Pakar Bisnis Brand Larang Bermain-main di Social Media

Pakar Bisnis Brand Larang Bermain-main di Social Media, Beberapa bulan terakhir ini saya bertemu dengan banyak Brand Manager dan Marketing Manajer, atau PR Manager, yang tertarik memasukkan produk/brandnya ke social media, entah ke Facebook maupun ke Twitter. Kesan saya mereka amat sangat (ya amat sangat) ingin eksis di social media, entah karena terpukau oleh konsep Low Cost High Impact atau memang sadar marketing. Namun pada saat yang sama mereka tidak memahami konsekwensinya, baik dari sisi manajemen, budgeting maupun peluang berhasilnya.

Pertama, soal manajemen.

Social media adalah medium komunikasi, yang bukan hanya dua arah, antara konsumen dan produsen, tetapi multi arah, sebuah komunikasi horizontal yang “kacau-balau” antarkonsumen, antarkosumen-produsen. Jenis komunikasi seperti ini sangat jarang dirasakan dan dialami oleh brand manager yang hanya terbiasa dengan komunikasi satu arah (produsen ke konsumen) dan dua arah (antarkonsumen-produsen). Komunikasi searah dan dua arah relatif mudah dikendalikan arahnya.

Namun komunikasi multiarah, yang melibatkan konsumen dengan konsumen nyaris tidak bisa dikendalikan yang bisa berpotensi merusak brand, atau sebaliknya: justru meningkatkan nilai brand. Itu sebabnya, banyak Brand Manager, Marketing Manager, PR Manager yang terkaget-kaget dengan komunikasi ini.

Siapkan manajemen dengan komunikasi multiarah ini? Faktanya, kebanyakan tidak siap. Terbukti dari keenganan perusahaan untuk investasi SDM khusus dan/atau alihdaya untuk mengelola social media.

Kedua, soal budgeting.

Mereka yang terbius dengan konsep Low Cost High Impact akan beranggapan bahwa pemasaran lewat social media itu murah meriah sekaligus memberikan hasil yang besar. Barangkali mereka lupa bahwa yang disebut “low cost” itu relatif terhadap marketing tradisional via iklan TV dan media konvensional lain. Bukan sekadar asal low cost.

Budget eksis di social media, memang terkesan murah. Pertama, eksis di Facebook dan Twitter boleh dibilang gratis. Kita dapat membuat akun Facebook (termasuk Fanpages-nya) tanpa biaya. Demikian pula di Twitter dan social media lain. Budget promosi di social media pun relatif rendah karena iklannya targeted, hanya menembak target audience yang kita sasar saja.

Namun jangan lupa, masuk ke social media pun butuh strategi, yang tentu saja punya nilai Rupiahnya. Belum lagi, perlu SDM yang cukup, yang paham social media dan komunikasi online, sehingga dapat mengelola eksistensi brand di social media selama 24 jam sehari, dan tujuh hari sepekan. Plus, karena komunikasinya via Internet semua, budget komunikasi Internet ini juga harus dimasukkan.

Itu belum termasuk budget marketing gimmick berupa kupon diskon dan sejenisnya untuk menjaga loyalitas konsumen yang bergabung di social media.

Ketiga, peluang berhasil.

Kebanyakan brand manager merasakan mudahnya masuk social media karena banyaknya fasilitas untuk membangun komunikasi multiarah baik di Facebook maupun Twitter.

Ditambah lagi, beberapa studi kasus keberhasilan brand mengadopsi social media bertebaran di mana-mana. Dell dan Starbucks selalu menjadi inspirasi banyak brand manager untuk mendulang sukses yang sama di social media.

Sayangnya, kita melupakan faktor penting yang mendorong keberhasilan dua merek kondang itu. Salah satu faktor terpenting adalah: kedua brand itu sudah terbiasa bercakap-cakap dengan konsumennya baik di offline maupun di dunia maya.

Dell misalnya, sejak awal berdirinya dirancang sebagai satu-satunya produsen komputer yang bisa menyediakan spesifikasi komputer apapun yang “dirancang” pembelinya via online. Percakapan online sudah terjadi sejak awal. Kemudian Dell menciptakan komunitas pengguna Dell, membangun komunikasi horizontal antarpengguna melalui IdeaStorm, agar konsumen bisa saling berbagi gagasan yang kemudian dieksekusi Dell. Itu terjadi sebelum Facebook dan Twitter mewabah di mana-mana. Kesuksesan Dell inilah yang kemudian dicoba diimplementasikan oleh Starbucks melalui Starbucks Ideas.

Kedua merek kondang itu sudah terbiasa bercakap-cakap dengan konsumennya sebelum masuk ke social media! Maka begitu mereka masuk ke social media, hasilnya luar biasa.

Permasalahannya, banyak brand di Indonesia yang tidak biasa atau bahkan tidak pernah bercakap-cakap dengan konsumennya, tiba-tiba ingin masuk ke social media dan berharap sukses.

Berkaca dari pengalaman Starbucks dan Dell yang memang sudah biasa bercakap dengan konsumennya SEBELUM masuk ke social media, kita bisa menduga bahwa peluang sukses brand yang tidak biasa berkomunikasi dengan konsumennya sebelumnya akan sangat kecil. Untuk memperbesar peluangnya, perlu usaha dan budget yang lebih besar.

Itu sebabnya, saya mengatakan, brand jangan “bermain-main” di social media. Jika ingin ke social media, seriuslah. Siapkan manajemen dan budget, serta analisa dengan baik bagaimana pola komunikasi dengan konsumen selama ini sehingga mendapatkan strategi yang tepat ketika masuk ke social media