Hukum Islam Pada Masa Keemasan Dinasti Abbasiyah
Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendali pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasiyah yang berlangsung sekitar 250 tahun sejak akhir abad ke-7 sampai awal abad 10 M. Periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang seluruhnya masih dibuktikan sampai saat ini.[1]
Periode ini merupakan periode keemasan umat Islam, yang ditandai dengan berkembangnya berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, pemikiran ilmu kalam, hukum, tasawuf, teknologi, pemerintahan, arsitektur, dan berbagai kemajuan lainnya. Sejalan dengan berkembangnya pemerintahan Islam sebagai akibat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam ke belahan dunia Barat dan Timur, dari daratan Spanyol (Eropa Barat) sampai perbatasan Cina (di Asia Timur), maka terbentanglah peradaban Islam dari Granada di Spanyol sampai ke New Delhi di India, yang dirintis sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Khalifah Umayyah, dan Khalifah Abbasiyah
Perluasan wilayah ini menyebabkan munculnya masalah-masalah baru yang belum terjadi sebelumnya, sehingga permasalahan yang dihadapi umat Islam pun makin banyak dan kompleks. Keadaan demikian memunculkan tantangan bagi para mujtahid untuk memecahkan hukum masalah-masalah tersebut, dan hasil ijtihad mereka kemudian dibukukan dalam kitab-kitab fiqh (hukum). Karena itu masa ini merupakan masa perkembangan dan pembukuan kitab fiqh, hasil ijtihad para tokoh mujtahidin. Periode ini merupakan puncak lahirnya karya-karya besar dalam berbagai penulisan dan pemikiran, ditandai antara lain dengan lahirnya kitab kumpulan hadits dan fiqh (hukum Islam) dari berbagai madzhab.[2]
A. Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Belum pernah tercatat dalam sejarah perkembangan fiqih sebagaimana terjadi pada periode ini. Kekayaan tsarwah fiqhiyah benar-benar memperlihatkan kedalaman dan orisinalitas yang mengagumkan. Saat itu fiqih menjadi disiplin ilmu tersendiri, mulai dirintis penulisan ushul fiqih (kaidah-kaidah fiqhiyah) dan perumusan metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai oleh para mujtahidin dan fuqaha dalam menyimpulkan hukum-hukum dari sumber fiqih.
Sejarah juga mencatat periode ini sebagai suatu fase dimana fiqih tidak sekedar berputar di sekitar masalah-masalah pengambilan hukum atau fatwa-fatwa fuqaha sahabat, seperti yang menjadi concern fuqaha sebelumnya, tetapi merambah ke dalam persoalan-persoalan metodologis dan kemungkinan pencarian “rumusan alternatif” bagi pengembangan kajian fiqh.
Ada beberapa faktor yang mempunyai andil dalam menghantarkan fiqih menuju era keemasan. Faktor-faktor itu di antaranya :
1. Adanya perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya.
Berbeda dengan Khulafa’ Bani Umayyah yang “memasung” para fuqaha membatasi gerak mereka yang berani menantang kebijaksanaan pemerintah. Khulafa’ Bani Abbas malah mendekati para fuqaha dan meletakkan mereka pada posisi yang terhormat. Perhatian yang begitu besar, misalnya dapat dilihat ketika khalifah Harun al-Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwattha’ kepada kedua putranya, al-Amin dan al-Makmun.
2. Kebebasan berpendapat
Perhatian khulafa’ Bani Abbas yang besar terhadap fiqih dan fuqaha juga tergambar dalam kebebasan berpendapat dan berbagai stimulasi yang diberikan untuk membangkitkan keberanian berijtihad para fuqaha. Pemerintahan Daulah Abbasiyah tidak ikut campur dalam urusan fiqh, misalnya dengan meletakkan peraturan yang mengikat kebebasan berpikir dan tidak pula membatasi madzhab tertentu yang mengikat para hakim, mufti atau ahli fiqh memiliki kebebasan untuk menentukan hukum sesuai dengan metodologi dan kaidah-kaidah ijtihad yang mereka gunakan.
