Raja Ubiet Baru Tahu Indonesia Merdeka Tahun 1980-an

Raja Ubiet Baru Tahu Indonesia Merdeka Tahun 1980-an, Raja Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.

Saat ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam

Warga yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung Kong.

“Mereka turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59 tahun, akhir pekan lalu.

Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan juga hutan rimba.

Ironisnya, kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk turun gunung.

Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.

Diakuinya, pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.

Tidak boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya, dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas turunan yanga berada di Gunung Kong.

Dia bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.

Ia pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.

Begitu juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.

Kebencian terhadap penjajah itulah, ujar Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula, ujar Nazar, hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.

Selain itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.

Tak pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula. Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena ketakutan tadi, lanjutnya.

Diungkapkan Wagub, Teuku Raja Keumala , baru tiga kali turun ke Ibukota Provinsi. Pertama kali, ketika diundang Gubernur Ibrahim Hasan tahun 1980-an, lalu, semasa konflik, dan ketiga ketika mengunjungi Wagup, ucapnya.

Muhammad Nazar menuturkan, pemerintah Aceh akan membantu kembali atau melanjutkan bantuan yang pernah dijanjikan untuk membangun rumah juga bantuan lainnya. hanya saja, pengembang sebelum ini, nakal, sehingga pembangunan rumah bantuan menjadi terlantar.

“Saya mengundang Teuku Raja Keumala, kemari, meminta kepadanya agar ikut mengawasi pembangunan bantuan rumah juga yang lainnya, supaya proyeknya berjalan lancar dan tidak ditinggalkan seperti yang lalu-lalu,” tukasnya.

Setelah berbicara panjang lebar dengan Wagub di ruang kerjanya. Wagub pun berkata kepada Teuku Raja Keumala, mau membelikan sepatu atau sandal, untuknya. Sambil tersenyum simpul, Teuku Raja Keumala, mengiyakan tetapi setelah sampai di Pucuk Gunung Itam, akan dilepas kembali.

Ketika disinggung senjata yang masih mereka miliki? Teuku Raja Keumala mengungkapkan, mereka masih menyimpan pedang panjang, peninggalan semasa perang dulu. Jumlahnya pun termasuk banyak, begitu juga rencong.

Sedangkan pistol Aceh, telah diserahkan kepada Polsek setempat, ketika damai MoU Helsinki, lalu. Padahal, kata Wagub, pistol itu merupakan senjata orang Aceh dari abad ke 15 dan sangat disayangkan senjata zaman dulu itu, tidak diserahkan kembali ke museum.