi konselor di tempat rehabilitasi narkoba. "Helping people merupakan kepuasan tersendiri," papar dia ketika ditemui di salah satu kantornya di daerah Menteng, Jakarta, Senin lalu (10/5). Dia berharap konseling online itu dikenal lebih banyak orang. Dengan begitu, dia bisa membantu lebih banyak orang dalam memecahkan masalah.
Heart-Break.com bukan hanya nama sebuah situs, tapi juga judul film yang dirilis akhir tahun lalu. Sayang, film yang dibintangi Ramon Y. Tungka dan Raihaanun itu ditarik dari peredaran setelah beberapa hari ditayangkan di bioskop. Alasannya, kelemahan kemasan dan promosi.
Produser dan sutradara Heart-Break.com ya Fandi juga. Kini dia menyiapkan pembuatan film berjudul Aku atau Dia. Pria 31 tahun itu memang punya beberapa usaha. Antara lain, rumah produksi film dan bisnis online tersebut. "Semua itu berawal dari pengalaman pribadi saya," ucap dia. Dia lantas mengisahkan perjalanan hidupnya. Ketika duduk di bangku SMA, layaknya anak muda lain, Fandi jatuh cinta kepada seorang gadis. Tapi, di tengah jalan, pacarnya direbut orang.
Meski merasa diperlakukan tidak adil, Fandi berusaha mendekati mantan pacarnya. Sebab, dia masih cinta. Tapi, dia justru makin tidak dipedulikan. "Saya sampai menangis. Patah hati pokoknya. Sakit rasanya," katanya lantas tertawa.
Ayahnya, Amir Abdul Rachman, presiden direktur PT Jakarta Setiabudi International Tbk, tidak tega melihat kondisi anaknya yang mengharukan tersebut. "Ngapain sih, Fan, kamu nangis begitu. Orang nggak akan sadar dengan yang dipunyai sampai dia kehilangan," kata Fandi menirukan ucapan ayahnya kala itu.
Nasihat tersebut membuat Fandi sadar. Dia berhenti mendekati mantan pacarnya. Tapi, dia membuat skenario untuk mengakali orang yang merebut pacarnya.
Berbagai cara dia lakukan. Misalnya, membawa gadis cantik di depan teman-teman mantan pacarnya. "Saya tidak langsung menampakkan diri di depan mantan, tapi di depan temannya. Kan temannya pasti cerita. Itu tujuan saya agar dia penasaran," ucap dia. Padahal, sebenarnya gadis yang dia ajak tersebut sahabatnya.
Bungsu di antara dua bersaudara itu juga berusaha berteman dengan orang yang merebut pacarnya. "Saya baik-baikin. Bikin dia percaya sama saya," terang dia. "Saya bilang, kalau ada apa-apa dengan cewek itu, ngobrol saja sama saya," lanjut dia.
Buntutnya, Fandi sering dijadikan tempat curhat. Pria yang merebut pacarnya itu bahkan sering meminta saran kepadanya. "Meski makan hati, tetap saya kasih saran. Tapi, sarannya disalah-salahin," ungkapnya lantas tertawa. Singkat kata, Fandi bisa kembali mendapatkan pacarnya.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya Desember tahun lalu, pengalaman masa SMA itu berwujud sebuah film dan situs konseling. "Film kan sebenarnya momen penting yang ingin diceritakan kepada orang lain. Bagi saya, itu adalah momen terpenting dalam hidup dan ingin saya ceritakan," terangnya. Sedangkan situs tersebut merupakan proyek jangka panjang yang bisa memberikan keuntungan sekaligus membantu orang melalui konseling online.
Dalam tenggang yang cukup panjang setelah lulus SMA pada 1998, Fandi melanjutkan pendidikan dengan berkuliah di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. "Tapi, tidak selesai. Saya berhenti, kemudian bekerja," papar sutradara Pencarian Terakhir tersebut.
Dia menjadi creative counselor di tempat rehabilitasi narkoba yang didirikannya bersama sang ayah. Di tempat bernama Yayasan Tulus Hati, kampus Salabintana di Sukabumi, Jawa Barat, itu Fandi bertugas membantu pengguna narkoba agar bisa menyalurkan energi untuk hal-hal kreatif.
Di tempat tersebut Fandi belajar banyak hal tentang membantu orang. Meski dari segi finansial tidak menghasilkan, bahkan rugi karena harus menanggung biaya para pasien yang berobat, dia punya kepuasan batin. "Melihat pasien bisa kembali ke rumah dengan bersih, senang sekali rasanya," tutur bapak dua anak itu.
Pada 2001, ayahnya, pemilik beberapa hotel, antara lain Grand Hyatt Bali, Bali Hyatt, Hyatt Regency Jogjakarta, dan Mercure Resort Sanur, meminta Fandi kuliah lagi. Dia terbang ke Amerika Serikat dan mengambil jurusan desain grafis di Santa Monica College.
Di tengah masa kuliah, Fandi terlambat daftar ulang sehingga harus "parkir" tiga bulan sebelum mengikuti kelas selanjutnya. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk belajar tentang film. Dia ikut workshop di New York Film Academy, Universal Studios. "Di tempat tersebut saya menghasilkan film berjudul Paranoid. Itu film pertama saya," papar suami Ayudea Abdul Rachman tersebut.
Tahun berikutnya, dia memilih berkuliah di Columbia College of Hollywood. Bidang film memberinya gairah. "Karena suka pada film, saat kuliah saya jarang bawa buku catatan. Semua yang diajarkan langsung masuk ke otak saya," papar dia. Fandi baru kembali ke tanah air pada 2007 dan langsung terjun di dunia film. Setahun kemudian, Pencarian Terakhir -masuk dalam lima nominasi Indonesia Movie Award 2009- dirilis. Film lain karyanya adalah Phoenix, The Most Professional Set (2006) (sumber Jawa Post)