3. Banyaknya fatwa pada periode ini
4. Kodifikasi ilmu[3]
5. Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi
Pada permulaan masa ini, mulailah timbul munadzarah (pertukaran fikiran) dan perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ itu. Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu adalah karena perbedaan paham diantara mereka dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal hadis tidak bersamaan dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, disamping itu juga adalah karena berlainan tempat.[4]
6. Pembukuan fiqh / hukum Islam
Gagasan penulisan hukum-hukum fiqhiyah sebenarnya sudah muncul pada akhir pemerintahan Bani Umayyah, yaitu ketika beberapa ulama mulai menulis fatwa-fatwa diantara syeikh mereka karena khawatir lupa atau hilang. Sejak saat itu inisiatif untuk menulis hukum-hukum syar’iyah terus berkembang. Beberapa fuqaha Madinah mulai mengumpulkan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in seperti Siti Aisyah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas sebagaimana terlihat dalam kitab Muwattha’, karya monumental Imam Malik.[5]
B. Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam. Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal berikut :
1. Banyaknya mawali yang masuk Islam
Sebagian orang yang daerahnya dikuasai umat Islam menjadi penganut agama Islam. Kemudian mereka belajar agama Islam di bawah bimbingan para imam. Di bawah pemerintahan Harun al-Rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, upaya penerjemahan di utamakan pada buku-buku kedokteran, tetapi kemudian dipelajari pula buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat.
2. Berkembangnya pemikiran karena luasnya ilmu pengetahuan
Dalam bidang ilmu kalam terjadi perdebatan, setiap kelompok memiliki cara berfikir tersendiri dalam memahami akidah Islam. Selain itu, saat itu terjadi pula pertarungan pemikiran antara mutakallimin, muhadditsin, dan fuqaha.
3. Adanya upaya umat Islam untuk melestarikan al-Qur’an dengan dua cara, yaitu dicatat (dikumpulkan dalam mushaf) dan dihafal.[6]
Pada periode ini muncul usaha untuk menghimpun hadits Nabi, sebagai acuan dalam penetapan hukum setelah al-Qur’an. Hadits dari usaha tersebut lahirlah kitab-kitab himpunan hadits, terutama enam kitab hadits terkemuka (al-kutub al-sittah), karya ulama penghimpun hadits yaitu :
a. Imam Bukhari (wafat 256 H/870 M)
b. Imam Muslim (wafat 261 H/875 M)
c. Ibn Majah (wafat 273 H/877 M)
d. Abu Dawud (wafat 275 H/889 M)
e. Al-Tirmidzi (wafat 279 H/892 M)
f. Al-Nasa’i (wafat 303 H/915 M).[7]
C. Pembentukan Madzhab-madzhab Fiqh
Dalam masa perkembangan ijtihad banyak para mujtahid ahli sunnah yang menjelaskan/mengkhususkan perhatiannya kepada masalah fiqh. Para mujtahid mencurahkan hampir segala hidup dan kehidupannya untuk mendalami ilmu fiqh. Baik itu untuk mengambil istimbath ilmu fiqh, maupun dalam mengerjakannya.
Tiap-tiap mujtahid senantiasa dikelilingi oleh para siswa yang ingin mempelajari ilmu fiqhnya, ataupun ingin mengajukan persoalan yang mereka hadapi. Para ahli fiqh ini telah banyak mewariskan kumpulan-kumpulan hasil ijtihad mereka. Baik yang tertulis dalam buku-buku fiqh ataupun yang berupa amanat yang senantiasa dipegang teguh oleh para siswa mereka. Kumpulan hasil ijtihad tadi kemudian dikenal dengan aliran-aliran fiqh/al-madzhahibul fiqhiyyah.[8]
Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani (1987: 87-88) menjelaskan bahwa madzhab fiqih Islam yang muncul setelah sahabat dan khabar al-tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan aliran ahlussunnah. Namun tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istimbath hukum. Adapun di antara pendiri 13 itu adalah sebagai berikut :
1. Abu Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H)
3. Al-Auza’i Abu ‘Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad (w. 157 H)
4. Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Al-Laits ibn Sa’d (w. 175 H)
6. Malik ibn Anas al-Bahi
7. Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H)
8. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H)
9. Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H)
10. Daud ibn Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H)
11. Ishaq ibn Rahawaih (w. 238 H)
12. Abu Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H).[9]
Aliran hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini hanya beberapa di antaranya :
1. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi. Nama lengkapnya Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zufiat al-Tamimi yang masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Ali bin Abi Thalib. Lahir di Kufah 80H/699 M pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik. Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu’, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau wafat pada tahun 150 H/767 M pada usia 70 tahun. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Hanafi adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Fatwa-fatwa sahabat
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Urf
2. Imam Malik ibn Anas
Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah :[10]
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma ulama Madinah
d. Fatwa sahabat
e. Qiyas
f. Masalihul mursalah
3. Imam Syafi’i
Nama lengkapnya Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Quraisyi, dilahirkan di Ghazah, pada tahun 150 H. Beliau wafat di Mesir. Kitab-kitabnya hingga kini masih dibaca orang. Murid-muridnya yang terkenal di antaranya adalah : Muhammad bin Abdullah bin al-Ahkam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya al-Muzani. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Syafi’i adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas
e. Istidlal
4. Imam Ahmad Hanbali
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 H/780 M. Imam Ahmad bin Hanbal banyak mempelajari dan meriwayatkan hadits. Dia berhasil menyusun kitab himpunan hadits, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hanbali.
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam/dalil hukum Islam (mashadir al-ahkam, adillat al-ahkam) madzhab Hanbali adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah (hadits shahih)
c. Fatwa para sahabat
d. Hadits yang lemah (dhaif/hasan)
e. Qiyas
5. Imam Ja’far
Nama lengkapnya Imam Ja’far ash-Shaddiq (80-146 H/699-765 M), adalah Ja’far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abiding bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H (699 M). Ja’far al-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti ilmu filsafat, tasawuf, fiqh, kimia dan ilmu kedokteran. Beliau adalah Imam yang keenam dari dua belas Imam dalam madzhab Syi’ah Imamiyah. Di kalangan kaum sufi beliau adalah guru syaikh yang besar, sedang di kalangan ahli Kimia beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Kimia, beliau adalah guru dari Jabir bin Hayyan, ahli Kimia dan Kedokteran Islam.
Fiqh Ja’fari adalah fiqh dalam madzhab Syi’ah pada zamannya, karena sebelum dan pada masa Ja’far ash-Shiddiq tidak ada perselisihan. Perselisihan dan perbedaan pendapat baru muncul sesudah masanya. Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum/dalil hukum (mashadir al-ahkam, adillat al-ahkam), madzhab Ja’fari adalah :
a. Al-Qur’an
b. Sunnah, yang diriwayatkan oleh Imam-imam (perawi-perawi) yang diakui oleh mereka
c. Ijma’, yang diakui oleh mereka adalah ijma’ di kalangan Syi’ah.
d. ‘Aqal (Ra’yu). [11]
D. Madzhab-madzhab yang Terlupakan
Sebagian dari madzhab-madzhab para fuqaha itu ada yang mendapat pengikut-pengikut yang menjalankannya, namun ada pada suatu waktu dikalahkan oleh madzhab-madzhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikut-pengikutnya imam-imam madzhab yang termasuk di dalamnya adalah :
1. Madzhab azh-Zhahiri (202-324 H)
Pendiri madzhab ini adalah Abu Sulaiman Dawud bin Ali bin Khalaf al-Ashbihane yang terkenal dengan azh-Zhahiri. Beliau ini dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H. ia mempelajari ilmu dari Ishaq bin Rwahih, Abu Tsaur dan lain-lain. Ia adalah orang yang paling banyak fanatiknya kepada asy-Syafi’i.
Kemudian Imam Dawud mendirikan aliran (madzhab) khususnya bagi dirinya sendiri yang asasnya adalah mengamalkan zhahir al-Qur’an dan as-Sunnah selagi tidak ada dalil yang menunjukkan dari keduanya atau dari Ijma’ bahwa yang dimaksudkan bukan zhahirnya. Jika tidak terdapat nash, maka diamalkan berdasarkan ijma’. Sedangkan qiyas benar-benar ditolak selamanya. Madzhab azh-Zhahiri ini berkembang dan terus diikuti sampai ada pertengahan abad kelima yaitu masa keemasan pengikut sekaligus penyebar madzhab Azh-Zhahiri adalah Abul Hasan Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Mughlis, dialah puncak kepemimpinan pengikut Dawud pada masanya dan sesudah itu tidak muncul orang yang menyamainya. Banyak pendapat Imam Dawud dihasilkan dengan tidak menggunakan qiyas, ra’yu dan hanya mengamalkan Zhahir al-Qur’an dan as-Sunnah saja.
2. Madzhab al-Auza’i (88-157 H)
Adalah Abu Amr Abdur Rahman bin Muhammad Al Auza’i pendiri madzhab al-Auza’i. yang dilahirkan di kota Ba’labaka pada tahun 88 H. ketika mudanya beliau belajar ilmu hadits di antaranya ia menceritakan hadits dari Atha’ bin Abu Rabah az-Zuhri dan orang-orang yang sederajatnya. Al-Auza’i di samping seorang ahli hadits, ia juga seorang penulis yang lembut, ia mempunyai surat-surat yang berpengaruh dan ia beradab tinggi. Sebagai orang imam madzhab/mujtahid dia termasuk tokoh hadits yang tidak menyukai qiyas.
Adapun pengikutnya tersebar luas di Syam dan Andalusia, yaitu dari pengikut Bani Umayyah, namun seiring dengan kemunculan madzhab Syafi’i di Syam dan madzhab Maliki di Andalusia, madzhab tersebut pelan-pelan berkurang pada pertengahan abad ke-3 H.[12]
3. Madzhab ats-Tsauri (97-161 H)
Imam Sufyan bin Said ats-Tsauri adalah pendiri dari pada madzhab ats-Tsauri. Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 97 H, ia hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi). Imam Ats-Tsauri termasuk imam ahli hadits, manusia sejamannya mengakui atas agamanya, wara’nya, zuhudnya dan terpercayanya. Dia juga termasuk imam mujtahid yang banyak pengikutnya. Sufyan bin Uyainah berkata: “Saya tidak melihat seorang yang lebih mengetahui halal dan haram daripada ats-Tsauri”. Dan beliau wafat pada tahun 161 H.[13]
KESIMPULAN
Berbicara tentang fiqh/hukum Islam dapatlah diketahui bahwa pembahasan tentang perkembangan fiqh Islam adalah merupakan obor perkembangan kehidupan manusia. Dan setiap fase mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi di masanya. Seperti pada masa dinasti Abbasiyah, fiqh bisa berkembang karena beberapa faktor yaitu: 1) Adanya perhatian para khalifah Bani Abbas terhadap fiqh dan para fuqahanya; 2) Kebebasan berpendapat; 3) Banyaknya fatwa pada periode ini; 4) Kodifikasi ilmu; 5) Tersebarnya perdebatan dan tukar pikiran diantara para Faqihi; 6) Pembukuan fiqh / hukum Islam.
Adapun para imam mujtahid yang timbul dan berkembang di masa dinasti ini adalah imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang mana madzhab-madzhab mereka masih berkembang dan di anut oleh orang sebagai dasar orang-orang sampai sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Bik, Hudhari, Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), Indonesia: Darul Ikhya’, 1980.
Mubarak, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Siroj, Khozin, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, Yogyakarta: Fak. Ekonomi UII, 1981.
Usman, Suparman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Makalah Hukum Islam Pada Masa Keemasan Dinasti Abbasiyah
----------------------------------------------
[1] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 67.
[2] Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 90.
[3] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 61-67.
[4] TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 68.
[5] Mun’im A. Sirry, op.cit., hlm. 73.
[6] Jaih Mubarak, op.cit., hlm. 68-69.
[7] Suparman Usman, op.cit., hlm. 91.
[8] Khozin Siroj, Aspek-Aspek Fundamental Hukum Islam, Yogyakarta: Fak. Ekonomi UII, 1981, hlm. 29.
[9] Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 70-71.
[10] Suparman, op.cit., hlm 97-98.
[11] Ibid., hlm. 98-100.
[12] Hudhari Bik, Tarjamah Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, (Sejarah Pembinaan Hukum Islam), Indonesia: Darul Ikhya’, 1980, hlm. 450-452.
[13] Ibid., hlm. 411-412.